Rabu, 30 Oktober 2013

Saya Belum Yakin (SBY) Karena Suka Bohong Ya (SBY): SBY Musuhan dengan Anas?

Kategori: Opini*.
[RR1online]:
SAAT ini, memang tidak sedikit orang telah menilai sedang terjadi gesekan dan “perseteruan” untuk saling menjatuhkan antara SBY dengan Anas Urbaningrum (AU) dan bahkan mungkin dengan Andi Mallarangeng (AM).

Tetapi, menurut pandangan dan analisa saya di sisi intuisi, nampaknya mereka (SBY, AU dan AM) tidaklah bermusuhan seperti yang diduga oleh orang kebanyakan, apalagi untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Itu sangatlah jauh dari logika dan kondisi politik saat ini. Apalagi, jika publik seakan sudah “sepakat” memandang SBY= Suka Bohong Ya, maka tentu pun Saya (Semua) Belum Yakin (SBY) kalau benar-benar terjadi permusuhan antara SBY dengan AU dan AM.

Bagi saya, perseteruan yang nampak saat ini, boleh jadi itu hanyalah akal-akalan atau skenario politik SBY saja agar Partai Demokrat (PD) tetap menjadi parpol yang bisa diperhitungkan. Sebab SBY sesungguhnya tahu persis, bahwa PD saat ini telah anjlok.

Menurut saya, ada 3 hal yang membuat PD anjlok, yakni di antaranya:
1. Karena ulah sejumlah elit kader PD itu sendiri yang dinilai gemar melakukan korupsi, dan juga berbohong;

2. Karena SBY sendiri, baik selaku Presiden maupun sebagai “pemilik” PD yang dinilai tidak mampu membenahi dan menata Indonesia dan PD menjadi lebih baik. Misalnya, dengan kondisi PD yang kadernya banyak terlibat dalam kasus dugaan korupsi, dan juga terkait dengan kondisi ekonomi negeri ini yang makin tidak menentu (nilai defisit dan utang negara yang makin membesar + penguasaan asing secara besar-besaran terhadap SDA Indonesia); dan,

3. Karena telah adanya tokoh nasional yang mulai dilirik dan terus-menerus diperbincangkan sebagai sosok yang lebih ideal untuk secara politik patut didukung sebagai capres. Misalnya: Jokowi, Rizal Ramli, Prabowo, Mahfud MD, dan Yusril Ihza Mahendra;

Tiga hal inilah yang kemudian kini coba diramu SBY agar masa kejayaan PD bisa kembali seperti semula. Tetapi, bagi saya, jika SBY bisa meramu dengan baik point 1 dan 2 sesuai selera publik, maka saya yakin PD akan kembali berjaya. Namun point dua sangatlah mustahil bisa diramu dalam waktu yang sangat singkat karena sulit untuk diakal-akali. Olehnya itu, SBY nampaknya hanya tertarik untuk lebih fokus meramu point 1 dan 3. Sebab, point 1 dan 3 ini lebih mudah diramu dengan cara akal-akalan. Yakni, hanya dengan melakukan jurus dan manuver politik, maka publik pun akan bisa terkecoh.

Jika publik mau jeli, maka jurus ataupun manuver politik SBY, baik sebagai Presiden maupun selaku Ketua Umum Partai Demokrat, akan dapat dengan mudah ditebak.

Cukup mengetahui prinsip kerja mesin automatic water-dispenser (pemanas dan pendingin air otomatis), maka akan bisa membantu untuk menebak mengenai jurus dan manuver yang sedang dijalankan SBY saat ini apakah murni sebuah gerakan moral, atau hanya gerakan akal bulus?

Galon pada dispenser sebagai wadah air bisa diperumpamakan adalah partainya, dan isi galon adalah para kadernya. Nazaruddin, Angelina Sondakh, AU, AM dan lain sebagainya (yang terlibat dalam kasus korupsi) itu adalah kader yang “berproses” sehingga menjadi “air panas”, sebagiannya adalah merupakan “air dingin” (PD= Panas Dingin).

Sangat aneh jika antara “galon”, “dispenser” dengan “air panas” terjadi permusuhan dan perseteruan. Bukankah air bisa panas dan dingin itu karena adanya “proses” yang dilakukan oleh dispenser? Dan silakan menganalogikan sendiri siapa yang pantas disebut dispensernya!?!

Mari kita gali sedikit mengenai pengibaratan water-dispenser ini. Yakni, bahwa sungguh banyak kicauan ataupun ungkapan-ungkapan dari Nazaruddin yang hingga saat ini tidak mampu ditindaklanjuti oleh KPK meski “kebenaran” sudah di depan mata. Juga, dengan reaksi AM yang langsung mengundurkan diri dari jabatannya selaku menteri. Lalu keterangan Angelina Sondakh yang banyak membingungkan dan terkesan menutup-nutupi banyak hal di persidangannya.

Dan terakhir statemen AU yang pernah mengatakan siap digantung di Monas jika 1 rupiah saja yang dikorupsi. Dan AU bahkan pernah dengan nada “mengancam” menyatakan, bahwa ini baru lembaran pertama, masih ada lembaran halaman-halaman berikutnya yang akan ia buka. Dari situ publik berpikiran bahwa AU menyimpan banyak rahasia dan black-list tentang SBY.

Tetapi hingga saat ini, statemen AU itu bagai angin lalu. Dan malah AU seakan-akan hanya terkesan membantu menyukseskan peran SBY dalam melakukan pencitraan, seakan semuanya sudah diatur. Yakni, misalnya dengan membentuk dan mendeklarasikan ormasnya pada hari yang bersamaan dengan gelaran launching peserta konvensi Capres PD beberapa waktu lalu. Mengapa harus bersamaan? Yaaa… tentunya agar nama ormas AU dan konvensi PD itu bisa sekaligus menjadi TOP karena pasti akan jadi sorotan dan bahan perbincangan di banyak kalangan.

AU kini bahkan cuma melakukan sejumlah kecil kritik yang biasa-biasa saja kepada SBY. Dan SBY malah “melawan” AU. ”Saya sebagai kepala negara dan kepala pemerintah juga sering difitnah, diserang, digebuki. Benar? Sayang sekali, yang menyerang dan gebuki sebagian kecil itu juga dulu pernah bersama-bersama kita,” curhat SBY di hadapan para kader dan seluruh caleg PD yang berkumpul dalam acara Temu Kader Partai Demokrat di Sentul Internasional Convention Center (SICC)-Bogor, Sabtu (26/10). Seperti dikutip metrotvnews.

Jika AU adalah “musuh” SBY, maka SBY harusnya tak perlu melakukan curhat seperti itu. Atau jika AU benar-benar menjadi musuh SBY, maka SBY tentu tidak akan menyentil seperti itu AU di hadapan umum. Karena dengan menyentil AU, maka pasti bisa memaksa AU untuk segera membuka lembaran halaman-halaman yang dimaksud itu.

Namun nyatanya, SBY “tidak takut” dengan ancaman AU itu. Mengapa SBY tidak takut? Karena boleh jadi AU bukanlah musuh benaran (cuma musuh main-mainan). Begitu pun sebaliknya, mengapa AU hingga detik ini belum membuka lembaran halamannya? Karena SBY bukanlah musuh sungguhan. Musuh sungguhan SBY itu cuma ada satu sosok yang menonjol, yakni Rizal Ramli. Lainnya cuma musuh bohong-bohongan.

Di sinilah publik harus jeli! Jangan sampai terkecoh! Curhatan SBY yang berani menyentil AU di depan seluruh caleg PD se-Indonesia, Sabtu kemarin itu, bisa membuat saya bertambah yakin bahwa sesungguhnya SBY dengan AU cuma musuh palsu yang memang seakan “sengaja” diposisikan sebagai target untuk menjadi bahan perbincangan guna memancing publik agar dapat terus memperbincangkan PD.

