Selasa, 29 April 2014

(Saran Buat PDIP) Ini Pasangan Trisakti yang Sebenarnya: "WIRASAKTI"


[RR1online]:
AJARAN Trisakti sebagai cita-cita Presiden Soekarno terpaksa kandas setelah rezim Orde Baru (Orba) berhasil menduduki kekuasaan di negeri ini, dan bahkan boleh dikata lumpuh  pada era Pemerintahan SBY.

Namun pada Pemilu tahun 2014 kali ini,  ajaran Bapak Proklamator Indonesia itu akan sangat berpeluang untuk dihidupkan dan dijalankan kembali. Sebab, anak biologis Presiden pertama Republik Indonesia itu, Megawati Soekarnoputri, berhasil membawa dan menempatkan partai yang dinakhodainya (PDIP) ke papan teratas sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 ini.

Sehingga itu, saat ini sesungguhnya tidaklah sulit bagi Megawati Soekarnoputri jika ingin serius membangkitkan kembali ajaran dari sang Ayah tersebut. Asal saja tidak terjebak dalam politik dagang sapi yang justru kelak akan menjerumuskan PDIP untuk dijauhi oleh wong cilik karena dinilai telah mengkhianati  cita-cita Bung Karno. Sehingganya, mumpung ada kesempatan menghidupkan Trisakti, maka hidupkanlah untuk rakyat!

Sebab di mata publik, PDIP boleh dikata adalah parpol yang untuk sementara ini masih bisa lebih diunggulkan daripada parpol lainnya. Terlebih karena jelang Pileg dan Pemilu Presiden (Pilpres) ini,  sosok Joko Widodo (Jokowi) sebagai kader terbaik PDIP tiba-tiba berhasil melejitkan namanya ke tingkat popularitas paling tinggi hingga sangat sulit ditandingi oleh seluruh nama-nama bakal Capres yang ada di parpol lainnya.

Kiranya dari situlah, Megawati Soekarnoputri kemudian memberi mandat kepada Gubernur DKI Jakarta tersebut sebagai petugas partai agar dapat tampil sebagai Capres PDIP yang akan dimajukan pada Pilpres 2014 ini.

Lalu siapa Cawapres yang dinilai cocok untuk diduetkan dengan Jokowi?

Tjahjo Kumolo selaku Sekjen DPP PDIP telah merilis “kriteria” sosok Cawapres yang dinilai cocok mendampingi Jokowi pada Pilpres 2014 mendatang.

Yakni, PDI-Perjuangan menegaskan bahwa capres dan cawapres merupakan satu kesatuan kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional yang diusung merupakan kepemimpinan Trisakti yang memiliki komitmen besar terhadap Pancasila, UUD 1945, kebhinekaan Indonesia dan NKRI serta mendedikasikan hidupnya untuk rakyat.

Memdalami penegasan yang menjadi “kriteria umum” sebagaimana yang dirilis oleh Sekjen Tjahjo seperti tersebut di atas, adalah sangat jelas menekankan dua “unsur” penting yang harus dipenuhi oleh pasangan calon (Capres-Cawapres) yang akan diusung PDIP.

Yaitu, pertama, mampu menjalankan kepemimpinan Trisakti;  kedua, punya komitmen besar terhadap Pancasila, UUD 1945, kebhinekaan Indonesia dan NKRI serta mendedikasikan hidupnya untuk rakyat.

Penegasan yang disampaikan Sekjen Tjahjo tersebut, sama sekali tidak menekankan Cawapres harus berasal dari parpol koalisi, juga tidaklah mengharuskan Cawapres berusia muda maupun tua. Dan menurut saya, itu memang tak perlu dipersoalkan. Sebab, yang penting pasangan calon harus benar-benar dapat “dijamin” mampu menunaikan dua unsur dari penegasan yang menjadi “kriteria” tersebut di atas.

Lalu pertanyaannya kemudian, apakah Jokowi sudah bisa “dijamin” seorang diri mampu menunaikan ajaran Trisakti, Pancasila, UUD 1945, dan lain sebagainya tersebut? Jawabnya, tentu saja: tidak!

Olehnya itu, Jokowi harus didampingi oleh Cawapres yang dinilai jelas-jelas memiliki “bobot” dan karakter seperti yang ditekankan oleh Sekjen Tjahjo dalam penegasannya tersebut. Siapakah sosok yang dimaksud?

Begini. Jika memang betul-betul ingin konsisten dengan kriteria yang menjadi penegasan tersebut, dan benar-benar ingin menjalankan serta mewujudkan ajaran Trisakti secara murni dan konsekuen, maka sosok yang dimaksud adalah Dr. Rizal Ramli.

Sebab, dari semua nama bakal Cawapres PDIP yang disebut-sebut sejauh ini, Rizal Ramli adalah yang paling mendekati disebut sebagai sosok penganut sejati ajaran Trisakti sejak dahulu kala.

Rizal Ramli juga dinilai sangat konsisten terhadap Pancasila, UUD 1945, kebhinekaan Indonesia dan NKRI serta telah banyak memperlihatkan dedikasinya melalui perjuangan dan pergerakannya dalam membela hak-hak serta kepentingan wong cilik meski jabatan maupun nyawanya harus ia pertaruhkan.

Bukan cuma itu, Rizal Ramli juga sangat cocok sebagai Cawapres PDIP karena dinilai lebih bisa “dijamin” dapat membuat Jokowi merasa nyaman dalam bekerja. Sebab selama ini, ia tumbuh dan besar sebagai seorang tokoh nasional bukan dari lingkungan partai tertentu. Sehingga, tentunya ia bisa dipastikan tidak akan memiliki kepentingan politik yang besar selain hanya fokus kepada terlaksananya ajaran Trisakti tersebut secara utuh tanpa embel-embel politik.

Ketenangan dan kenyamanan sebagai pemimpin dalam bekerja memang sangat diperlukan. Sebab, di akhir jabatannya, SBY dipastikan sangat banyak meninggalkan PR yang sangat berat untuk Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Terutama sekali adalah masalah penataan dan pengelolaan ekonomi-keuangan negara. Di mana utang luar negeri saat ini telah mencapai Rp.3.000-an Triliun; defisit APBN yang terus-terus mengalami minus dengan angka yang sangat tinggi; bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat yang lebih banyak dilakukan melalui impor; dan masih banyak lagi masalah-masalah lainnya yang tercecer dan berserakan di sana-sini.

Dan diyakini, Jokowi nantinya sebagai Presiden hanya akan mampu membenahi semua permasalahan tersebut di atas apabila Wakil Presidennya adalah Rizal Ramli yang memang sejauh ini dikenal sebagai Ekonom Senior penganut ekonomi konstitusi.

Kepiawaian dan integritas Rizal Ramli tentunya tidak akan dapat dilihat jika hanya menggunakan kacamata politik yang sangat cenderung subjektif.

Kualitas pemikiran serta kredibilitas Rizal Ramli yang penuh dengan gagasan perubahan, hanya dapat dilihat dengan menggunakan kacamata hati (batin). Dan salah satu negarawan  besar yang mampu melihat kemampuan Rizal Ramli tersebut adalah (Presiden Alm. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur). Presiden Gus Dur selalu menjadikan Rizal Ramli sebagai ujung tombak dalam mengatasi setiap persoalan rumit di bidang ekonomi. Baik ketika Rizal Ramli menjabat sebagai Kabulog, Menko Perekonomian, maupun ketika menjabat Menteri Keuangan. Dan kini, Rizal Ramli masih aktif sebagai salah satu anggota Dewan Penasehat Ekonomi di badan dunia PBB.

Sehingganya, saat ini bukan lagi waktunya untuk “tawar-menawar” jabatan hanya demi memuaskan nafsu kekuasaan politik belaka, melainkan rakyat saat ini amat butuh lahirnya pasangan pemimpin (Presiden-Wakil Presiden) yang dinilai benar-benar telah menjiwai ajaran Trisakti, yakni sosok yang berani dan “sakti” (pandai-ahli) dalam menyelesaikan tugas-tugas bangsa dan negara.

Olehnya itu, sebagaimana “kriteria” yang menjadi penegasan dari PDIP yang mengharapkan sebuah kepemimpinan Trisakti yang memiliki komitmen besar terhadap Pancasila, UUD 1945, kebhinekaan Indonesia dan NKRI serta mendedikasikan hidupnya untuk rakyat. Dan juga sebagaimana pernyataan dari Sekjen Tjahjo yang mengimbau kepada semua pihak untuk dapat memberi saran dan masukan seputar pasangan calon Capres yang dinilai cocok, maka dengan ini saya mengajukan usulan pasangan calon yang saya sebut: “WIRASAKTI= jokoWI rizal RAmli triSAKTI”, tentunya dengan tanpa mengenyampingkan seluruh pertimbangan dan asas manfaat untuk kemajuan serta perubahan di negeri tercinta ini.

Adapun yang mendasari pemikiran saya memunculkan istilah (Wirasakti) tersebut, adalah mengingat “ruh” ajaran Trisakti  di dalam jiwa Jokowi dan Rizal Ramli sesungguhnya tak perlu diragukan lagi karena keduanya adalah “anak” ideologis Presiden Soekarno. Artinya, keduanya boleh dikata selama ini telah tumbuh dan dibesarkan dari pemahaman jernih ajaran Trisakti, yang tentu saja saat ini memiliki bobot sebagai seorang “wira” (pemberani) dan “sakti” (yang mampu karena ahli) dalam bertindak demi rakyat.

Dan ini bisa dilihat dari “karakter” asli Rizal Ramli yang memang sejak dulu (saat masih kuliah) telah berani dengan tegas melawan otoriter rezim Orba. Hingga kini, perlawanannya dalam membela hak-hak rakyat tak pernah surut sedikit pun meski dulu harus  dibui, rela dicopot dari jabatannya sebagai komisaris utama di salah satu BUMN lantaran menentang kebijakan kenaikan harga BBM. Dan semua itu tentunya adalah  sebuah panggilan mulia dari seorang anak bangsa dalam mendedikasikan hidupnya untuk rakyat.

Namun apabila pasangan “WIRASAKTI” ini tak jua bisa dimajukan pada Pilpres 2014 ini, maka PDIP besar kemungkinan telah terjebak dalam “deal-deal” kepentingan politik dari sejumlah parpol yang akan berkoalisi dengan PDIP, di mana dari pengalaman sepanjang 10 tahun ini parpol koalisi tersebut tidaklah pernah berpikir sedikit pun untuk mewujudkan Trisakti.

Semoga saran ini bermanfaat untuk kemajuan serta kejayaan bangsa dan negara tercinta ini...!!! Amin.