Begitu pun dengan AM, yang seakan bisa dimanfaatkan oleh SBY untuk mengalihkan perhatian publik. Misalnya, saat sedang ramainya perhatian dan perbincangan tentang sosok Bunda Putri yang disebut oleh Luthfi pada persidangan punya kedekatan khusus dengan SBY, tiba-tiba mudahnya perhatian tersebut dialihkan melalui satu langkah, yaitu dengan tiba-tiba menetapkan penahanan terhadap AM selaku tersangka dugaan kasus korupsi oleh KPK.

Sehingga menurut saya, SBY dengan AU dan AM tidaklah bermusuhan (atau dengan Pasek sebagai calon musuh). Mereka ini ibarat hanya sedang memainkan peran masing-masing dalam sebuah film perang-perangan. Akting mereka mesti bagus, dan harus menyerupai kenyataan, sebab semua itu adalah untuk kepentingan Pemilu 2014.

Dan itulah pandangan di sisi lain dari saya, bahwa SBY sedang meramu taktik agar dapat mengulang sukses yang pernah ditempuh sebelumnya. Contohnya saat SBY masih jadi menteri sempat membiarkan dirinya terlibat dalam perseteruan lalu dikritik habis oleh Megawati dan Taufik Kiemas (alm-TK). Dari situlah, publik kemudian akhirnya simpatik kepada SBY. Sungguh, SBY memang ahli berakting..?!?

Sehingganya, tak salah jika saat ini publik harus waspada dengan SBY yang boleh jadi pun sedang berakting, yakni pura-pura bermusuhan dengan AU dan AM demi kepentingan Pemilu 2014. Sebab, jika mereka benar-benar bermusuhan, maka tentu mereka sudah saling buka rahasia masing-masing. Kalau belum saling membuka rahasia, dan hanya terkesan Selalu Bohong Ya (SBY), maka Saya Belum Yakin (SBY) jika SBY musuhan dengan AU atau AM.
---------
*Sumber: Kompasiana

Selasa, 22 Oktober 2013

Indonesia Jadi “Kotor” di Tangan SBY, Untunglah Masih Ada Tokoh Seperti ini


Jakarta, [RR1online]
SEJAK rezim SBY berkuasa (hingga kini), sungguh begitu banyak sudah “peristiwa” atau kejadian tercela dan memalukan yang  dilakoni oleh para elit maupun pejabat di negeri ini, baik di daerah terlebih di pusat. Salah satunya adalah dengan “merampok” uang negara (korupsi) yang begitu leluasanya dilakukan oleh para elit dan pejabat tersebut melalui banyak modus, baik yang telah terungkap maupun yang masih tersembunyi. Seakan ada “kekuasaan” yang “membolehkan” untuk melakukan perbuatan tercela dan kotor itu.

Di sisi lain, institusi hukum kita juga nampaknya memang terlalu gampang disuap, sehingga koruptor dapat diperlakukan secara “manja”. Misalnya, mereka yang masih terduga, tersangka, dan yang telah terdakwa pun masih juga bisa “lolos” dan terhindar dari jeratan sanksi, atau tak setimpal dengan perbuatannya. Bahkan tidak sedikit koruptor yang bisa lolos dengan cara melarikan diri ke luar negeri karena lambatnya aparat hukum melakukan proses eksekusi.

Itulah kemudian yang membuat para elit dan pejabat di negeri ini merasa tak perlu amat risau ketika ingin melakukan korupsi. Apalagi karena ketika mereka mengetahui, bahwa saat ini kader atau elit parpol penguasa saja banyak yang gemar berkorupsi, maka tentu akan makin menambah “mantaplah” hati mereka untuk ikut “berjamaah” melakukan korupsi, sekaligus merampas hak-hak rakyat.

Kegemaran para elit parpol dan pejabat melakukan korupsi di era pemerintahan SBY inilah yang membuat Indonesia jadi “kotor”.  SBY sebagai Presiden memang memiliki jargon: “Katakan Tidak pada Korupsi”. Tetapi sejumlah pihak menilai jargon ini ibarat hanya sebagai lipstik atau mungkin hanya sebagai topeng semata. Sebab, jika SBY memang serius ingin memberantas korupsi, maka tentu ia harus memulai tindakan tegasnya dari lingkungan Istana, tak peduli apakah yang terindikasi itu adalah istri atau anaknya sendiri.

Sayangnya, keseriusan SBY itu cuma sebatas di iklan dan hanya sampai di bibir saja. Dan rakyat pun tentu saja tidak mendukung “jargon” SBY itu. Sebab, semua itu dinilai hanyalah sebuah pencitraan belaka, dan sama sekali tidaklah sesuai dengan kondisi saat ini yang justru menunjukkan korupsi lebih mengarah ke istana sebagai sarang korupsi. Jika istana saat ini betul-betul sebagai sarang korupsi, maka apa dan siapa lagi yang diharapkan agar rakyat miskin bisa sejahtera???

Pertanyaan itu memang sangat sulit dijawab, dan tidak akan terjawab hingga Pemilu 2014. Sebab menjelang Pemilu 2014 ini, seluruh parpol dan pihak-pihak berkompeten dapat dipastikan lebih fokus bermanuver politik untuk membersihkan dan “mengamankan” diri sendiri. Sehingga masalah-masalah hukum (terutama masalah Tipikor) akan sulit dituntaskan. Jadi boleh dikata, selama 10 tahun SBY berkuasa itu hanyalah berhasil mencetak banyak koruptor.

Namun di saat Indonesia kini telah terlanjur dikenal sebagai negara “kotor” karena banyak dikuasai koruptor, maka di sisi lain Indonesia tentunya juga masih memiliki sejumlah tokoh Indonesia yang dinilai mampu membersihkan, merapikan, dan bahkan berani “melawan” pemerintahan SBY yang diduga kuat sebagai rezim yang sangat gemar melakukan korupsi.

Tokoh-tokoh nasional itu adalah:
1. Joko Widodo (Jokowi).

Sosok ini memang berpostur kurus, tetapi ia berhasil mengalahkan saingannya dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, termasuk mampu mengalahkan pasangan calon gubernur dari partai “gemuk” yang berkuasa. Jokowi merasa patut dipilih, sebab rakyat Jakarta sangat mengharapkan adanya “Perubahan”. Sehingga begitu ia dilantik sebagai Gubernur, Jokowi langsung melakukan pergerakan sebagai pemimpin. Yakni dengan langsung mengunjungi dan bersentuhan langsung dengan rakyat melalui pola blusukan.

Memang sejumlah pihak yang berseberangan masih memandang belum ada hal istimewa yang dapat diperlihatkan oleh seorang Jokowi. Namun sebagian besar lainnya justru menilai dengan usia kepemimpinannya yang baru setahun berjalan sebagai Gubernur, Jokowi dinilai telah mampu melakukan terobosan yang cukup signifikan. Kegiatan tercela dan memalukan seperti korupsi diyakini oleh banyak pihak itu tidak akan dilakukan oleh sosok seperti Jokowi.

sehingga Jokowi dipandang sebagai figur yang mampu melakukan besih-bersih dan rapi-rapi atas kondisi pemerintahannya saat ini. Dari sinilah kemudian Jokowi dianggap patut diperjuangkan untuk dapat maju dalam Pilpres 2014 mendatang.

2. Rizal Ramli.

Sosok yang satu ini boleh dikata sangat fenomenal. Roh dan kekuatan membela serta memperjuangkan hak-hak rakyat sangatlah kuat dimiliki oleh sosok yang sejak usia 6 tahun ini telah menjadi anak yatim-piatu.

Rizal Ramli saat ini adalah Ketua Kadin Pusat. Dan ia bisa menjadi seorang tokoh nasional yang disegani karena keberaniannya melawan rezim yang dianggapnya tak berpihak kepada kepentingan rakyat kecil. Dan perlawanannya itu telah diawali sejak era Orde Baru yang dengan gigih dan bertubi-tubi meminta Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden, yakni apabila terus-terus menimbun kekayaan dari negara untuk keluarga dan diri sendiri. Namun kala itu Rizal Ramli harus dipenjara.

Sehingga tak heran jika mantan Menko Perekonomian ini pun tetap terpanggil melakukan perlawanan terhadap rezim SBY yang dinilainya lebih korup daripada Orde Baru.

Sayangnya, sejumlah pihak masih banyak yang keliru menilai setiap pergerakan yang dilakukan oleh Rizal Ramli saat ini. Mereka yang keliru menilai itu menganggap Rizal Ramli hanya melakukan perlawanan karena ingin mendapatkan posisi atau jabatan. Padahal, jika ditengok ke belakang, Rizal Ramli pernah mengorbankan jabatan dan posisinya sebagai Komisaris Utama di PT. Semen Gresik. Yakni ketika itu ia dipecat karena didinilai menentang kebijakan pemerintah dengan melakukan aksi demo di depan istana mendesak SBY agar tidak menaikkan harga BBM, dan meminta harga sembako diturunkan.

Dan semua perlawanan dan perjuangan ini dapat dilakukan Rizal Ramli sejak dulu hingga saat ini dengan gagah berani meski tanpa melalui sebuah partai politik pun. Sehingga aneh jika ada pihak tertentu yang menuding Rizal Ramli melakukan semua itu karena gila jabatan dan berambisi ingin menjadi presiden.

Bukankah yang pantas disebut gila jabatan itu adalah figur yang hanya ingin berjuang atas nama partai? Dan bukankah yang patut disebut berambisi untuk menjadi presiden (penguasa) itu adalah figur yang buru-buru mendirikan partai, termasuk mereka yang buru-buru merebut posisi ketua umum atau sebagai pemilik partai?

3. Ratna Sarumpaet.


Ratna boleh dikata adalah seorang pendekar wanita masa kini. Ia juga pernah di terlibat menurunkan Soeharto di era Orba. Ia lalu ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan makar sehari sebelum Soeharto diangkat jadi Presiden untuk ke-7 kalinya. Ratna kemudian dibebaskan sehari sebelum Soeharto lengser. Sejak itu, Ratna tidak pernah masuk Partai, atau jadi pejabat. Ia lebih memilih kembali ke dunianya sebagai seniman dan tetap jadi Aktivis kemanusiaan.

Namun, sebagai salah satu yang terlibat memperjuangkan reformasi, Ratna Sarumpaet merasa tetap bertanggungjawab ketika cita-cita reformasi dilencengkan. Ratna menilai MPR dimandulkan, konstitusi, sistem dan perundang-undangan diintervensi IMF, Worl Bank, WTO, kekayaan SDA tergadai, kerukunan dan kedamaian berbangsa hilang, serta 104 juta lebih rakyat berada di posisi miskin/tidak berdaya.

Menurutnya, kondisi Indonesia, terutama kedaulatan rakyatnya tidak mungkin dikembalikan hanya dengan mengganti Presiden melalui Pemilu yang digelar rezim yang notabene korup dan tidak bermoral. Apalagi Ratna menilai KPU telah dikuasai Asing dan diikuti para parpol yang juga korup.

Sehingga itu Ratna mendirikan MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia) untuk dengan tegas meminta dan menyatakan bahwa Rakyat butuh Pemerintahan Transisi untuk merevolusi sistem dan seluruh perundang-undangan yang sudah dirusak, yakni dengan  menggelar pemilu yang bersih dan bertanggung-jawab.

Nah, mari kita merenungi, adakah tokoh nasional seperti Jokowi, terutama seperti Rizal Ramli dan Ratna Sarumpaet (tanpa melalui parpol) yang MAU BERANI dan TERANG-TERANGAN melawan rezim SBY yang dinilai sangat korup itu???

Sebenarnya, masih banyak tokoh-tokoh lain yang juga sangat membenci “perilaku” elit dan pejabat korup yang terjadi pada rezim saat ini. Tetapi nampaknya, mereka masih menunggu momen tepat untuk melakukan gelombang pergerakan Perubahan, atau bahkan revolusi apabila rakyat telah menghendakinya.
Salam PERUBAHAN...!!!>map/ams

Minggu, 13 Oktober 2013

Bandar Politik Rp 2 Triliun: Mau Menangkan JK atau Demokrat?

Jakarta, [RR1online]:
SEPERTI dilansir rimanews.com, bahwa sejumlah analisis kini melihat adanya manuver dari kelompok Sofyan Wanandi-Mari Elka Pangestu dari kubu CSIS dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonsia) untuk ‘’meloloskan Jusuf Kalla (JK),’’ agar dapat berduet dengan Megawati atau Jokowi pada Pilpres 2014.

Keduanya (Sofyan dan Mari) bahkan dikabarkan akan menjadi bandar politik untuk “HANYA” memajukan JK sebagai cawapres, yakni dengan menyiapkan Rp.2 Triliun sebagai cost-politik dalam pertarungan Pilpres 2014 tersebut.

Sebelumnya, Prof. M. Amien Rais beberapa waktu lalu memang sudah memberikan sinyalemen, bahwa akan ada cukong atau bandar/pemodal kakap di balik pencapresan Jokowi dari PDIP. Dan boleh jadi itu ada benarnya, yakni jika dikaitkan dengan niatan kubu Sofyan Wanandi-Mari Pangestu mewakili asosaisi pedagang Tionghoa, sebagai kelompok yang memberi prioritas kepada JK untuk dijadikan pendamping Megawati atau Jokowi.

Disuguhkan Rp.2 Triliun, tentu saja bisa membuat Megawati atau Jokowi “tergiur dan klepek-klepek” agar segera menerima JK sebagai cawapres dari PDIP. Dan, “tawaran” ini tentu saja dinilai akan ada “sesuatu” di baliknya.

Tetapi, berbagai kalangan menyerukan agar Megawati dan PDIP sebaiknya lebih mengutamakan merekrut tokoh nasional yang mewakili civil society dan kaum oposisi yang berjuang melawan kebebalan dan kezaliman rezim sekarang demi memperluas basis sosial bagi dukungan memenangkan pemilihan presiden 2014.

‘’Sosok seperti Rizal Ramli PhD, Prof Mahfud MD, memiliki basis sosial yang kuat di kalangan civil society dan kaum nahdliyin yang kritis dan kecewa kepada elite penguasa sekarang. Tokoh-tokoh itu bisa jadi pasangan Megawati untuk maju ke pilpres 2014, guna memperluas basis sosial dukungan untuk PDIP,’’ kata pengamat politik Unair Airlangga Pribadi MA, yang kini kandidat PhD di Murdoch University, Australia. Seperti dilansir oleh rimanews.

Selain almarhum Taufiq Kiemas, berbagai kalangan juga menilai, JK sudah terlalu sepuh untuk mendampingi Megawati apalagi Jokowi. Belum lagi yang patut dipertimbangkan tentang bisnis JK di Indonesia Timur makin menggurita ketika JK jadi wapresnya SBY, sehingga SBY pun “menendangnya” keluar istana, karena SBY mendapat masukan dari berbagai kalangan di dalam dan luar negeri.

‘’Bisnis JK makin menggurita ketika jadi wapresnya SBY, semua orang tahu itu. Banyak proyek triliunan rupiah dikeruk JK ketika jadi wapres 2004-2009 dan kini sudah waktunya dibuka ke publik biar orang tahu sejauh mana konglomerasi bisnis JK sebenarnya,’’ kata sumber dari istana era SBY-JK yang kini sudah di luar pagar kekuasaan.