SALAM PERUBAHAN...!!!!
--------------------

Sumber: KOMPASIANA

Minggu, 27 April 2014

NasDem (Mungkin juga PDIP) Lebih Memilih Rizal Ramli untuk Cawapres Jokowi



[RR1online]:
BANYAK pihak yang kini terus mengejar informasi untuk mengungkap siapa gerangan sosok Cawapres yang akan dipilih dan dimajukan oleh PDIP sebagai pendamping Jokowi pada Pilpres 9 Juli 2014 mendatang.

Rasa penasaran pun makin bertambah ketika pihak PDIP hanya memberi “ciri-ciri khusus” terhadap sejumlah sosok yang santer disebut-sebut, namun sampai saat ini belum juga bisa diungkap oleh petinggi PDIP. Padahal besar kemungkinan, Jumat (25/4/2014) kemarin, meski belum final, namun boleh jadi sudah ada sosok (satu nama) yang telah siap diputuskan oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Jokowi.

Siapakah gerangan..???

Mari kita “mengidentifikasi” sosok yang dimaksud sesuai dengan  gambaran atau “spesifikasi” yang telah disampaikan oleh pihak PDIP, dan NasDem sebagai parpol yang akan ikut mengusung Capres Jokowi pada musim Pemilu tahun ini.

Adalah Tjahjo Kumolo selaku Sekjen DPP PDIP dengan sangat jelas dalam website resminya (www.tjahjokumolo.com) telah memberi gambaran tentang “kriteria” sosok Cawapres yang diambakan oleh PDIP.

Yakni, PDI-Perjuangan menegaskan bahwa capres dan cawapres merupakan satu kesatuan kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional yang diusung merupakan kepemimpinan Trisakti yang memiliki komitmen besar terhadap Pancasila, UUD 1945, kebhinekaan Indonesia dan NKRI serta mendedikasikan hidupnya untuk rakyat.

Selanjutnya, mari kita merelevansikan sifat yang menjadi substansi dari penegasan Sekjen Tjahjo tersebut dengan semua sosok yang beredar saat ini. Yaitu terletak pada kalimat: “..kepemimpinan Trisakti yang memiliki komitmen besar terhadap Pancasila, UUD 1945, kebhinekaan Indonesia dan NKRI serta mendedikasikan hidupnya untuk rakyat.”

Dari situ, kita tentu hanya akan menemui sejumlah nama, seperti: Rizal Ramli, Puan Maharani, dan Mahfud MD.

Tetapi dari perkembangan terakhir yang mencuat ditemui adanya kriteria spesifik yang “dibenarkan” sendiri oleh Jokowi. Yakni Jokowi mengakui pesan berantai yang beredar di tengah-tengah masyarakat saat ini tentang ciri-ciri Cawapres, adalah mendekati kebenaran.

Seperti dilansir tribunnews, pesan berantai tersebut bertuliskan: “pernah menjadi menteri tapi bukan di era presiden SBY, dekat tapi jauh, cerdas dan saat muda sangat berprestasi, tidak pakai kacamata, kuliah di AS, jago keuangan (ekonom) dan pasar modal, Islam, terstrukturisasi keuangan di awal 90an.”

Mendekati,” ujar Jokowi singkat saat ditanyai kebenaran atas pesan berantai tersebut. Jokowi menjawab pertanyaan itu usai meresmikan jembatan dan lapangan sepakbola mini di Waduk Pluit, Jakarta Utara, Jumat (25/4/2014).

Sehingga jika mengacu kepada kriteria dari pesan berantai tersebut, maka kemudian hanya ada satu nama yang tersisa, yaitu: Dr. Rizal Ramli.

Mengapa harus Rizal Ramli...??? Tak sulit untuk menjawabnya!!!

Pertama; perilaku Rizal Ramli sejak dulu hingga kini sangat identik atau amat menjiwai ajaran Trisakti dari Presiden Soekarno. Bahkan saking kuatnya gelora ajaran Trisakti yang membakar jiwanya, sampai-sampai Rizal Ramli di usia mudanya telah berani mempertaruhkan dan mendedikasikan hidupnya untuk rakyat melawan penguasa rezim Orba. Di mana ketika itu ia akhirnya diciduk lalu mendekam dalam penjara di rutan yang juga pernah dihuni oleh Bung Karno, di Sukamiskin-Bandung.

Sungguh saat itu Rizal Ramli merasa tak gentar sedikit pun melawan secara bertubi-tubi penguasa rezim Orba. Sebab ketika itu, ia sangat menyadari betul bahwa rezim inilah yang telah “melumpuhkan” ajaran Trisakti. Sehingga, sejak itulah ia bertekad untuk kembali membangkitkan ajaran Trisakti meski nyawa harus menjadi taruhannya.

Dan semua itu siap dilakukan Rizal Ramli karena ia amat merasakan betapa siksa dan menderitanya hidup tanpa kedua orang tua (sudah yatim-piatu di usia 7 tahun). Sehingganya, dengan sangat sadar ia tak rela untuk kehilangan “orangtua” lagi, yakni  “Ibu  Pertiwi” yang telah dan yang akan “memelihara” dirinya bersama seluruh rakyat Indonesia.

Yang kedua; cara pandang, dan tindak-tanduk maupun perilaku Rizal Ramli selama ini sesungguhnya sangat  menyerupai Ibu Megawati Soekarnoputri yang mencerminkan “wajah dan ruh perjuangan” PDI-P.  Sehingga itu, tidak sedikit pihak yang menyebut, jika Ibu Mega Soekarnoputri adalah anak biologisnya Presiden Soekarno, maka Rizal Ramli adalah “anak” ideologisnya sang Proklamator Indonesia tersebut.

Sehingga itulah Rizal Ramli dan Ibu Mega selama ini pun tetap saja konsisten dan memiliki komitmen besar terhadap Pancasila, UUD 1945, kebhinekaan Indonesia dan NKRI.

Selanjutnya yang ketiga; Rizal Ramli selama ini tidaklah berasal dari parpol mana pun. Artinya, ia bukan sebagai kader, apalagi sebagai “pemilik” parpol mana pun. Sehingga,  apabila Rizal Ramli menjadi pemimpin di negeri ini, bisa dipastikan ia tentu tidak memiliki kepentingan besar politik yang terselip di dalam benaknya kecuali akan tetap teguh melanjutkan perjuangannya seperti yang sudah dilakukannya sejak dahulu kala.

Selain dikenal bukan berasal dari parpol mana pun, Rizal Ramli juga bukanlah berasal dari keluarga miliyader. Mendiang ayahnya hanyalah sebagai Wedana (semacam asisten Camat) yang bersahaja namun tegar mengabdi sebagai pamong rakyat. Begitu pun dengan almarhumah ibunya, semasa hidup hanyalah seorang guru sederhana namun cerdas dan disiplin. Dan hanya sifat-sifat itulah yang kiranya bisa “diwariskan” oleh kedua orangtuanya kepada diri Rizal Ramli sebagai yatim-piatu.

Olehnya itu, Rizal Ramli sesungguhnya tak bisa dibanding-bandingkan dengan sosok atau tokoh-tokoh lainnya, apalagi jika ingin disamakan dengan semua sosok kandidat capres ataupun cawapres yang ada saat ini. Sebab, mereka kebanyakan adalah memang berasal dari keluarga ekonomi mapan. Bahkan ada sosok kandidat yang tidak pernah merasakan pahit-getirnya kehidupan karena belum lahir saja (masih dalam kandungan ibunya) ia memang sudah kaya raya di dalam keluarga yang berharta melimpah. Atau minimal, kedua orangtua masih bisa menjadi penopang.

Sebaliknya, Rizal Ramli tidaklah demikian. Ia sudah terbiasa berjuang, sudah terbiasa hidup mandiri, juga sudah terbiasa menderita, serta sudah terbiasa melawan kuatnya arus kehidupan.

Dan kesemuanya itu bisa ia hadapi dengan tegar, karena selama ini memang benar-benar (asli) hanya menggunakan dua “kekuatan”, yakni pikiran dan jiwa yang ia sadari adalah sebagai pemberian langsung dari Yang Maha Mulia Tuhan Semesta Alam. Sehingga itu, kesuksesan yang dimiliki Rizal Ramli saat ini adalah sesungguhnya bukanlah dari hasil “bergantung” dari kedua orangtua, mertua, apalagi dari partai tertentu.

Dari “secuil kisah” atau pencerahan seperti tersebut di atas, maka betapa hebatnya negeri ini jika bisa dipimpin oleh seseorang yang telah “teruji lahir-bathin” seperti sosok Rizal Ramli. Di mana tak jarang sosok seperti ini selalu tak disangka-sangka bisa berhasil tampil sebagai “pemenang” seperti saat ini.

Artinya, siapa yang bisa menyangka jika Rizal Ramli (dari yatim-piatu dan keluarga sederhana) mampu menjadi: Doktor ekonomi, Kabulog, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Presiden Komisari PT. Semen Gresik, serta kini menjadi salah satu Anggota Penasehat Ekonomi di badan dunia PBB, Ketua Umum Kadin, serta kini pula mendapat dukungan untuk menjadi Cawapres. Sekali lagi, siapa yang bisa menyangka semua ini bisa terjadi...???

Sehingga itu, tidaklah berlebihan jika saya katakan, bahwa hanya ada satu di Indonesia (bahkan di dunia) ini seorang Yatim-Piatu sejak kecil yang bisa sukses menjadi menteri, dan sebentar lagi dengan izin Allah pula menjadi pemimpin di negeri ini, yaitu Rizal Ramli..!!!

Dan yang keempat; kandidat kuat Cawapres yang disebut dan diakui mendekati kebenaran oleh Jokowi karena memiliki ciri-ciri sebagai ekonom, pernah menjadi menteri bukan di era SBY, pernah kuliah di AS, jago keuangan, itu adalah  sangat mengarah kepada sosok Rizal Ramli.

Selanjutnya yang kelima; mari kita mendalami apa yang dikatakan oleh Ketua DPP Partai NasDem, Zulfan Lindan.

Melalui Zulfan, Nasdem berpandangan, cawapres yang layak untuk mendampingi Jokowi adalah mantan Menteri Pereknomian Rizal Ramli, Ketua KPK Abraham Samad, dan Ketua DKPP Jimly Assidigie.

Seperti halnya dengan Sekjen PDIP Tjahjo yang bergegas dengan tegas membantah, bahwa sejauh ini belum ada satu sosok pun yang ditetapkan secara resmi sebagai cawapres jokowi, termasuk Jusuf Kalla (JK). Zulfan Lindan pun menyampaikan hal senada, yakni Partai Nasdem tidak menyodorkan nama Jusuf Kalla sebagai cawapres pendamping capres Jokowi ke PDIP.