Tapi yang jelas, JK dekat sekali dengan Sofyan Wanandi dan Mari. Kedua konglomerat ini sepakat agar JK maju ke pilpres 2014, di mana Jokowi diincar sebgai duetnya. ‘’Kalau Jokowi berduet dengan JK, maka yang untung besar JK, sebab kalau menang, bisnis JK kian menggurita dan oligarkinya kian kuat,’’ kata sumber itu.

Para pengamat politik juga melihat, bisnis JK jadi beban bagi JK untuk maju pilpres karena gerbong bisnis itu akan menggerus kepercayaan publik pada JK dan Jokowi jika mereka berduet nanti. ‘’Banyak mudharat dan ruginya bagi Jokowi jika berduet dengan JK atau Aburizal Bakrie atau Hatta Rajasa, sebab para pedagang itu akan ‘’berdagang’’ ekonomi-politik sebagai konsekuensi oligarkisme tanpa bisa dielakkan lagi,’’ kata para aktivis prodemokrasi.

Adalah aktivis senior A Rahman Tolleng yang selalu mengingatkan bahaya oligarkisme dalam demokrasi indonesia, karena bisnis sudah terlalu dalam mencaplok dan menjarah politik sehingga negara dikuasai plutokrat.

Aktivis M.Fadjroel Rachman bahkan pernah menilai, era SBY-JK 2004-2009 adalah fenomena ‘’Negara Pedagang’’ dimana JK dan Aburizal Bakrie waktu itu merajalela bisnisnya, dan kaum pedagang menggurita secara politik dan ekonomi dalam bentuk oligarki.

Prof Williaml Liddle dari Ohio Stata University ,AS mengingatkan bahwa oligarkisme telah menguasai ekonomi-politik di Indonesia dan itu berbahaya bagi masa depan demokrasi di negara seperti Indonesia.

Terlepas dari semua itu, sebagian kalangan juga menilai, dengan adanya kubu Sofyan Wanandi-Mari Pangestu yang siap memajukan JK sebagai cawapres adalah bisa saja merupakan “skenario politik” untuk menjatuhkan “animo” masyarakat terhadap Jokowi ataupun Megawati dengan PDIP-nya.

Sebab, bagi sebagian masyarakat menilai, JK tak cocok lagi untuk maju pilpres, karena masanya sudah lewat. JK sudah pernah duduk sebagai wakil presiden, dan sudah pernah gagal dan kalah sebagai capres dalam pertarungan pilpres 2009 lalu. Sangat jelas orientasi JK mendapatkan kekuasaan itu boleh jadi hanya untuk membesarkan bisnis di lingkarannya, sehingga meski hanya berposisi sebagai RI-2 pun ia siap. Dan orientasi JK ini sangat mudah ditebak oleh siapa saja.

Sehingganya, orang akan bertanya-tanya, bahwa Sofyan dan Mari berani menyiapkan Rp.2 Triliun itu sesungguhnya untuk apa? Apakah benar-benar ingin memenangkan JK sebagai wapres di saat masyarakat sudah memahami bahwa sesungguhnya “pasaran” JK saat ini sebetulnya sudah anjlok? Jangan-jangan ini justru hanya ingin agar rakyat bisa kembali mengalihkan perhatiannya kepada pasangan yang diusung nantinya oleh Partai Demokrat, karena di PDIP hanya mengusung JK yang dianggap tak layak lagi sebagai wapres?>map/ams

Jumat, 11 Oktober 2013

Ical Teman SMA Saya. Tapi Saya Tak Setuju, Karena DIA Demokrat

Kategori: Opini*
[RR1online]:
PADA ajang Pemilihan Walikota Makassar (Pilwako), Rabu (18 September 2013) yang baru lalu, pasangan  Muhammad Ramdhan Pomanto-Syamsu Rizal MI (DIA) memperoleh suara terbanyak. Pleno KPUD Kota Makassar, Rabu (25 September 2013) lalu pun sudah menetapkan DIA sebagai pasangan Walikota terpilih dengan mengantongi 31,18 persen suara.

Baik Muhammad Ramdhan Pomanto yang biasa disapa Danny, maupun Syamsu Rizal MI yang akrab dipanggil Ical itu, adalah orang yang tidak asing lagi bagi saya.

Danny dan Ical adalah orang yang pernah saya kenal. Keduanya bahkan dulu menjadi teman saya. Danny adalah putra campuran, ayahnya dan ibunya adalah asli dari Gorontalo, hanya saja mereka sudah lama hijrah ke Makassar. Dan Danny sendiri memang lahir di Kota Daeng (Makassar). Meski begitu, Danny acapkali mengaku adalah orang Gorontalo. Itulah sehingga di tahun-tahun lalu Danny selalu coba untuk ikut bertarung dalam beberapa Pilkada di Gorontalo.

Apalagi memang, sebagian besar orang-Gorontalo juga mengakui Danny adalah benar-benar “asli” orang Gorontalo. Suatu ketika, saya pernah beberapa kali berdebat dengan sejumlah warga Gorontalo yang tak mau mengalah menyebut Danny adalah orang asli “Gorontalo” karena, katanya, faktor dominan adalah darah sang ayah, sampai itu fam (nama belakang) Danny adalah Pomanto, yakni salah satu kelompok marga yang ada di Gorontalo.

Bahkan, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, sebelum Pilwako dilaksanakan, pernah sengaja berkunjung ke Makassar hanya untuk menyatakan ikut mendukung Danny agar dapat menjadi Walikota Makassar. Saat itu, Rusli Habibie malah sempat mengeluarkan statement dalam acara silaturahmi di Makassar sebagai penegasan yang berbau “ajakan”. “Sebagai putra terbaik Gorontalo, Danny wajib di dukung,”kata Rusli Habibie, dalam keterangan persnya di Hotel Aryaduta, Makassar, Minggu (28/7/2013). Seperti dilansir Tribun Timur.

Kembali ke tentang Danny yang dulu pernah saya kenal. Yakni, di awali saat Danny mengikuti sayembara Desain Kawasan Perkantoran Gubernur Gorontalo (sekitar tahun 2004 saat periode pertama Fadel Muhammad sebagai Gubernur Gorontalo). Kala itu, Danny menerima tawaran saya selaku pemimpin redaksi di Tabloid Pariwara (PArtner pemeRIntah, kaWAn RAkyat) yang ketika itu saya kelola di Gorontalo, yakni memasang advertorial setengah halaman mengenai karya econic-nya tersebut. Saat itu, saya dan Danny aktif berhubungan, paling banyak via telepon-seluler.

Alhasil, Danny pun berhasil memenangkan sayembara itu, karena memang Danny nampaknya memang “ahli” di bidang itu dengan dibuktikan berjejernya prestasi sebagai pemenang dalam setiap perlombaan yang berkaitan dengan desain econic.

Gaya komunikasi Danny juga terbilang bagus. Hanya saja, Danny memang punya ambisi yang sangat tinggi untuk mendapatkan kekuasaan. Ini terbukti dengan tiga kali Danny mengikuti tahapan Pemilukada di Gorontalo, tapi semuanya gagal sebelum bertarung karena KPU memberinya TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Yakni berturut-turut saat Pilbup Kabupaten Gorontalo Utara, Pilgub Provinsi Gorontalo, dan Pilwako Gorontalo.

Sedangkan Ical, adalah teman seangkatan saya saat di SMA Negeri 9 Makassar. Lokasi sekolah ini amat terpencil, namanya daerah Karunrung, sebuah daerah di pinggiran Kota Makassar. Hujan sedikit saja, sekolah ini pasti banjir. Mungkin itu salah satu alasan, mengapa guru-guru di sana mewajibkan semua siswa laki-laki harus bercelana panjang nan lebar di bawah, supaya mungkin jika banjir, gampang melipat-gulung celana masing-masing. (Hahahaa…. tapi biar pun banjir, ternyata ada-ada juga siswa yang nekat bolos, meski harus “menyelam” keluar dari pintu sekolah)

Kendati pun begitu, sekolah ini memiliki banyak siswa yang punya semangat “juang” tinggi untuk maju. Hal itu terlihat ketika setiap kali diselenggarakan Porseni di SMA ini, pasti persaingannya sangat ketat. Ical adalah salah satu siswa yang menjadi andalan di pertandingan Sepak Bola, juga Tarik Tambang. Dan saya adalah siswa yang ketika itu sering menjadi lawannya. Sebab, jurusan kelas kami berbeda. Ical anak kelas Sos, dan saya adalah anak Fisika. Dan anak Fisika-lah yang sering menjadi juara umumnya. Tetapi ada “olahraga” yang hampir setiap hari kami lakukan di masa itu selain bermain sepak bola, yakni bertarung ponco dari kelas ke kelas ketika jam keluar main tiba.

Saya dan Ical juga kalau tak salah adalah satu angkatan dalam program penggemblengan siswa, yakni Latihan Kepemimpinan Siswa (LKS). Hanya memang, Ical saya kenal sebagai siswa yang pendiam, tetapi cukup menghanyutkan. Ia terbilang siswa yang sukses dalam urusan menggaet hati sejumlah siswi idola, sebab Ical memang termasuk siswa yang ganteng. Sementara saya, lebih tertarik menjadi “pelindung” bagi siswa-siswi yang kerap mendapat teror dari anak-anak preman kampung di sekitar sekolah. Yakni, ketika dalam keadaan terpaksa, saya juga harus maju layaknya sebagai preman pula untuk adu jotos dengan kelompok anak muda yang mengganggu kenyamanan teman sekolah, terutama teman sekelas.

Suatu ketika, gara-gara cewek, Ridwan teman sekelas saya (sekarang ia sudah jadi seorang anggota TNI) sempat memberitahu ke saya, bahwa dirinya sepulang sekolah akan dicegat untuk dikeroyok oleh sejumlah anak muda yang sudah menunggu di luar halaman sekolah. Apa boleh buat, hari itu sepulang sekolah, permintaan Ridwan untuk saya bonceng dengan memakai vespa miliknya saya setujui. Benar saja, ketika tahu itu motor Ridwan, sekelompok anak muda itu langsung mencegat dengan parang dan badik yang sudah terhunus. Hampir mendekat, saya berteriak agar Ridwan melengkungkan tubuhnya 90 derajat ke belakang, dan saya menancap gas (hampir penuh) lalu membungkuk ke  bawah batang setir motor Vespa tersebut dengan kedua kaki terkangkang di jalan. Motor sempat sempoyongan terkena tendangan dari seseorang, tetapi berhasil saya kuasai.

Kembali mengenai Ical, yang saya tahu ia juga sebagai siswa yang aktif sebagai pengurus Osis. Sayangnya, ia tidak sempat menjadi Ketua Osis. Dan saya yakin, dari Osis-lah, Ical kemudian terobsesi untuk bisa terus maju dan berada dalam organisasi. Benar saja, Ical saat menjadi Calon Wakil Walikota berpasangan dengan Danny itu masih berstatus sebagai Ketua PMI Cabang Makassar, organisasi binaan Jusuf Kalla (JK) itu.

Sehingga, bukan tidak mungkin, intervensi JK boleh jadi sangat dominan untuk meng-gol-kan pasangan DIA menjadi Walikota dan Wakil Walikota Makassar itu. Namun disinyalir, Pilwako Makassar September kemarin itu adalah sesungguhnya adalah pertarungan “para Gajah”. Artinya, di balik 10 kandidat yang ikut dalam Pilwako tersebut sangat besar kemungkinan disokong oleh para tokoh dan elit-elit berpengaruh di Kota Anging-Mammiri itu.

Terlepas dari itu. Yang menarik buat saya hingga harus menulis artikel ini, adalah adanya sebuah status seorang alumni SMA 9 Makassar yang diposting di Facebook Grup IKA SMAN 9 Makassar, yakni sekaitan dengan rencana pelaksanaan Reuni SMAN 9 pada Ahad (10 Nopember 2013) mendatang. Ini statusnya: “.. masukan saja buat ket.Ika dan panitia Reuni,,Klo tdk mendesakk ji sebaiknya Acara Reuni AKBAR smu 9 Di undur tahun depan biar lebih meriah karena di hadiri oleh wakil walikota makassar yang telah di lantik. apalagi wkl wlikota ta alumni smu 9 pasti seru dan z yakin banyak pejabat pemkot yg hadir nantinya ,zp dulu dong yg hadir 02 mks. ok kwn sekian!!..”

Menurut saya, sarannya bagus…cuma terlalu polos, seakan-akan reuni adalah cuma sebuah “PESTA” yg hanya ingin menonjolkan SOSOK dan KEMERIAHAN. Jika penonjolannya cuma itu, maka dipastikan hanya memunculkan pengultusan, dan euforia di alam politik.

Ada baiknya tujuan reuni itu adalah untuk “memperkuat” kesepakatan moral sesama alumni agar dapat lebih memiliki kepedulian terhadap kemajuan daerah dan negara ini. Yakni, misalnya dengan mencanangkan (membudayakan) sebuah “Gerakan Kasih-Sayang kepada Guru-guru di Sekolah”, baik yang masih aktif, atau yang sudah pensiun, maupun yang telah lebih dulu wafat. Bukan untuk atau dengan cara membudayakan “Pesta” seru-seruan dan bermeriah-meriahan dengan menghadirkan Ical dalam reuni tersebut. Ical boleh diundang dan menghadiri reuni, asalkan bukan sebagai Wakil Walikota. Wakil walikota juga adalah jabatan politik. Jadi undanglah Ical sebagai individu, dan tantang DIA berempati untuk melakukan gerakan moral, ajak DIA hadir dalam reuni lalu bersumpah untuk tidak Korupsi.

Jika hanya ingin suasana meriah dan seru, maka itu hanya reuni tak berkualitas yang tak lebih hanya sebatas ajang gengsi-gengsian, pamer kedudukan sosial, yang ujung-ujungnya seakan hanya ingin masing-masing mendapatkan “sepotong” pengakuan kehormatan. Jangan lupa, bahwa tidak semua alumni di sekolah sudah meraih kesuksesan atau bisa mendapat tempat yang terhormat. Masih banyak alumni (atau mungkin guru-guru kita) yang karena faktor X + Y hingga belum bisa memecahkan persoalan hidupnya. Padahal mereka juga terbilang punya potensi untuk maju, tetapi peluang dan keberuntungan selalu tidak berpihak kepada mereka.

Selanjutnya, pertimbangan lain dari saya, apabila Ical diundang kapasitas sebagai Wakil Walikota (entah itu sekarang atau tahun depan) bisa mengundang kontroversi. Bahwa (dalam reuni) di SMAN 9 itu, selain guru-guru yang masih aktif maupun yang pernah mengajar Ical, juga dengan semua siswa ataupun yang sudah alumni (bersama keluarganya), itu bisa dipastikan belum tentu semuanya menjatuhkan pilihannya kepada Ical dalam Pilwako kemarin, tentunya dengan alasan dan pertimbangan masing-masing. Sehingganya, tak salah jika ada yang takut akan munculnya “pahlawan kesiangan” ketika menghadirkan Ical sebagai Wakil Walikota.

Berikutnya, Danny, dan terutama Ical, memang adalah pernah jadi teman saya. Tetapi DIA kini di mata saya sudah berbeda dengan DIA yang dulu. DIA sekarang boleh jadi akan menjadi “budak” Partai Demokrat (PD) yang kini mendapat julukan sebagai partai SARANG KORUPTOR. Dalam Pemilu 2014 sebentar, bohong kalau DIA tidak mendukung PD untuk kembali berkuasa di negeri ini, dan Kota Makassar akan pasti diupayakan semaksimal mungkin untuk menjadi daerah “jajahan” PD pada Pemilu 2014 mendatang.