“Partai Nasdem tidak pernah mendukung Jusuf Kalla sebagai Cawapres Jokowi. Kita serahkan ke PDIP dan tidak mengintervensi penentuan Cawapres Jokowi,” kata Zulvan Lindan, di Jakarta, Jumat (25/4/2014).

Menurut Zulfan, Rizal Ramli dikenal karena pemikirannya tentang ekonomi rakyat. Sedang Abrahm Samad dan Jimly Assidiqie dikenal dalam bidang korupsi dan hukum.

Disebutkannya, bahwa dari ketiga nama tersebut, Partai Nasdem lebih condong mendorong Rizal Ramli sebagai Cawapres Jokowi.

“Rizal Ramli lebih Sukarnois daripada Jusuf Kalla. Jusuf Kalla itu neolib, pragmatis, serta mendukung ekonomi pasar dan pengusaha. Jusuf Kalla adalah orang yang setuju pengurangan subsidi dan kenaikan BBM, sementara Rizal Ramli konsen pada ekonomi berdikari,” ungkap Zulfan.

Karena itu, Lanjut Zulfan, sangat memprihatinkan bangsa ini kalau orang seperti Rizal Ramli tidak diakomodir sebagai Cawapres Jokowi atau Prabowo Subianto.

“Jokowi dan Prabowo akan bertarung ketat di Pilpres 9 Juli nanti, sehingga diperlukan cawapres yang kuat seperti Rizal Ramli. Kami berpandangan, Jokowi lebih tepat dipasangan dengan Rizal Ramli,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, Rizal Ramli sudah teruji di bidang perekomian, serta pernah menjadi Menteri Perekonomian dan mantan Kabulog era Presiden Abdurrahman Wahid.

“Kalau Abraham Samad integritas dan komitmennya masih diragukan karena tidak berani membongkar kasus Bank Century, kasus Hambalang dan SKK Migas yang melibatkan Cikeas. Kalau Jimly itu, orangnya tulus atau nothing to losse dalam mengabdi pada negara, sehingga tidak cocok jadi cawapresnya,” pungkas mantan politisi PDIP ini.

Nah... berdasar dari semua “bocoran” yang telah beredar di tengah-tengah masyarakat kini, maka sangat sulit rasanya “mengada-ngada” atau memaksakan seseorang bisa disebut mendekati (sebagai) sukarnois namun amat prilakunya tidak identik dengan ajaran Trisakti, seperti “kisah” atau rekam jejak yang pernah dilalui Rizal Ramli hingga kini.

SALAM PERUBAHAN 2014....!!!
--------------

Sumber: KOMPASIANA

Sabtu, 26 April 2014

Rakyat Menanti Pasangan Capres Kuda Hitam, bukan "Komodo Hitam"


SECARA leksikal, kuda adalah binatang menyusui dan berkuku satu. Umumnya, kuda dipiara orang sebagai kendaraan (tunggangan, angkutan) atau penarik kendaraan dan sebagainya.

Artinya, kuda di belahan bumi mana pun sangat erat dengan kehidupan manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang, baik dijadikan sebagai sarana transportasi, peternakan, makanan, hingga dijadikan hewan perlombaan adu kuat dan kecepatan. Itulah mengapa kuda dijadikan satuan hitungan “Horse-Power” pada mesin-mesin kendaraan manusia, bukan Rhinoceros Power, Elephant Power, atau lain sebagainya.

Sementara Komodo adalah biawak besar atau spesies kadal tersbesar di dunia yang terdapat dan berasal di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur.

Sebagai reptil purba yang hidup di zaman Dinosaurus, Komodo memiliki perilaku makan dengan cara mencabik potongan besar daging untuk ditelannya bulat-bulat, sedangkan tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa berukuran kecil hingga sebesar kambing, bisa jadi dagingnya dihabiskan sekali telan. Isi perut mangsa yang berupa tumbuhan biasanya dibiarkan tak disentuh. Air liurnya yang kemerahan dan keluar setiap saat dalam jumlah banyak amat membantu Komodo dalam menelan mangsanya. -----------------

TERLEPAS dari gambaran pemahaman terhadap dua hewan yang berlainan jenis di atas, namun dengan mencoba menghubungkannya dengan suasana politik Indonesia jelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, tentunya kedua hewan ini sangat menarik untuk dijadikan sebuah bahan “referensi” tersendiri dalam mengamati isu-isu maupun animo politik yang sedang mencuat akhir-akhir ini.

Adalah tahun 2014 menurut pandangan pakar fengsui merupakan tahun kuda kayu. Dari pandangan ini, khususnya dalam dunia politik diprediksi kuat akan memunculkan pemimpin negeri yang sebelumnya tidak diperhitungkan atau kurang diunggulkan namun tidak disangka-sangka justru berhasil tampil sebagai pemenang dalam Pilpres 2014. Dan inilah kemudian yang lazim disebut sebagai sang “Kuda Hitam”.

Pada Pemilu Legislatif (9 April 2014) yang baru lalu, ramalan tentang “Kuda Hitam” ini nampaknya telah terbukti. Yakni tampilnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang dengan mendapatkan suara terbanyak dalam Pileg 2014 tersebut. Di mana sebelumnya selama 10 tahun PDIP adalah parpol yang berada di luar pemerintahan sebagai oposisi.

Dengan posisinya sebagai parpol oposisi, jelas saja PDIP dinilai sangat kurang memiliki ruang gerak untuk melakukan manuver di dalam pemerintahan, atau dengan kata lain tidak “seleluasa” seperti yang dimiliki oleh parpol penguasa beserta para parpol koalisinya yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Namun nyatanya, pada Pileg 2014 ini PDIP justru berhasil mendudukkan dirinya di papan atas sebagai parpol yang memperoleh suara terbanyak sekaligus mengalahkan para parpol yang selama ini berada di dalam pemerintahan. Dan sekali lagi, PDIP dalam hal ini dapat disebut sebagai parpol “kuda hitam”.

Kemudian, “Kuda Hitam” selanjutnya adalah siapa (dua sosok) yang akan berhasil terpilih menjadi pasangan presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2014 sekaligus sebagai pemimpin di negeri ini?

Bahwa, sebagai parpol pemenang Pileg, PDIP sudah memberi mandat kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai Capres. Dan tentunya, hal ini kemudian menjadi “incaran” sekaligus “sasaran” oleh parpol lain, terutama oleh para elit politik.

Oleh parpol lain dan sejumlah elit politik, PDIP menjadi incaran agar dapat diterima sebagai parpol koalisi sekaligus (parpol lain yang ingin berkoalisi tersebut) berharap agar sosok mereka dapat diterima sebagai Cawapres.

Sementara di sisi lain, parpol dan elit politik lainnya tentunya sedang sangat sibuk membangun poros (koalisi) guna menggabungkan perolehan suara agar dapat pula memajukan satu pasangan calon (Capres-Cawapres), sekaligus  sudah pasti hal ini merupakan salah satu upaya untuk “menaklukkan” pasangan yang akan dimajukan oleh PDIP pada Pilpres 2014 ini.

Artinya, dari sejumlah pengamat saat ini boleh jadi memandang bahwa PDIP kini sedang berada di posisi yang sangat rawan “tergelincir” karena menjadi “sasaran” empuk dengan “dikeroyok” oleh sejumlah parpol papan tengah. Namun menurut saya, kondisi “dikeroyok” seperti itu justru akan menjadikan pasangan calon (Capres-Cawapres) dari PDIP bisa kembali menjadi “Kuda Hitam”. Yakni seperti ketika PDIP menjadi parpol oposisi, namun akhirnya bisa berhasil menjadi pemenang Pileg.

Tetapi, untuk kembali menjadi “Kuda Hitam” yang akan memenangkan Pilpres 2014 ini, adalah tentunya itu  sangatlah tergantung kepada siapa sosok yang akan akan ditunjuk oleh PDIP sebagai Cawapres mendampingi Jokowi pada Pilpres 9 Juli 2014.

Perlu digarisbawahi, bahwa apabila dalam proses penentuan dan penetapan Cawapres dilakukan hanya berdasar pada sebuah “kesepakatan” dari sejumlah parpol yang berkoalisi dengan PDIP nantinya, maka istilah “Kuda Hitam” dengan sendiri tidak lagi berada kepada pasangan calon PDIP tersebut, juga tidak kepada seluruh parpol lainnya yang kini sedang berusaha membangun poros tengah.

Artinya, jika kondisi itu yang berhasil terbangun, maka tidak ada lagi “Kuda-Hitam”. Yang ada hanyalah “Komodo-Hitam= KOmpromi MOdal DOngkrak - Hitam”.

Yakni pasangan calon (Capres-Cawapres) yang disepakati untuk maju bertarung berdasar kompromi dan modal (kekuatan uang) untuk didongkrak sebagai pemenang dalam Pilpres, dengan tujuan hanya untuk pemenuhan kepentingan dan kepuasan masing-masing kelompok.

Dan jika pasangan calon (Capres-Cawapres) “Komodo-Hitam” seperti itu yang berhasil terpilih dalam Pilpres 2014, maka mari kita bergegas untuk kembali membuyarkan segala impian dan harapan kita selama ini. Sebab, perilaku dan cara makan Komodo bisa dipastikan akan terjadi dalam lima tahun ke depan. Sungguh mengerikan..!?!?!

Namun sebelum penetapan, kita tentunya masih berharap semoga masih ada pasangan calon yang meski tidak diunggulkan namun dinilai bisa nantinya bekerja sekuat dan secepat kuda dalam mengatasi persoalan-persoalan bangsa dan negara (karena memang ahli dan punya kredibilitas, integritas, serta kapasitas) maka itulah yang akan tampil sebagai “Kuda-Hitam”, dan bukan “Komodo Hitam”.
-----
Sumber: Kompasiana

Rabu, 23 April 2014

Untuk Cawapres: Dulu JK Something, Sekarang Nothing?


KEPUTUSAN Partai Demokrat (PD) dalam menunjuk dan memilih Jusuf Kalla (JK) sebagai Cawapres untuk diduetkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Capres pada Pilpres 2004, adalah dinilai sangat tepat untuk menghadapi pasangan-pasangan calon dari para parpol lainnya, yang ketika itu terdapat 5 pasang capres.

Saat itu, JK yang lahir pada tahun 1942 masih berusia 60 tahun. Dan usia seperti ini memang dipandang sebagai usia produktif dan matang di dunia kepemimpinan negara.