Sehingga itu, sekali lagi, Ical memang teman sekolah saya dulu, tetapi saya tidak setuju kalau IKA SMAN 9 Makassar pada reuni kali ini dan reuni-reuni hingga lima tahun ke depan larut dalam euforia, hingga tak sadar ternyata telah terseret dalam kepentingan politik dari kelompok tertentu.

Saya memang bangga punya teman bisa menjadi kepala daerah, tetapi saya tidak akan pernah bangga dan bahkan saya PASTI akan melawan Danny dan Ical jika setelah resmi menjadi pasangan Walikota Makassar ternyata hanya lebih nampak menghidupkan parpol yang telah “berjasa” menjadikannya sebagai kepala daerah. Jika hal ini terjadi, maka hasil pertumbuhan ekonomi hanya akan tetap dirasakan oleh orang-orang kaya saja.

Sehingga tak keliru jika mantan Menko Perekonomian, DR Rizal Ramli selalu menyoroti pemerintah untuk jangan pura-pura bangga dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini tumbuh sekitar 5 persen. Karena maaf, kata Rizal, yang 5 persen lebih itu adalah hanya dinikmati oleh kalangan kelas atas.

Juga jangan lupa, bahwa sejauh ini kita sudah pernah berkali-kali digiring dalam mimpi-mimpi indah, tetapi begitu banyak yang berakhir dengan kenyataan “Buruk”. Yakni, dari setiap pemilihan kepala negara maupun kepala daerah, rakyat selalu saja terlelap dengan “angin surga” yang ditiupkan dari para kandidat melalui parpolnya masing-masing, tetapi kenyataannya surga itu hanya dinikmati oleh mereka, dan neraka tetap untuk rakyat.

Hahahaaa… bicara soal Surga dan Neraka, saya jadi teringat dulu ada plesetan pertanyaan guyon dari teman-teman di SMA. Katanya, mau masuk kelas IPA, IPS  Sos, atau Budaya?  Dulu jurusan IPA hanya terbagi dua kelas, itupun kelas IPA Fisika hanya satu ruangan, dan kelas IPA Biologi juga cuma satu ruangan. Sehingga itu banyak yang menganggap kelas IPA adalah “momok” buat banyak siswa. Sementara kelas IPS lebih dari dua ruangan ditambah kelas Budaya. Ternyata jawabnya adalah IPA= adalah Ikut Perintah Allah, IPS= Ikut Perintah Setan, dan Sos= So-Sial (sudah Sial), serta Budaya= adalah Bukan Darah Yahudi.

Akhirnya, terlepas dari semua itu, semoga kita semua selalu mengikuti perintah Allah, dan agar tidak menjadi orang sial, maka berusahalah untuk tidak mengikuti perintah setan… ! Amin..!!!
SALAM PERUBAHAN untuk negeri tercinta ini.

Rabu, 09 Oktober 2013

Buruh Sepakat Dukung Rizal Ramli Presiden 2014


Jakarta, [RR1
online]
TIDAK
kurang 500 perwakilan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) kembali mempertegas dukungannya kepada Dr. Rizal Ramli untuk dapat menjadi presiden pada Pemilu 2014.

Said Iqbal selaku Presiden KSPI menyebutkan alasannya, mengapa harus Rizal Ramli yang patut didukung. Di antaranya, menurut Said, karena sosok tokoh nasional yang sudah terbukti memiliki integritas tinggi dan kapasitas yang kuat itu adalah Rizal Ramli.

“Ketika menjadi Menko Perekonomian dan Kepala Bulog, kebijakan-kebijakanya (Rizal Ramli) sangat pro-rakyat,” ujar Said di sela seminar kebangsaan, bertema: “Bakti Buruh Untuk Negeri dan Ibu Pertiwi Membangun Kesejahteraan Bersama”, dihadiri para buruh dari 16 provinsi, di Aula Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI), Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (1/10).

Selain itu, menurut Said, para buruh  juga sudah menempatkan Rizal Ramli sebagai sosok yang paling ideal sebagai Presiden 2014, karena amat diyakini mampu mengangkat derajat ekonomi di negeri ini. Sehingga itu, katanya, Rizal Ramli patut didukung demi mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Said juga menilai, bahwa Rizal Ramli bukan lagi kelas menteri, tapi sudah pantas jadi presiden. Selain sebagai pakar ekonomi yang dipercaya akan mampu membangun rakyat di bidang ekonomi, Rizal Ramli juga dinilai sudah banyak membuktikan diri sebagai sosok berpengalaman, yang selalu gesit memperjuangkan nasib rakyat kecil agar jadi lebih baik.

“Kita dukung Pak Rizal Ramli jadi presiden, maka buruh akan sejahtera,” lontar Said dengan tegas.
Dukungan untuk turut memperjuang Rizal Ramli sebagai Presiden 2014 juga mengalir dari buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).

Wakil Ketua FSPMI, Iswan Abdullah dengan tegas menyatakan, bahwa Rizal Ramli sangat pro-buruh, sehingga sangat patut didukung. “Kami doakan Pak Rizal Ramli terpilih sebagai presiden. Beliau akan selalu bersama kita dan pro-buruh,” tutur Iswan.>rml-map/ams

Lagi, SBY Coba Halangi Pencapresan Rizal Ramli?


Kategori: Opini*


[RR1online]:
SAYA teringat pada tahun 2008 silam. Saat itu, mantan Menko Perekonomian DR. Rizal Ramli deras mendapat dukungan untuk dimajukan oleh sejumlah parpol gurem sebagai Capres 2009. Karena sosok seperti Rizal Ramli lah yang dinilai mampu mengangkat kewibawaan dan derajat negeri ini melalui bidang ekonomi.

Sehingga itu, tak hanya parpol gurem yang siap mendukungnya. Rizal Ramli selaku Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia (KBI) di kala itu juga mendapat dukungan moril dari sejumlah tokoh nasional ternama, seperti Taufiek Kiemas (alm), Wiranto, Try Sutrisno dan lainnya agar dapat maju merebut kepemimpinan di negeri ini sebagai Capres 2009.

Momen pergerakan KBI yang paling tajam terlihat saat fight dengan SBY selaku presiden. KBI menentang dan menolak keras  kebijakan pemerintah yang tak ingin mencari solusi lain untuk mengatasi persoalan ekonomi negara, selain hanya menaikkan harga BBM. Kebijakan menaikkan harga BBM inilah yang dilawan oleh KBI dengan melakukan aksi demonstrasi bersama rakyat, kalangan intelektual yang berasal dari mahasiswa dan kaum buruh.

Hanya saja, ketika itu Rizal Ramli masih menjabat sebagai Komisaris utama di PT. Semen Gresik. Sehingga, posisi inilah yang boleh jadi dimanfaatkan oleh pemerintahan SBY untuk membenturkan Rizal Ramli dengan BIN beserta Menteri BUMN yang saat itu dijabat Sofyan Djalil melalui dua skenario untuk meng-skak mat Rizal Ramli agar stop diaspirasikan dan tidak lagi berpeluang dimajukan sebagi capres 2009.

Diduga kuat, skenario pertama adalah, Menteri BUMN Sofyan Djalil telah diarahkan oleh SBY agar segera memecat Rizal Ramli dari posisinya selaku Komisaris Utama di PT. Semen Gresik. Alasan pemecatannya sangat aneh, yakni Rizal Ramli dinilai tidak profesional dan tak becus melaksanakan tugas. Padahal, sepanjang sejarah kinerja PT. Semen Gresik,  Rizal Ramli adalah komisaris utama yang mencatat sejarah kinerja paling tinggi di BUMN tersebut.

Di belakangan, seperti dilansir liputan6.com, Sofyan Djalil akhirnya mengakui dirinya yang mengusulkan pemecatan itu. Sofyan mengaku gerah dengan sikap oposisi yang ditunjukkan Rizal Ramli dan dinilai tidak etis.