Dan ketika itu, JK memang menjadi sosok “hangat” yang sangat penting dan strategis untuk dijadikan Cawapres SBY, sebab ia baru saja mengakhiri jabatannya sebagai Menko Kesra.

Boleh jadi juga karena waktu itu JK dianggap memiliki “financially the big power” (punya kekuatan keuangan-bisnis) yang dapat membantu mengatasi persoalan pembiayaan politik PD pada pilpres 2004 tersebut. Bukankah PD waktu itu boleh dikata memang masih “kere” untuk bertarung dalam Pemilu (istilah anak gaul: tidak punya uang cukup)..???

Mungkin itulah kiranya JK benar-benar menjadi sosok yang sangat “something” di mata PD ketika itu. Sehingganya, JK pun dipersunting sebagai pendamping SBY pada Pilpres 2004 silam.

Tidak hanya di mata PD, JK juga kemudian “menjelma” menjadi sosok yang sangat berarti di mata Partai Golkar. Yakni saat JK telah berhasil terpilih dan menjabat sebagai Wapres, seketika itu warga Partai Golkar sepakat dan bulat menunjuk JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Akbar Tandjung.

Namun bagai drama telenovela, pada Pilpres 2009, karena mungkin sudah merasa punya “modal” untuk biaya politik, SBY pun memantapkan diri “bercerai” dengan JK. Dan sebagai gantinya, SBY “meminang” Boediono untuk dijadikan sebagai pendamping baru.

Begitu pun ketika JK takluk dalam Pilpres 2009 sebagai Capres berpasangan dengan Wiranto, Partai Golkar tak lagi bisa mempertahankan JK sebagai Ketua Umum.

Dan jelang Pilpres 2014 kini, mantan “istri tua” SBY itu pun nampaknya masih memiliki “nafsu” tinggi agar dapat dipersunting sebagai cawapres oleh Jokowi, Capres dari PDI-P itu.

Meski keinginan untuk maju bertarung dalam Pilpres adalah juga dapat menjadi hak seorang JK, namun banyak kalangan menilai, bahwa dengan usia yang sudah uzur saat ini JK sebaiknya tak usah memaksakan diri untuk mengejar kedudukan dan kekuasaan lagi, berilah kesempatan kepada orang lain yang belum pernah mendapat kesempatan namun layak untuk juga dilahirkan sebagai pemimpin baru.

Sekaitan dengan hal tersebut, saya sependapat dengan pandangan seorang pengamat dari Cyrus Network, Hasan Nasbi. Ia mengatakan, orang seperti mantan Wapres Jusuf Kalla tidak perlu mencalonkan lagi sebagai Wapres pada Pemilu 2014 ini.

Meski dinilai berpengalaman,  namun menurut Hasan Nasbi, sosok ini (JK) dianggap tidak tepat untuk berpasangan dengan kandidat capres yang ada saat ini.

“Orang seperti Pak JK buat saya seharusnya menjadi mentor bagi siapa pun presidennya bukan berburu jabatan. Siapa pun presidennya maka JK bisa menjadi mentor bagi presiden terpilih,” ujar Hasan dalam sebuah diskusi bertema: “Kawin Paksa, Hancurkan Bangsa”, di Menteng-Jakarta Pusat, Selasa (22/4/2014).

Dua dari kalangan lain juga menilai sama. Yakni, Lieus Sungkharisma selaku Koordinator Forum Rakyat dan Didied Mahaswara selaku Direktur Eksekutif The President Center, sepakat menyebutkan, bahwa JK sebaiknya lebih memilih menjadi negarawan ketimbang melibatkan diri dalam politik praktis dengan berambisi menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi karena pertimbangan usianya yang sudah sepuh.

Namun meski begitu, baik Lieus maupun Didied berharap (semoga) JK dapat menjadi orang pertama Indonesia yang bisa meraih Nobel Perdamaian.

“Pak JK sebaiknya memilih jadi negarawan atau jadi peraih Nobel Perdamaian saja, karena prestasinya sangat bagus, misalnya, dalam perdamaian berbagai konflik di tanah air, seperti Poso, Aceh, dan lainnya. Beliau kan nominator Nobel,” kata Lieus.

Saran dan penilaian lainnya terhadap ambisi JK yang ngotot kembali maju pada Pilpres 2014 juga disuarakan oleh sejumlah pengamat serta aktivis dalam sebuah diskusi bertema: “Pengusaha Hitam dan beban Demokrasi” yang digelar oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), di Hotel Aulia, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2014).

Boni Hargens selaku pengamat politik dari UI menilai, terjunnya para pengusaha khususnya mengincar kursi wapres karena ada kepentingan ekonomi dan akses sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan kelompok usaha atau koleganya.

Seirama dengan Boni, Adhie Massardi dari Koalisi Masyarakat Bersih juga mencurigai ngototnya JK sebagai pedagang yang digadang-gadang untuk maju kembali sebagai cawapres, adalah karena faktor kepentingan ekonomi sekelompok pengusaha.

“Kalau Jokowi ingin didampingi orang yang mengerti ekonomi, jangan pengusaha atau pedagang, cari ekonom yang bersih, masih banyak,” kata Adhie.

Di tempat yang sama, Darmawan Sinayangsah selaku Direktur Freedom Foundation menyebutkan, JK terlalu tua untuk menjadi wapres bagi Jokowi. Lebih baik JK jadi negarawan yang mendidik saja,  jadi politisi senior. Darmawan pun memaparkan kedekatan JK sebagai pengusaha dengan para pengusaha lainnya dapat menyebabkan fokus utama ekonomi nantinya hanya berpihak kepada bisnis mereka. Ini bertentangan dengan sosok Jokowi yang digambarkan sebagai wakilnya ‘wong cilik.’

Selain itu, politisi senior PDI-P, Sabam Sirait, jauh-jauh hari juga sudah pernah memberikan pandangannya bahwa wacana Jokowi-JK adalah pasangan yang tidak layak.

Dan semua yang dikatakan oleh para teman-teman pengamat, aktivis, maupun politisi seperti di atas, adalah sangat tidaklah keliru, termasuk jika ada pengamat politik atau pihak lain yang menuding bahwa JK selama ini boleh jadi hanya memburu kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya saja.

Sebab, bisa ditengok “perjalanan” JK yang berlatar-belakang sebagai pengusaha itu. Yakni dari Kabulog  (dipecat), menteri perdagangan era Gus Dur (dipecat), selanjutnya naik menjadi Wapres (“dicerai” pada periode berikutnya). Lalu masa iya setelah tidak berhasil terpilih sebagai Presiden pada Pilpres 2009, JK kini malah lebih ngotot untuk  kembali menjadi Wapres..???

Sehingga itu, dosen dan pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Herdi Sahrasad juga mengingatkan, agar JK mengurungkan niatnya maju ke bursa cawapres. Pasalnya, selain sudah berumur (tua), nama harum JK sebagai pemimpin dan negarawan akan tercoreng apabila terjebak dalam ambisi untuk kembali menduduki kursi wapres.


SALAM PERUBAHAN 2014…!!!
------------
Sumber: Kompasiana

Minggu, 20 April 2014

Sebelum Tetapkan Cawapres, Jokowi “Patut Sikapi” Penolakannya di ITB

[RRonline]:
IRING-IRINGAN kendaraan yang membawa rombongan Joko Widodo (Jokowi) selaku Gubernur DKI Jakarta untuk memasuki Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), terpaksa berbalik arah, Kamis (17/4/2014). Akibatnya, Jokowi pun batal tampil mengisi kuliah umum sekaligus pembicara dalam acara penandatangan MoU mengenai Smart City antara ITB dan Pemerintah Kota Bandung.

Pasalnya, di depan pintu gerbang utama Kampus ITB, di Jalan Ganesa-Bandung, Jawa Barat itu ada ratusan mahasiswa ITB yang telah memasang barikade sekaligus bertindak sebagai pagar betis dengan membentangkan sejumlah spanduk, salah satunya bertuliskan: “Tolak Politisasi Kampus”.

Dan tentunya, di mata mahasiswa, kunjungan Jokowi yang telah memiliki status politik sebagai Capres PDIP itu dinilai perlu ditolak, karena diduga kuat akan melakukan politisasi di ITB sebagai kampus terkemuka di tanah air.

Namun apapun alasan dan pertimbangan mahasiswa ITB, Jokowi kiranya “patut menyikapi” beberapa hal secara bijak atas aksi penolakannya saat bertandang ke kampus tersebut.

Adalah pertama, Jokowi patut menyikapi secara filosofis. Bahwa, Jokowi sebenarnya tidak ditolak, tetapi hanya diingatkan dalam bentuk aksi damai agar tidak berkunjung ke kampus untuk mengisi kuliah umum, dsb, yakni di saat tahapan ajang politik sedang berjalan seperti saat ini (Pemilu). Sehingga itu, mahasiswa tak ingin diadu-domba, lalu terjebak dalam kepentingan politik dari kelompok-kelompok tertentu.

Yang kedua, Jokowi patut menyikapi secara psikologis. Bahwa, mahasiswa ITB beserta seluruh mahasiswa di perguruan tinggi lainnya adalah merupakan kaum intelektual, sehingga diminta atau tidak, ia  sudah pasti akan terus berusaha mengawal dan mengawasi setiap dinamika berbangsa dan bernegara. Yakni yang baik perlu didukung, dan yang buruk harus disingkirkan. Termasuk dalam pelaksanaan Pemilu.

Dan yang ketiga, Jokowi sangat patut menyikapi secara “historis”. Bahwa, selama negara ini berdiri, telah cukup banyak alumni ITB yang berhasil duduk di dalam kabinet sebagai menteri. Dan bahkan telah terdapat dua alumni ITB yang berhasil menjadi Kepala Negara (Presiden), yakni Soekarno dan BJ. Habibie. Sehingga itu, boleh jadi ada “rasa-rasa” yang kurang “familiar” dirasakan oleh mahasiswa ITB terhadap Jokowi sebagai capres terpopuler pada Pemilu kali ini.

Sehingga itu, sebelum menunjuk dan menetapkan sosok Cawapres, maka Jokowi patut atau tak ada salahnya jika menyikapi beberapa hal tersebut di atas.

Jika mencermati perkembangan yang ada, di mana sejauh ini publik telah mendapatkan “bocoran” seputar kandidat Cawapres yang akan menjadi pendamping Jokowi pada Pilpres 2014, maka ITB (dalam konteks ini) sebetulnya memiliki peluang untuk kembali menambah catatan “historisnya”.

Sebab, dari bocoran nama-nama kandidat Cawapres yang sedang digodok oleh pihak Jokowi (PDIP), terdapat nama Hatta Rajasa dan Rizal Ramli, yang kedua-duanya adalah berasal dari ITB. Namun meski begitu, dari kedua nama tersebut hanya satu nama yang berlatar belakang sebagai aktivis handal serta menyandang gelar doktor ekonomi yang kini dikenal sebagai ekonom senior, yakni Rizal Ramli.

Tanpa bermaksud menyepelekan Hatta Rajasa (HR) atau pihak lainnya. Menurut pandangan saya, apabila kelak sebagai Presiden, Jokowi nantinya boleh jadi hanya akan diselimuti rasa “was-was” jika didampingi oleh HR. Sebab, kita semua tahu, bahwa HR adalah besan SBY. Dan SBY adalah “pemilik” Partai Demokrat (PD). Dan PD adalah “musuh bebuyutan” selama 10 tahun PDIP (sebagai oposisi).

Sehingga itu, jika ingin dihubungkan dengan istilah “historis” ITB, maka sosok yang besar kemungkinan dijadikan Cawapres Jokowi adalah Rizal Ramli. Apalagi memang tidak sedikit pihak yang menilai, bahwa Jokowi sesungguhnya lebih nyaman jika didampingi oleh Rizal Ramli sebagai Wakil Presiden.

Tapi mari kita tunggu, apakah sosok dari ITB kembali bisa muncul sebagai pemimpin di negeri ini pada Pilpres 9 Juli 2014…???

SALAM PERUBAHAN 2014….!!!!
-----------------------

Sumber: KOMPASIANA

Indonesia “Bejo” dan Hebat Jika Punya Pemimpin: Jokowi-Rizal Ramli


[RR1online]:
RAKYAT Indonesia kini sedang siap-siap melahirkan pasangan pemimpin melalui Pemilu Presiden (Pilpres) pada  Rabu (9 Juli 2014) mendatang.

Pemimpin seperti apakah gerangan yang mampu membuat Indonesia bisa menjadi negara "bejo" (beruntung, mujur, selamat) dan Hebat?

Jika pertanyaan di atas dihubungkan dengan kondisi tiga parpol (PDIP, Golkar, dan Gerindra) yang berhasil menduduki papan atas perolehan suara Pileg 9 April 2014 lalu, maka ketiganya pun sudah hampir memastikan akan mendapat tiket guna memajukan Capres mereka masing-masing untuk menjadi pemimpin Indonesia selanjutnya.

Namun berdasar perolehan suara Pileg tersebut dan sesuai hasil pengamatan banyak pihak, maka Capres dari PDIP (Jokowi) dinilai lebih memiliki peluang dan potensi besar untuk memenangkan suara pada Pilpres 9 Juli 2014 mendatang.

Tetapi meski begitu, kubu Jokowi (PDIP) hendaknya tidak serta-merta atau sesuka hati dalam memilih sosok cawapres yang akan dijadikan sebagai pendamping untuk dimajukan bertarung pada Pilpres 2014 ini. Sebab, rakyat (pemilih) pada Pemilu kali ini diyakini akan sangat ketat menghitung-hitung nilai kemampuan dari setiap capres berikut dengan cawapresnya.

Artinya, rakyat (sebagai pemilih) pada Pilpres 2014 ini diyakini tidaklah semata “meneropong” kemampuan capresnya saja, tetapi juga dipastikan akan sangat menimbang-nimbang nilai kredibilitas dan kompetensi yang menjadi cawapresnya.

Olehnya itu, PDIP dalam mencari dan menetapkan cawapres buat Jokowi sebaiknya tak perlu cemas, apalagi sampai “tersandera” dengan  hitung-hitungan “rumus koalisi bersyarat” (cawapres harus dari parpol koalisi) dengan maksud agar dapat memperbesar raihan suara pada Pilpres 2014 nanti. Sekali lagi itu tidak perlu! Santai saja, dan tak usah terlalu tegang!

Sebab, rumus-rumus koalisi pada Pemilu kali ini justeru bisa-bisa hanya menjerumuskan pasangan calon (capres dan cawapres) untuk tidak diminati oleh pemilih.

Sehingga itu, ada beberapa hal yang sangat perlu ditengok oleh PDIP sebagai pemenang Pileg untuk dijadikan pertimbangan yang jauh dari rasa galau, kuatir, dan cemas dalam menentukan cawapres yang ideal, tentu saja ideal menurut pandangan rakyat.

Beberapa hal yang perlu ditengok tersebut adalah di antaranya: bagaimana anjloknya suara Pileg yang diraih oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang disinyalir sebagai akibat “ulah” ketua umumnya yang “nekat” naik di panggung kampanye Gerindra, yang membuat publik politik pun menilai bahwa PPP dan Gerindra ternyata sudah  menjalin koalisi.

Juga dengan Hanura, yang jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan pasangan utuh (capres dan cawapres) secara lengkap dengan ditunjang dengan gerakan pencitraan yang luar biasa, yakni beriklan di berbagai media yang meski sudah diikuti penerapan langsung “bersentuhan” dengan rakyat secara gencar. Namun hasilnya? Silakan ditengok!

Atau silakan juga ditengok sebab-sebab sang partai penguasa Partai Demokrat (PD) harus mendapat “hukuman” dari rakyat dengan hanya berada di papan tengah dalam perolehan suara Pileg 9 April 2014 kemarin. Meski sebelumnya PD sudah merekrut dari berbagai kalangan untuk dijadikan kandidat capres dalam sebuah konvensi. Tapi hasilnya? Silakan ditengok sendiri!

Namun tak kalah pentingnya yang perlu ditengok sekaligus dicermatidan direnungi sebagai pertimbangan matang oleh semua parpol (utamanya PDIP), adalah angka Golput pada Pileg 2014 kali ini sangat tinggi jumlahnya, yakni sekitar 34 persen.

Dan semua itu bukanlah sebuah misteri yang belum jelas, tetapi adalah sebuah keniscayaan. Bahwa sesungguhnya pemilih (rakyat) sejauh ini sudah kehilangan kepercayaan terhadap para parpol. Alam pikir rakyat saat ini sudah berada di tingkat : “tidak butuh lagi dengan parpol, tetapi sangat butuh pemimpin pejuang kesejahteraan ekonomi yang bisa dilahirkan oleh parpol”.

Dan untung saja ada parpol yang “bejo” (beruntung dan patut untuk dipilih) karena masih dianggap sebagai parpol yang tidak ngotot “mengemis” jabatan (dalam kabinet) lantaran lebih memilih memosisikan diri sebagai parpol oposisi selama 10 tahun, yakni PDIP. Sampai itu kiranya yang menjadi salah satu alasan buat rakyat mengapa “moncong putih” harus dimenangkan dalam Pileg 2014.

Namun meski begitu, Pileg dan Pilpres adalah dua ajang yang berbeda. Sehingga PDIP tak mesti buru-buru berbangga hati, melainkan hendaknya harus tetap mawas diri. Sebab, rakyat (pemilih) masih harus menunggu munculnya sejumlah pasangan calon (capres dan cawapres) yang akan disodorkan oleh para parpol pengusung. Idealkah atau tidak buat rakyat? Dan di sinilah pertarungan yang sebenarnya.

Sehingga itu, apabila salah memilih cawapres, maka sangat memungkinkan tingkat elektabilitas dan Akseptabilitas Jokowi sebagai capres yang mendominasi “situasi” bisa-bisa malah akan melemah atau menjadi sulit untuk dipilih oleh rakyat.

Sebab, rakyat diyakini hanya akan memilih Jokowi secara utuh bersama cawapresnya apabila benar-benar dinilai sebagai pasangan calon pemimpin yang ideal dan mampu memenuhi serta mengatasi masalah-masalah yang menjadi persoalan rakyat selama ini, yakni masalah perbaikan dan penegakan kedaulatan ekonomi rakyat.

Hal ini sangat menjadi penting untuk menjadi perhatian bagi kubu Jokowi. Karena dari hasil pendekatan saya kepada masyarakat secara langsung di lapangan, baik ketika dulu masih aktif di dunia jurnalitik di berbagai media selama genap 20 tahun, maupun pada saat ini sebagai penulis dan pengamat politik serta selaku aktivis sosial menunjukkan, bahwa terdapat kecenderungan rakyat yang sangat tinggi hanya lebih menjatuhkan pilihannya kepada calon pemimpin (kepala daerah atau pun kepala negara) apabila sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka (rakyat), yakni untuk kepentingan perbaikan kesejahteraan ekonomi rakyat.

Masih dari hasil pendekatan langsung di lapangan dengan menggali masukan yang menjadi kepentingan rakyat ditemui, bahwa apabila rakyat disuruh memilih satu dari tiga pilihan pemimpin yang ahli, yakni masing-masing ahli di bidang: 1. Ekonomi; 2. Hukum; dan 3. Militer. Maka, rakyat tidak ragu-ragu untuk lebih memilih dan menjatuhkan pilihannya kepada pemimpin yang ahli ekonomi.

Alasannya? Bahwa, persoalan utama yang sangat mendasar bagi bangsa kita saat ini, tidak lain adalah masalah ekonomi. Sebab, ketidakmampuan pemimpin dalam menata dan membangun ekonomi bangsa, dipastikan akan menjadi pemicu timbulnya persoalan hukum dan kriminalitas di tengah-tengah masyarakat.

Banyak contoh peristiwa hukum dan kriminal yang serta-merta terjadi sebagai akibat dari buruknya penataan pembangunan ekonomi negara. Yakni di antaranya; tidak jarang ada anak yang tega membunuh orangtua kandungnya hanya karena sang orangtua tak mampu memenuhi permintaan anaknya, misalnya: minta uang jajan, minta dibelikan kendaraan, minta dibelikan pakaian, dsb; juga tak sedikit ibu tega menghabisi nyawa bocah atau bayinya lantaran tak berdaya memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya; dan juga sangat banyak TKI/TKW yang harus menjadi “babu” lalu terlibat masalah hukum di negeri orang karena sudah sangat sulit menambal hidup di negeri sendiri; dan lain peristiwa semacamnya yang dialami kaum/rakyat miskin sebagai akibat himpitan dan beratnya beban ekonomi.

Begitu pun dengan para pejabat bisa “tertarik” menjadi koruptor. Sebab, mereka punya banyak kesempatan “menyedot” uang rakyat  (negara) lantaran pemimpin tak pandai mengatur dan membaca ke mana sebaiknya “aliran  ekonomi” harus di arahkan. Contohnya, pemimpin harus bisa mengetahui mana yang bisa diberikan kepercayaan mengerjakan sebuah proyek dan mana yang tidak bisa dipercaya dalam mendatangkan kemaslahatan bagi banyak orang, yakni rakyat.