Memperhatikan pengakuan tersebut, maka sangat jelaslah bahwa Sofyan Djalil sesungguhnya melakukan pemecatan terhadap diri Rizal Ramli adalah hanya bersifat emosional, bukan didasari oleh ukuran peningkatan kinerja yang ketika itu PT. Semen Gresik mengalami kemajuan sangat pesat dibawah pimpinan Rizal Ramli.

Kemudian skenario kedua, dalam keadaan tak punya jabatan strategis lagi, tentu Rizal Ramli dinilai bisa dengan mudah dihambat agar tak maju sebagai Capres 2009, salah satu adalah dengan melaporkan Rizal Ramli dari hasil pengintaian BIN sebagai tersangka kerusuhan unjuk-rasa menentang kenaikan harga BBM.

Dari kedua skenario itulah yang memang kemudian membuat Rizal Ramli telat dan kehabisan waktu untuk bisa maju sebagai Capres 2009. Ya, Rizal Ramli harus dipaksa berhadapan dengan kondisi dirinya yang telah dipecat di BUMN itu , dan pikiran serta tenaganya diseret untuk berhadapan dengan urusan hukum yang menjadikannya sebagai tersangka kerusuhah dalam aksi unjuk rasa 2008 tersebut.

Selama ini, di mata SBY nampaknya, tak ada sosok bakal capres yang patut ditakuti, kecuali Rizal Ramli. Karena menurut pemikiran orang bodoh saja memandang: bahwa manalah mungkin seseorang seperti Rizal Ramli yang sejak bocah sudah yatim-piatu (tak punya kedua orangtua) tetapi kok bisa jadi seorang doktor ekonomi dan mampu menjabat menteri? Dan tak punya parpol, tapi kok bisa jadi tokoh nasional?

SBY boleh-boleh saja mampu mengukur kehebatan ARB, Megawati, Wiranto, Prabowo dan bakal capres lainnya hingga bisa menjadi tokoh nasional, karena punya parpol. Tetapi tidak dengan Rizal Ramli, yang bisa dengan gesit melakukan pergerakan dan perjuangan serta perlawanan meski tanpa melalui parpol.

Sehingga itu, SBY sepertinya tidak ingin memberi peluang sedikit pun buat Rizal Ramli untuk bisa maju dan masuk ke dalam tubuh pemerintahan, apalagi jika ingin menjadi seorang presiden. Sebabnya, sudah pasti Rizal Ramli ketika berada dalam sistem, maka diyakini akan “menghajar” para  pejabat nakal dan akan menutup lubang-lubang tempat “para tikus” yang selama ini melahap duit rakyat.

Makanya, banyak pihak yang menyayangkan mengapa masa jabatan Rizal Ramli dalam kabinet begitu singkat seiring dengan “kemelut politik”,  yang ketika itu sempat merobohkan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Coba kalau Rizal Ramli bisa diberi kesempatan sampai 3 atau 5 tahun saja, maka tentu kondisi ekonomi Indonesia tidaklah serapuh seperti saat ini.

Kiranya itulah SBY, yang selalu menganggap orang seperti Rizal Ramli sebagai sosok yang paling “berbahaya”, sehingga harus diposisikan sebagai lawan. Sampai-sampai “kelompok” Rizal Ramli pun otomatis ikut dipandang sebagai lawan.

Tengok saja, misalnya, Khofifah (kelompok Rizal Ramli) sebagai Cagub Jatim 2013 yang begitu sangat merasakan sengaja dihambat agar tak bisa maju dalam Pemilukada. Dan diduga kuat upaya penghambatan itu sengaja dilakukan oleh kubu pasangan Cagub Karsa yang diusung oleh Partai Demokrat bersama koalisinya.

Dan rasa-rasanya, SBY kembali ingin menghambat dan mematahkan langkah maju Rizal Ramli sebagai Capres 2014. Dalam hal ini tidak lagi melalui Menteri BUMN seperti pada saat Sofyan Djalil pada 2008 silam, tetapi kali ini melalui M. Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).

Dengan gaya sedikit diplomasi, M. Nuh mulai menyoroti Forum Rektor Indonesia (FRI) yang telah menyiapkan penyelenggaraan Konvensi Capres Rakyat sebagai konvensi “tandingan” yang biasa dilakukan oleh parpol.

M. Muh yang juga dikenal sebagai salah satu kader PAN itu seakan secara tidak langsung melarang FRI untuk menggelar konvensi capres, karena menurutnya itu adalah urusan parpol. Tetapi M.Nuh nampaknya hanya beda-beda tipis dengan Sofyan Djalil pada 2008 silam, yang sama-sama mengemukakan alasan “emosional” dan kurang rasional.

M. Nuh nampaknya lupa, bahwa FRI adalah tempat berkumpulnya para orang-orang intelektual dari kalangan akademisi, yang sudah pasti memiliki disiplin ilmu yang berbeda-beda, untuk membahas lalu berupaya untuk ikut serta dalam mencari solusi dari seluruh permasalahan yang mencuat di negeri ini, di antaranya masalah ekonomi, politik, hukum dan lain sebagainya.

FRI pasti sangat menyadari, bahwa FRI bukanlah parpol yang bisa mengusung sosok untuk dicalonkan sebagai presiden. Artinya, ia hanya sebatas konvensi, bukan mengusung. Sehingga itu, FRI menamai kegiatannya tersebut dengan menambahkan kata “Rakyat” menjadi Konvensi Capres Rakyat. Penekanannya adalah kata “Rakyat” itulah yang membedakan antara Konvensi Capres Partai…..dan Konvensi  Capres Rakyat.

Konvensi Capres Partai…. bisa saja seluruh yang “mendaftar” sebagai peserta di dalamnya adalah orang-orang yang hanya dinilai secara subjektif dari kacamata politik untuk kepentingan parpol bersangkutan.  Sebab, boleh jadi, di luar dari Konvensi Capres Parpol tersebut ada sosok yang lebih unggul dan tak kalah patutnya untuk “diajukan” oleh rakyat sebagai capres alternatif.

Di sisi lain, Konvensi Capres Parpol, adalah sudah pasti lebih banyak untuk kepentingan parpol yang bersangkutan, bukan parpol lain, apalagi untuk rakyat. Misalnya, Konvensi Capres Partai Demokrat sudah pasti tidak ingin diikuti oleh Wiranto,  Aburizal Bakri, Prabowo, Jokowi, apalagi Megawati. Sementara Konvensi Capres Rakyat bisa diikuti oleh tokoh nasional dari kalangan dan partai mana saja. Dan inilah yang disebut salah satunya dengan partisipasi politik dari FRI, yakni merasa terpanggil sebagai anak bangsa untuk dapat melakukan sebuah PERUBAHAN dari yang tidak baik menjadi sangat baik.

Jadi, saya kira Mendikbud agak keliru menilai FRI. Dan sebagai Mendikbud, M. Nuh tak perlu cemas secara berlebih-lebihan dengan memandang amat kuatir FRI akan terjebak dalam politik praktis. Justru, saya kuatir kepada M. Nuh, yang apabila terlalu menanggapi konvensi rakyat FRI itu akan dapat memecah konsentrasinya sebagai seorang menteri yang diketahui masih banyak persoalan yang belum dituntaskannya.

Sebab menurut saya (penulis), orang-orang yang tergabung dalam FRI pasti bisa memisahkan antara mana tugas dan mana partisipasi sebagai seorang rektor (intelektual) yang juga selaku warga negara. Begitu pula layaknya seorang M. Nuh yang tentu selalu dituntut agar dapat memisahkan mana batasan tugas sebagai menteri dan mana batasan selaku seorang kader parpol.