Sehingga itu, tidak salah jika Pemilu kali ini rakyat harus lebih ketat memilih pemimpin, yakni pemimpin baru yang ahli di bidang ekonomi. Sebab, bukankah memang selama ini Indonesia belum pernah melahirkan pemimpin (presiden atau wakil presiden) yang bergelar doktor ekonomi??? Olehnya itu, sudah saatnya Indonesia harus serius membenahi ekonominya dengan melahirkan pasangan sejoli (ideal dan cocok) yang saya sebut: “Bejo RI Hebat= Bersama Jokowi-Rizal Ramli Indonesia Hebat”.

Rizal Ramli adalah sosok fenomenal. Misalnya, untuk menjadi orang Jawa, ia harus “berkorban” dahulu kehilangan kedua orangtuanya. Atau dalam kata lain, untuk menjadi orang Jawa, Rizal Ramli di usianya jelang 7 tahun harus “memasuki pintu” penderitaan dulu sebagai anak yatim-piatu. Yakni, setelah kedua orangtuanya tiada, Rizal Ramli diasuh dan disekolahkan  hingga SMA oleh neneknya di Bogor. Lalu dilanjutkan dengan membanting tulang sendiri membiayai kuliahnya di ITB-Bandung, kemudian berhasil memperoleh beasiswa hingga sukses meraih gelar doktor di bidang ekonomi di Boston-University, AS.

Sehingganya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Rizal Ramli adalah termasuk orang “bejo” nan pandai karena selalu dituntun dan dilindungi langkahnya oleh Tuhan ke arah yang benar sejak dulu.

Termasuk ketika Rizal Ramli harus dipenjara oleh rezim Orba karena berjuang pro-rakyat dalam menegakkan ajaran Trisakti secara keras ketika masih mahasiswa ITB di rutan Sukamiskin (juga tempat Soekarno dipenjara). Kalau saja tak dilindungi Tuhan, maka Soeharto yang “sakit hati” saat itu tentulah tak butuh waktu lama untuk menghabisi nyawa Rizal Ramli. Dan boleh jadi, ada kejadian “tercecer” yang sulit dicatat oleh sejarah. Misalnya, Soeharto kala itu mungkin sengaja dibuat sibuk oleh Tuhan agar selalu “lupa” menembak Rizal Ramli. Bejo dan selamatlah dia hingga kini. Hehehee..!?!?

Dan di balik dari semua “kejadian penyelamatan” terhadap diri Rizal Ramli  mulai dari kesedihannya sebagai anak yatim-piatu hingga pada penderitaan dan penyiksaannya di balik jeruji di masa lampau tersebut, boleh jadi ada “rencana” terbaik dan mulia dari Tuhan buat bangsa ini.

Artinya, siapa yang mengira bocah yatim piatu ini masih bisa hidup serta selamat, dan bahkan bisa menjadi: Penasehat Ekonomi di Fraksi ABRI; Kabulog, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Komisaris Utama Semen Gresik (diberhentikan karena tampil di baris terdepan perjuangkan hak rakyat dalam aksi demo melawan kebijakan SBY menaikkan harga BBM-2008), dan kini sebagai salah satu anggota dewan Penasehat Ekonomi di badan dunia PBB; serta dipercaya sebagai Ketum Kadin.

Dan masih banyak lagi alasan riil, mengapa Jokowi sangat ideal diduetkan dengan Rizal Ramli pada Pilpres 2014 sebagai pasangan pemimpin yang amat dibutuhkan oleh Rakyat Indonesia dalam membenahi persoalan kedaulatan ekonomi bangsa dan negara ini. Bahkan pasangan “Bejo RI Hebat” ini sekaligus diyakini akan mampu “menebus” dugaan kesalahan Ibu Mega di masa lalu ketika menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-5.
















Dan sejauh ini, memang kriteria-kriteria yang dimunculkan oleh sejumlah internal PDIP semuanya condong mengarah kepada sosok Rizal Ramli. “Harus bisa bekerja sama dengan Pak Jokowi, memiliki komitmen yang sama dalam membangun sistem pemerintahan presidensil, siap menjalankan program pro-rakyat dan mampu mengimplementasikan Trisakti di bidang ekonomi, politik, dan pendidikan,” ujar Sekjen PDIP, Tjahyo Kumolo,  setelah menghadiri pertemuan tertutup di kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Selasa (15/4/2014).

Aria Bima selaku Wasekjen PDIP dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini-Jakarta Pusat, Minggu (13/4/2014)  juga pernah menggambarkan, bahwa cawapres ideal untuk Jokowi adalah yang punya karakter seperti Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Yakni, selain tegas, sosok cawapres itu juga harus memiliki platform kedaulatan pangan, energi, kedaulatan wilayah dan tentunya tidak pro neoliberal.

Bahkan Koordinator Jokowi Ahok Social Media Volunteer (Jasmev), Kartika Djoemadi, telah memberi “bocoran” sejumlah nama bakal Cawapres Jokowi yang kini sedang digodok di internal PDIP, yakni salah satunya Dr. Rizal Ramli sebagai kandidat Cawapres terkuat.

“Pak Jokowi merasa nyaman dengan Rizal Ramli. Satu visi dan pemikirannya jauh ke depan,” ungkap Kartika. Seperti dilansir Tribun, Kamis (17/4/2014).


















Rizal Ramli, ujar Kartika, adalah salah satu figur yang bisa melengkapi Jokowi yang egaliter. “Rizal Ramli seperti Ahok, berani dan cepat mengambil keputusan. Rizal Ramli juga tegas berani memarahi bawahan, karakter Rizal dengan Ahok, sama,” ungkap Kartika.

Dari sisi politis, lanjut Kartika, Rizal Ramli juga dekat dengan kalangan Nahdliyin, dan terbuka dengan semua partai politik, termasuk Partai Gerindra.

Kartika bahkan mengakui, Rizal Ramli juga memiliki basis massa kuat, termasuk dari kalangan aktivis. Rizal mampu masuk ke semua kalangan, termasuk kalangan pengusaha dan militer. “Rizal Ramli termasuk yang berhasil saat berada di eksekutif di pemerintahan Gus Dur,” pungkas Kartika.

Menyimak berbagai pandangan dan kriteria maupun bocoran sejumlah nama kandidat Cawapres buat Jokowi, sekali lagi sebagai saran, hendaknya PDIP tak perlu terjebak dengan hitung-hitungan koalisi parpol “bersyarat” yang harus menekankan cawapres berasal dari parpol, pun jangan sampai terbius dengan pengaruh dari kelompok-kelompok tertentu yang dinilai memiliki “kekuatan” tertentu pula . Sebab, hitung-hitungan seperti ini lebih cenderung “mengandung” dan melahirkan gesekan kepentingan dari kelompok tersebut. Yang pada akhirnya, justru akan “menjerumuskan” PDIP berada pada risiko-risiko tinggi, baik pra maupun pasca Pilpres 2014.

Tanpa bermaksud menyepelekan kandidat cawapres lainnya, dengan memilih Rizal Ramli sebagai sosok yang tak pernah dibesarkan oleh parpol atau kelompok kekuatan mana pun untuk di jadikan Cawapres pendamping Jokowi, maka dengan begitu, PDIP sesungguhnya telah berkoalisi dengan rakyat. Semoga dengan “Bejo RI Hebat” menjadi kenyataan untuk Indonesia yang digdaya, terutama unggul dan tangguh di bidang ekonomi. Sebab, jika ekonomi Indonesia masih terus lemah dan miskin, maka negara-negara luar tidak hanya gemar memandang enteng Indonesia, tetapi juga negara-negara asing akan selalu bisa dengan mudah menguasai negeri kita.

SALAM PERUBAHAN 2014….!!!!
-----------------

Sumber: KOMPASIANA

Kamis, 17 April 2014

Hasil Pileg “Kolaps”, Bukti Rakyat Tolak Capres Parpol. Jangan Dipaksakan Maju!


[RR1online]:
LINGKARAN Survei Indonesia (LSI) telah merilis 10 besar hasil quick-count perolehan suara Pemilihan Legislatif (pileg) 2014, berikut adalah hasilnya:

1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP): 19,53%
2. Partai Golongan Karya (Golkar): 15,43%
3. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): 11,76%
4. Partai Demokrat: 10,32%
5. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): 9,40%
6. Partai Amanat Nasional (PAN): 7,38%
7. Partai Persatuan Pembangunan (PPP): 6,91%
8. Partai Keadilan sejahtera (PKS): 6,21%
9. Partai Nasional Demokrat (NasDem): 6,01%
10. Partai Hanura: 5,31%

Dari hitung cepat tersebut, terdapat tiga parpol yang berhasil menduduki papan atas perolehan suara, yakni PDIP, Golkar, dan Gerindra.

Sayangnya, ketiga parpol papan atas tersebut, tak satu pun yang bisa mengusung pasangan calon (capres-cawapres) karena ketiganya tidak mencapai ketentuan/aturan presidential-threshold. Sehingga, semua parpol papan atas itu dipaksa untuk membentuk koalisi dengan parpol lainnya jika ingin mengusung satu pasang capres.

Tapi adakah kita sadari, makna apa sebetulnya yang terkandung dari hasil Pileg 2014 sampai-sampai tak satu parpol pun yang berhasil mencapai presidential-threshold? Mari kita menggali apa maknanya di balik perolehan suara pada Pileg 2014 terhadap seluruh parpol.

Bahwa, hampir semua parpol sudah banting tulang (peras otak, peras keringat, peras kantong) dan telah melakukan banyak cara agar dapat mendulang suara maksimal dalam Pileg guna pemenuhan syarat presidential-threshold.

Salah satu cara yang dilakukan oleh hampir semua parpol tersebut, adalah dengan tergesa-gesa dan penuh rasa percaya diri memajukan dan “menjual” capres masing-masing melalui etalase publik di berbagai media (elektronik, cetak, online, dsb), yakni beriklan.

Selain itu, sebagian besar parpol juga jauh-jauh hari telah mengerahkan mesin politiknya dengan membentuk tim untuk melakukan “gerilya” ke berbagai pelosok tanah air (juga menjelajah di seluruh penjuru dunia internet) sebagai upaya mendekati serta “membujuk” rakyat.

Bahkan, ada sejumlah parpol yang begitu gencar “memperkosa” kesucian (idealisme) media massa miliknya demi mewujudkan ambisi kekuasaanya, yakni dengan beriklan (pun berita pesanan) pagi-siang-malam sebagai bentuk pencitraan dan populeritas agar dapat memperoleh simpati pemilih, sekaligus hal itu tentu juga bertujuan agar bisa menaklukkan lawan-lawan politiknya.

Lalu setelah itu, apa kemudian hasil dari semua pencitraan yang telah dilakukan oleh para parpol tersebut??? Hasilnya: jumlah suara dari rakyat kepada seluruh parpol pada Pileg 2014 menunjukkan kondisi “kolaps”. Atau dengan kata lain, perolehan suara Pileg tidaklah sebanding dengan besaran usaha keras dari para parpol serta sangat jauh meleset dari yang ditargetkan oleh masing-masing parpol. Yakni, suara Golput (Golongan Putih) menjadi pemenang Pileg 2014, mencapai sekitar 34%, jauh mengungguli suara PDIP, Golkar, dan Gerindra.

Mengapa sampai bisa begitu???

Begini jawaban sederhananya. Ketika hasil Pileg 2014 dinilai kolaps, di mana tidak satu pun parpol yang bisa mencapaipresidential-threshold dan hanya menempatkan Golput sebagai pemenangnya, maka itu adalah bukti, sekali lagi sebagai bukti yang sangat kuat, bahwa sebetulnya seluruh Capres yang telah diajukan oleh parpol sama sekali dinilai tidak akan mampu mengatasi masalah-masalah bangsa dan negara kita. Bahkan diyakini, para capres tersebut nantinya hanya akan menambah banyak masalah bagi rakyat. Sampai itu tidak sedikit rakyat yang lebih memilih untuk Golput.

Padahal, sejumlah parpol sangat optimis dengan disodorkan dan ditetapkannya sosok capres sebelum Pileg, maka sosok tersebut diyakini akan mampu mendongkrak perolehan suara. Tetapi nyatanya, tidak satupun capres yang mampu membawa parpolnya tembus di presidential-threshold. Padahal para capres tersebut sudah sangat banyak menghabiskan biaya beriklan dan pencitraan sajungan puji-pujian ke mana-mana, tetapi hasilnya: ZERO EFFECT. Mengapa???

Sebab, seluruh capres yang telah ditetapkan dan ditonjolkan secara berlebih-lebihan oleh parpol masing-masing tersebut, masih dinilai amat kurang memiliki kompetensi, kredibilitas, dan keahlian yang mumpuni. Sehingga, diyakini seluruhnya tidak akan mampu memberi perubahan signifikan, terutama dalam hal perbaikan dan penegakan kedaulatan ekonomi rakyat di negeri ini.

Olehnya itu, rakyat sesungguhnya dengan penuh kesadaran telah menggunakan “kekuasaannya” dengan lebih memilih menjadi Golput sebagai bentuk PENOLAKAN terhadap seluruh capres yang telah ditetapkan oleh para parpol tersebut.

Ingat, kondisi kemenangan Golput itu tidaklah timbul dari alam bawah sadar, melainkan telah lama bersemayam di pikiran serta di hati rakyat sebagai pemegang kedaulatan sesungguhnya di negara ini. Dan betapa telah cukup lama rakyat menyusun “bangunan” (harapan) Perubahan di alam pikiran dan di hati masing-masing. Sehingganya, rakyat tak rela jika “bangunan” itu ditumbangkan dan runtuh kembali akibat nafsu dari para elit parpol yang hanya memburu kedudukan dan kekuasaan.

Pada Pemilu kali ini, rakyat sangat menghendaki lahirnya pemimpin ideal dari daerah (atau pulau) mana pun, asalkan sesuai dengan tuntutan bangsa. Yakni, pemimpin yang mampu menangani dan menyelesaikan masalah-masalah di negeri ini. Dan bukan pemimpin yang dilahirkan secara “paksa”, yakni dari hasil deal-deal koalisi atau berdasar “jasa” karena bisa memenuhi presidential-threshold. Dan cukuplah itu terjadi di masa-masa lalu. Bukan pada Pemilu 2014 ini..!!!

Sehingga itu, sebaiknya parpol jangan sekali-kali mengabaikan “penyebab” terjadinya Golput, apalagi ingin memaksakan kehendak dengan hanya menuruti hitung-hitungan koalisi belaka tanpa mau mendahulukan selera rakyat, termasuk adanya dengan keinginan kaum Golputers tersebut.

Sekali lagi, ini hanya mengingatkan dan sekadar saya sarankan kepada para parpol papan atas dan menengah, bahwa tolong dengan serius direnungi penyebab tingginya angka Golput pada Pileg 2014 ini, untuk dapat disikapi secara cermat oleh para parpol agar tidak hanya seenaknya sendiri menetapkan pasangan capres (tidak sesuai dengan tuntutan zaman yang menuntut kemajuan ekonomi bangsa). Jika hal ini diabaikan karena telah diperbudak oleh nafsu kekuasaan, maka hasil PILPRES 2014 saya yakini dengan seyakin-yakinnya akan menemui kegagalan besar. Semoga artikel ini bisa menjadi bahan introspeksi dan pertimbangan yang bermanfaat dalam mewujudkan KEDAULATAN EKONOMI BANGSA DAN NEGARA INDONESIA YANG KITA CINTAI BERSAMA DI PEMILU 2014 KALI INI!


SALAM PERUBAHAN 2014…!!!
-----------------

Sumber: KOMPASIANA

Selasa, 15 April 2014

Salah Pilih Pacapres? Tidurlah Kembali, dan Usaplah Dada Perubahan di Alam Mimpimu!


[RR1online]:
HASIL quick-count Pileg 2014 menunjukkan, bahwa tak satu pun parpol yang memenuhi presidential-threshold. Dan kondisi itu tentu saja membuat parpol papan atas dan menengah, mau tidak mau, harus membentuk koalisi jika ingin memajukan Pasangan Capres (Pacapres) pada Pilpres 9 Juli mendatang.

Dan itu artinya, akan ada “perburuan” jatah jabatan melalui deal-deal politik secara gencar dari parpol menengah dan bawah kepada parpol papan atas (PDIP, Golkar, dan Gerindra).

Dari situ, jika para parpol papan atas tidak sensitif dengan jeritan-jeritan rakyat miskin yang sudah lama terhimpit masalah ekonomi, pun hanya bermasa bodoh dengan tangisan ibu pertiwi yang telah tereksploitasi oleh negara-negara asing, dan hanya terbius dengan deal-deal politik yang sarat dengan kepentingan kelompok, maka parpol papan atas tersebut akan lebih cenderung berkoalisi dan menerima cawapres dari parpol menengah asalkan bisa menyediakan ongkos politik pada kampanye Pilpres, paling tidak sebesar 60%, meski cawapres yang diajukan tersebut mungkin jelas-jelas adalah sosok yang tidak bisa menjawab atau mengatasi persoalan di negeri ini.

Dan jika kondisi koalisi seperti itu yang berhasil terbangun untuk Pilpres 2014 ini, maka mari kita ucapkan: “Innalillahi wa innailaihi rojium.. selamat datang kembali di negeri dongeng… dan tidurlah kembali wahai rakyat miskin serta anak-anak terlantar di atas pusara sang harapanmu, dan peluklah adikmu, lalu usaplah dada perubahan di alam mimpinya”.

Menyadari permasalah bangsa dan negara kita sejak dulu hingga kini selalu saja tidak bisa teratasi, secara substansial itu karena di setiap Pemilu, pemimpin (presiden dan wakil presiden) yang dilahirkan selalu saja adalah berdasar dari hasil koalisi, dan bukan didasari keahlian dan kredibilitas atas persoalan yang sedang melilit bangsa dan negara, yakni masalah yang berorientasi pada kedaulatan ekonomi rakyat.

Artinya, Rakyat Indonesia betapa sangat tidak menghendaki lahirnya pasangan pemimpin (presiden dan wakil presiden) yang tidak ideal dalam mengatasi persoalan bangsa. Yakni pasangan pemimpin yang lahir HANYA dengan berdasar dari hasil hitung-hitungan kemenangan yang dikemas dalam istilah koalisi.

Rakyat Indonesia saat ini, sebetulnya sangat mengharapkan lahirnya pemimpin negara pada pemilu 2014 kali ini adalah sepasang sosok yang benar-benar memiliki keahlian dan kredibilitas yang dinilai mampu menghidupkan kedaulatan ekonomi di negeri ini, tentu saja ditunjang dengan bobot integritas yang tinggi.

Sebab, persoalan utama yang sangat mendasar bagi bangsa kita saat ini, adalah masalah ekonomi. Ketidakmampuan pemimpin dalam menata dan membangun ekonomi bangsa, dipastikan akan memicu timbulnya persoalan hukum dan kriminalitas di tengah-tengah masyarakat.

Padahal kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Indonesia sungguh sangat melimpah. Namun ketika pemimpin yang kita lahirkan ternyata tidak ideal serta tidak punya keahlian mengelola dan menata perekonomian negara kita,  maka pemimpin tersebut hanya pandai melakukan beberapa kegemaran, yakni di antaranya adalah:

1. Gemar “menjual dan menyerahkan” kekayaan alam kita kepada negara-negara asing,

2. Gemar menambah utang luar negeri. Sekadar info, Bank Indonesia (BI) mencatat total utang luar negeri per-Januari 2014 mencapai $269,27 Miliar (sekitar Rp. 3.000 Triliun lebih). Ke mana larinya utang ini, dan dinikmati oleh siapa..??

3. Gemar melakukan impor. Tak tanggung-tanggung yang diimpor nyaris seluruh bahan kebutuhan pokok rakyat, yang sesungguhnya bisa dikelola dan disediakan sendiri oleh negara ini jika memiliki pemimpin yang ideal.


4. Gemar berjanji namun nyatanya ingkar (berbohong) kepada rakyat demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar untuk kelompoknya saja. 

Itulah empat “kepandaian” menonjol yang gemar dilakukan oleh para elit parpol di negara kita. Dan umumnya, empat kepandaian tersebut di atas bisa dengan mudahnya dilakukan oleh pemerintah yang hanya terbentuk atau didasari dari hasil koalisi dan deal-deal politik.

Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kegemaran tersebut, maka rakyat pada pemilu kali ini harus benar-benar “ngotot” untuk hanya memilih pemimipin yang ideal. Namun seandainya tidak ada pasangan capres yang dinilai ideal, maka rakyat sebaiknya jangan memaksakan diri di saat ragu-ragu memberikan suara pada pilpres 2014 ini. Sebab pemimpin ideal yang kita butuhkan adalah sosok yang diyakini memiliki kredibilitas dan keahlian tinggi dalam menata dan mengelola kedaulatan ekonomi bangsa kita, bukan sosok yang jelas-jelas terkesan dipaksakan maju dalam Pilpres hanya karena popularitas dan uang.