Sebelumnya, sebagaimana yang dikabarkan, bahwa Mendikbud M Nuh menegaskan agar Forum Rektor tidak terjebak dalam politik praktis guna dukung mendukung calon presiden tertentu. “Jauh lebih bagus menyampaikan persoalan yang sedang dihadapi bangsa, dan sebaiknya ke depan seperti apa. Itu lebih elegan sekaligus menjaga untuk tidak terjebak pada politik praktis,” ujar M. Nuh di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (1/10/2013). Hal itu dikatakan M.Nuh menanggapi pertanyaan wartawan seputar rencana FRI yang akan menggelar Konvensi Calon Presiden. Seperti dilansir oleh Kompas.com.

Statement M. Nuh itu, menurut saya agak tendensius. Dan boleh jadi ia mulai ikut gerah dengan FRI yang telah menyosialisasikan Rizal Ramli sebagai sosok yang dipastikan akan mengikuti Konvensi Capres Rakyat tersebut. Sebagai kader parpol yang melekat di dirinya, di benak M. Nuh bisa jadi terselip pikiran negatif terhadap FRI yang dinilainya telah berani menancapkan “bendera” perlawanan terhadap partai penguasa yang secara kebetulan juga saat ini masih melakukan Konvensi Capres.

Tetapi di sisi bersebelahan, boleh jadi FRI melakukan semua itu adalah sebagai “tanda” bahwa FRI juga mulai gerah dengan kondisi politik di negeri ini yang hanya “ganti kulit” tetapi “mental” tetap sama itu-itu saja, yakni mental korup, penjilat, dan mental konsumtif. Sehingga tak salah jika nantinya FRI menelorkan Tokoh Nasional Pemberani seperti Rizal Ramli, Jokowi dan Mahfud MD sebagai Capres Rakyat 2014. Selanjutnya, terserah apabila parpol akan meremehkan hasil Konvensi Capres Rakyat itu nantinya, maka biarkan rakyat yang akan menentukan pilihannya di Pemilu 2014 yang diprediksi kuat akan lebih memilih untuk GOLPUT jika capres yang dimunculkan oleh parpol hanya tetap pada 4L (Lu..Lu…Lu… Lagi).
****SALAM PERUBAHAN****
---------------

*Sumber: Kompasiana

Selasa, 01 Oktober 2013

Semua Presiden ada “Legacy”, Bagaimana dengan SBY?

Jakarta, [RR1online]:
SETIAP kepala negara maupun kepala daerah di Indonesia, pasti akan meninggalkan legacy atau warisan yang bisa diingat rakyat sepanjang masa, sekaligus akan menjadi tanda sejarah yang dapat ditunjuk sebagai “kejayaan” dari pemimpin tersebut pada masanya.

Lalu, kira-kira apa legacy yang akan ditinggalkan SBY kepada bangsa Indonesia? Pertanyaan ini tidak hanya sering dilontarkan oleh para ahli dan pengamat sosial dari dalam maupun luar negeri, tetapi masyarakat awam pun acapkali mencari-cari hal “istimewa” seperti apa gerangan yang akan ditinggalkan oleh SBY ketika tidak lagi menjadi presiden?

Pertanyaan ini sangat sulit dijawab, karena pencitraan yang jadi model SBY tidak akan menghasilkan legacy apa-apa. Pencitraan tidak original, karena dinilai penuh topeng (kepalsuan) dan lipstik rekayasa. Sehingga, sampai detik ini pun belum ada yang bisa ditunjuk sebagai legacy untuk rakyat dari 10 tahun SBY berkuasa, kecuali defisit keuangan dan hutang negara yang amat besar.

Apakah SBY mampu mempersembahkan legacy, atau paling tidak mengatasi masalah ekonomi yang merosot saat ini?

Menurut saya itu sangat kecil kemungkinannya bisa dilakukan oleh SBY. Sebab, jika dihubungkan dengan begitu banyaknya persoalan negara yang belum teratasi, dengan sisa  waktu masa jabatannya selaku presiden yang sudah hampir tamat, maka sangat sulit bagi SBY untuk “mencatat sejarah” sebagai presiden yang berprestasi gemilang.

Keraguan saya ini dapat kita lihat bersama, bahwa betapa saat ini SBY lebih berkonsentrasi kepada kepentingan partainya daripada bergegas mengatasi masalah negara. Maklum, Pemilu 2014 sebentar lagi akan digelar. Jadi bisa dipastikan, waktu dan pikiran SBY akan lebih banyak tersedot kepada urusan politik daripada mengatasi masalah ekonomi atau menuntaskan persoalan korupsi.

Dalam konteks perkembangan demokrasi, jejak legacy SBY juga tidak ada. Saya setuju, jika kemudian Tokoh Pergerakan Perubahan, Rizal Ramli, menilai SBY telah membiarkan demokrasi prosedural menjadi demokrasi kriminal. Bahkan membiarkan menteri dan kader-kader partai binaannya menjadi pelaku utama korupsi di Indonesia.

Dari segi perlindungan terhadap manusia dan hak-hak minoritas juga sama. Rizal Ramli memandang Pemerintah SBY nampak menutup mata terhadap berbagai pelanggaran hak-hak warga negara dan minoritas.

Dengan prestasi seperti itu, wajar saja jika Rizal Ramli beserta para ahli kuatir, bahwa boleh jadi puluhan tahun ke depan SBY hanya dianggap sebagai footnote (catatan kaki) dalam sejarah Indonesia. “Sayang sekali kalau Mas Bambang (SBY) hanya jadi sekadar catatan kaki dalam sejarah Indonesia,” lontar Rizal Ramli.

Untuk itu sebagai kawan lama sekaligus selaku anak bangsa, Rizal Ramli merasa perlu mengingatkan SBY untuk segera memanfaat sisa waktu (sebelum Pemilu 2014) agar melakukan langkah-langkah signifikan.

Namun jika SBY hanya terus-terus lebih larut dalam urusan partainya hingga Pemilu 2014, lalu melupakan janji-janjinya kepada rakyat, maka saya pun bisa ikut menilai bahwa SBY hanyalah sosok yang gila kekuasaan tetapi sesungguhnya tak mampu menjadi presiden. Padahal rakyat sudah memberikannya kesempatan dua periode berkuasa, tetapi sekali lagi, hingga saat ini belum ada legacy dari SBY untuk rakyat.

Jika hingga berakhir masa jabatannya, SBY toh tetap tidak mampu mempersembahkan legacy atau sesuatu yang dianggap “istimewa” yang setidaknya bisa dipandang bermanfaat buat rakyat, maka tak salah jika kemudian rakyat yang memilihnya sampai 2 pilpres berturut-turut kemarin harus menanggung kekecewaan, dan merasa dibohongi.

Rizal Ramli pun mengurai kembali, setiap Presiden Indonesia meninggalkan legacy atau warisan yang diingat rakyat. Presiden RI pertama, Soekarno, dikenal sebagai proklamator dan pendobrak sekaligus pembebas Indonesia dari kolonialisme. Soekarno juga meninggalkan warisan Pancasila sebagai pegangan ideologis berbangsa dan bernegara.

Presiden RI kedua, Soeharto, meski melakukan banyak pelanggaran HAM, berlaku otoriter dan tidak demokratis, tetapi dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Sementara presiden berikutnya, BJ Habibie, memanfaatkan gelombang reformasi untuk memantapkan demokrasi dan memulai sejarah kebebasan pers di Indonesia.

Adapun Gus Dur, dalam masa jabatannya yang meski pendek, tetapi meninggalkan legacy pluralisme dan humanisme. Sedangkan pengganti Gus Dur, yakni Megawati Soekarnoputri, terkenal sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia yang tak henti-hentinya melakukan perjuangan dalam menegakkan demokrasi di tanah air.

Rizal Ramli memaparkan semua hal tersebut di atas saat tampil sebagai pembicara dalam Seminar Kebangsaan bertajuk: “Mengembalikan Ruh Bangsa yang Berdikari dan Tidak Lupa Sejarah untuk Indonesia Baru”, di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (Kamis, 26/9).>map/ams