Sebagai bahan renungan bagi kita semua yang betapa sangat membutuhkan sosok pemimpin ideal (ahli dan tegas), adalah bahwa jika emas di Papua yang sedang dikelola oleh asing itu bisa dibagikan kepada 240 juta Rakyat Indonesia, maka akan bisa mendapat 3 ton perjiwa atau perorang (klik: sumber). Dan ini hanya bisa sedikitnya dilakukan oleh pemimpin ideal yang tidak gemar berbohong kepada rakyat.

Dan sungguh, jika saja emas 3 ton itu benar-benar bisa terwujud, maka sangat dipastikan tidak ada lagi Rakyat Indonesia yang miskin, tidak ada lagi anak terlantar yang tidur di bawah kolong jembatan, juga di got atau di gorong-gorong kanal seperti pada gambar (foto) dalam bagian artikel ini.

Namun jika pemimpin yang kita pilih nantinya dalam Pilpres 2014 hanya melihat PARTAINYA, dan hanya sekadar KAGUM kepada sosok pasangan capresnya, bukan didasari atas keahlian dan kredibilitasnya sebagai sosok yang ahli di bidang ekonomi, maka sekali lagi mari kita ucapkan:

“Innalillahi wa innailaihi rojium.. selamat datang kembali di negeri dongeng… dan tidurlah kembali wahai rakyat miskin serta anak-anak terlantar di atas pusara sang harapanmu, dan peluklah adikmu, lalu usaplah dada perubahan di alam mimpinya”.



SALAM PERUBAHAN 2014 ....!!!
--------

Sumber: KOMPASIANA

Sabtu, 05 April 2014

Rizal Ramli “Didaulat” Cawapres Paling Ideal 2014


[RR1online]:
BERBAGAI pertimbangan dan referensi kini harus terus diolah oleh parpol, baik dari internal parpol maupun dari lembaga survei dalam memunculkan calon pemimpin yang berkualitas sesuai tuntutan dan harapan rakyat pada Pemilu 2014 kali ini, bukan dengan rekayasa yang hanya akan membuat produk Pemilu menjadi tidak berkualitas dan hanya menjadi beban bagi bangsa dan negara 5 tahun ke depan.

Olehnya itu, hitung-hitungan Pemilu Presiden (pilpres) 2014 harus bisa dirumuskan dan dikaji secara matang dan menyeluruh demi memenuhi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Untuk memenuhi hal tersebut, pihak parpol dalam memunculkan sosok capres harus semaksimal mungkin dengan cermat menentukan cawapres sesuai tuntutan dan kebutuhan  rakyat Indonesia, yakni pasangan pemimpin (capres dan cawapres) yang benar-benar bisa menjawab serta mengatasi seluruh persoalan bangsa dan negara ini untuk 5 tahun ke depan.

Artinya, pihak parpol hendaknya tidak mengedepankan nafsu dan ambisi besarnya untuk hanya memperoleh kekuasaan semata sehingga mengenyampingkan tuntutan dan kepentingan rakyat ke depan.

Parpol bisa saja kini sudah bulat menetapkan sosok bakal capresnya, tetapi parpol jangan sampai keliru menduetkan atau memasangkan capresnya dengan seorang cawapres.  Sebab, dalam Pemilu, dukungan rakyat bisa saja tiba-tiba berubah setelah melihat dan mengetahui cawapres yang akan mendampingi capres yang bersangkutan.

Beberapa hal yang bisa membuat dukungan rakyat jadi berubah di antaranya adalah kekuatiran, bahwa: apakah pasangan capres tersebut benar-benar mampu nantinya mengatasi persoalan bangsa dan negara yang diyakini ke depan lebih sangat rumit dibanding pada era sebelumnya? Atau apakah pasangan capres tersebut nantinya justru menjadi beban buat rakyat, dan malah makin membuat rakyat jadi susah? Dan sebagainya.

Sekaitan dengan itu, untuk membantu menghilangkan sejumlah kekuatiran tersebut, Lingkaran Studi Perjuangan (LSP) pun menyodorkan hasil “studinya” terhadap sejumlah tokoh yang dinilai ideal diposisikan sebagai Cawapres guna memperkuat kemampuan Capres dalam mengatasi persoalan bangsa dan negara ketika terpilih nantinya.

Dan sejauh ini sudah ada tiga sosok bakal capres yang dianggap telah siap dan serius akan bertarung dalam pilpres, yakni Joko Widodo, Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie. Hanya memang, sejauh ini pula ketiga tokoh tersebut belum memiliki calon pendamping yang dianggap tepat.

Sehingga itu, selain membantu menghilangkan sejumlah kekuatiran rakyat, studi (survei) yang telah dilakukan LSP juga sekaligus adalah untuk membantu ketiga bakal capres tersebut dalam mendapatkan Cawapres yang tepat dan ideal.

Seorang peneliti LSP, Gede Sandra, menilai ada tujuh tokoh yang layak dan ideal mendampingi tiga capres tersebut.  “Menurut kami Rizal Ramli, Abraham Samad, Mahfud MD, Gita Wirjawan, Hatta Rajasa, Jusuf Kalla, dan Moeldoko yang paling ideal menjadi wapres dari ketiga capres itu,” ungkap Gede Sandra saat memaparkan hasil survei LSP, di Dapur Selera, Tebet, Jakarta, Jumat (4/4/2014). Seperti dilansir jpnn.com.

Dalam menentukan para kandidat cawapres tersebut, LSP menggunakan pendekatan yang mengedepankan indikator: visi trisakti, bukti trisakti, sikap anti-KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), kepemimpinan dan prestasi, pluralisme, jaringan internasional, efektivitas dalam menghadapi parlemen, serta keberpihakan pada rakyat. Dalam pengumpulan komponen indikator ini, LSP salah satunya memanfaatkan mesin pencarian di internet.

Dan hasilnya, LSP pun menemukan dari indeks kedaulatan skala 0-100, Rizal Ramli “didaulat” sebagai Cawapres paling ideal karena memperoleh nilai indeks sebesar 88. Disusul di bawah Rizal Ramli ada Abraham Samad (63), Mahfud MD (63), Gita Wirjawan (50), Hatta Rajasa (50), Jusuf Kalla (50) dan Moeldoko (50).

Rizal Ramli dinilai paling ideal,  sebab rekam jejaknya di bidang ekonomi selaku ekonom senior selama puluhan tahun dalam membela kedaulatan bangsa dan rakyat amat jelas dan konsisten. Demikian pula dengan Abraham Samad dan Mahfud MD sebagai pendekar hukum. “Karena itu LSP berharap para (bakal) capres dapat mempertimbangkan ketiga nama cawapres tersebut yang bisa jadi penentu perjalanan Indonesia pasca 2014,” pungkas Gede.
-------------
Sumber: KOMPASIANA

Jumat, 04 April 2014

Masih Sangat Banyak Rakyat Miskin, Kiai Hasyim: Indonesia Butuh Presiden Ekonom


[RR1online]:
MESKI Indonesia adalah negara yang sangat subur serta memiliki kekayaan alam yang amat melimpah, juga punya APBN yang jumlahnya ribuan Triliun setiap tahun, namun banyak fakta yang tak bisa dibantah tentang kondisi ekonomi Indonesia yang masih saja amat suram dan menyedihkan.

Di antaranya, adalah masih banyaknya rakyat Indonesia yang mengalami kesulitan ekonomi, sehingga tidak sedikit yang terpaksa melakukan hal-hal yang tak diharapkan (misalnya: mencuri, menjadi gila, dsb) karena terdesak masalah ekonomi.

Selain itu, tidak sedikit pula warga Indonesia yang terpaksa meninggalkan sanak-keluarganya ke luar negeri hanya untuk menjadi kuli di negara lain sebagai TKI, sebab di negeri sendiri peluang menyambung dan menambal hidup dirasa sudah sangat sulit disediakan oleh pemerintah.

Lalu resolusi seperti apa yang mendesak untuk segera dilaksanakan oleh rakyat dalam Pemilu 2014 kali ini agar mampu mendapatkan solusi dari persoalan bangsa?

Mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, pada Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan yang digelar di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Cipete, Jakarta (Rabu, 2/4/2014), memberikan pandangan serta penegasan yang sangat mendesak untuk segera ditunaikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Yakni, Pemimpin (presiden dan wakil presiden) yang dibutuhkan Indonesia saat ini dan untuk ke depan adalah sosok yang harus mengerti permasalahan bangsa dan bisa mengatasinya.

Menurutnya, masalah terberat yang sedang dihadapi bangsa dan negara Indonesia saat ini adalah masalah ekonomi. Sebab, katanya, rakyat Indonesia sampai saat ini masih amat banyak yang hidup dalam garis kemiskinan (ekonomi lemah)

“Pemimpin yang kita butuhkan harus pejuang ekonomi (ekonom handal prorakyat). Pejuang ekonomi berarti selain mengerti masalah-masalah ekonomi dia memiliki komitmen yang jelas dalam memperjuangkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat,” tegas Kiai Hasyim, seperti dilansir rmol.

Lebih jauh, Kiai Hasyim menambahkan, bahwa masalah krusial lain yang dihadapi bangsa dan negara saat ini adalah tidak adanya penegakkan hukum. Sistem penegakan hukum, menurut Kiai Hasyim, (masih) berjalan tidak jelas sehingga tidak ada keadilan untuk rakyat. Karena itu, menurutnya, pemimpin yang dibutuhukan juga harus seorang pejuang hukum.

“Dua karakter ini bisa dimiliki oleh satu orang tertentu. Tapi kalau tidak ada, maka penegakan kedaulatan ekonomi dan penegakkan hukum bisa dilakukan secara kolektif oleh kepemimpinan rezim mendatang,” ujar Kiai Hasyim.

Siapa figur yang berpredikat pejuang ekonomi dan hukum yang dimaksud tersebut? Kiai Hasyim sempat menyebut nama, yakni mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Namun, Kiai Hasyim mengaku belum mau mengulas lebih jauh mengenai keduanya karena belum resmi menjadi capres.

“Nama-nama yang beredar sekarang baru bakal calon, belum tentu nanti pada posisinya (capres). Jangan berandai-andai, tunggu pileg dulu saja,” tandas Hasyim seraya menambahkan, bahwa siapa pun presiden yang terpilih nanti harus mampu menyelamatkan Indonesia, harus mengerti masalah dan bukan malah menambah masalah.
-------------------
Sumber: KOMPASIANA