Jumat, 27 September 2013

Popularitas belum Seberapa, tapi Integritas Rizal Ramli Tertinggi

Kategori: Opini*
[RR1online]
ADA banyak sosok yang kini disebut-sebut layak dimajukan sebagai Capres pada Pilpres 2014. Dan memang, siapa saja berhak untuk bersuara dan mengajukan figur yang diyakini mampu dilahirkan sebagai pemimpin di negeri ini, khususnya sebagai presiden 2014 mendatang.

Sejumlah figur dan parpol pun kini nampak berlomba-lomba dan berusaha menarik simpatisan agar dapat meraih popularitas tertinggi, yakni kebanyakan melalui penyajian “iklan” di media cetak, media sosial (internet) hingga ke media eletronik (radio dan televisi).

Parahnya, tidak sedikit masyarakat langsung menelan mentah-mentah sajian “iklan” tersebut, tanpa menyadari bahwa semua itu sesungguhnya lebih banyak mengandung rekayasa. Saya sebut rekayasa, karena kemunculannya sudah pasti dilatarbelakangi oleh kondisi persaingan politik.

Masyarakat juga nampaknya banyak yang tidak menyadari, bahwa ada nilai yang jauh lebih tinggi dan paling utama, serta sangat penting dibanding nilai popularitas, yakni integritas.

Bagi saya, semua figur bakal capres saat ini masing-masing memang memiliki integritas. Sebab, mereka semuanya adalah figur terbaik yang dimiliki oleh negeri ini. Tetapi, harus dipahami, bahwa tidaklah semua figur memiliki bobot integritas yang sama.

Sebab, menurut saya, karakter integritas dapat terbentuk dalam diri seseorang itu karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni; intelektual,  moral dan etika, serta totalitas pengalaman dan kemandirian yang alami.

Ketiga faktor (integritas) ini, tidaklah dapat dimiliki secara instan oleh seseorang. Integritas hanya dapat dimiliki melalui proses yang sangat panjang dan secara berkelanjutan. Sehingga itu, integritas tak bisa direkayasa oleh siapa pun, termasuk media.

Dan menurut saya, jika integritas ini “berfungsi” dengan baik, maka akan memicu timbulnya dua “kekuatan”, yakni; keberanian (mettle) dan kemampuan memecahkan masalah (problem solving).

Olehnya itu, integritas inilah yang semestinya jadi perhatian utama dan penting buat masyarakat pemilih, yakni dalam menunjuk dan menentukan figur yang akan dipilihnya sebagai pemimpin, bukan popularitas.

Di sini, saya akan coba menyederhanakan pemahaman, bahwa terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara Popularitas dengan Integrtitas. Yakni, popularitas dapat dengan mudah dicapai apabila memanfaatkan dan memiliki 3M (MMM), yaitu Moment, Money and Means.

Sementara Integritas tak bisa dimiliki secara instan karena harus melalui proses 2R (RR), yakni Rove and Ripeness.

Rove (mengembara) maksudnya; seseorang telah “menjelajahi” banyak ilmu juga lingkungan, bertemu banyak kelompok masyarakat yang memiliki kultur dan tipe yang berbeda-beda. Sehingga, dari sini mampu memunculkan cara pandang luas yang sekaligus membentuk intelektualitas seseorang menjadi lebih tajam.

Proses “Rove” ini juga dapat ditunjuk sebagai totalitas pengalaman dan kemandirian yang alami, sehingga “rove” inilah yang tak bisa dilakukan secara instan apalagi jika ingin direkayasa.

Selanjutnya “Ripeness”, yakni dalam hal ini menggambarkan pola pikir yang mampu terbentuk secara matang karena telah didahului dengan proses “rove” tadi, yang kemudian secara bersamaan terbentuk  pula sebuah kedewasaan untuk senantiasa menempatkan moral dan etika sebagai “kacamata” dalam memunculkan sebuah kebenaran. Inilah yang kemudian saya sebut sebagai “jiwa” dari integritas.

Sedangkan yang menjadi wujud “kekuatan” dari integritas ini, adalah seperti yang telah saya sebutkan di atas, yakni keberanian dan kemampuan memecahkan masalah (mattle and problem solving).

Sehingga itu pun saya lalu bisa menyimpulkan, bahwa Integritas adalah merupakan konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan, dengan secara tegas membela kebenaran dan selalu berani melawan kesalahan.

Dari kesimpulan ini, maaf tanpa bermaksud menyepelekan sosok lainnya, maka saya kemudian berani menunjuk DR. Rizal Ramli sebagai sosok yang memang belum terlalu populer tetapi sesungguhnya memiliki Integritas yang sangat tinggi dibanding dengan sosok bakal capres lainnya.

“Kita sudah kenal siapa Rizal Ramli, pandangan-pandangannya dalam perekonomian, dan keberaniannya dalam mengambil sikap. Reputasinya di republik  ini sudah tidak diragukan lagi. Kepada para mahasiswa, simaklah dan perhatikan apa yang akan disampaikan oleh Bapak Rizal Ramli. Karena siapa tahu dari pandangan-pandangan beliau hari ini, nantinya akan mengantarkan beliau menjadi Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014,” ujar Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Prof. Laode M Kamaluddin, saat membuka Kuliah Umum,  menghadirkan ekonom senior Rizal Ramli, di Unissula, Semarang, Sabtu (21/9/2013), seperti dilansir rimanews.com.

Statement Prof. Laode M. Kamaluddin di atas, setidaknya adalah merupakan sebuah "pembenaran" sekaligus pengakuan, bahwa Rizal Ramli adalah memang sosok yang memiliki integritas amat tinggi.

Sebab, jika mau jujur, belum ada sosok bakal capres yang mempunyai keberanian dan totalitas pengalaman kemandirian alami seperti yang dimiliki Rizal Ramli.

Misalnya, bagaimana seorang anak yatim-piatu, yang sejak bocah sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya, bisa tertanam jiwa pengabdian dan semangat patriotik yang amat meluap, lalu harus ditumpahkan melalui aksi unjuk-rasa melawan keras rezim Orba, sehingga harus dipenjara. Itulah Rizal Ramli saat masih mahasiswa sebagai aktivis.

Kemudian, "penampakan" integritas dan idealisme Rizal Ramli juga sangat jelas terlihat ketika harus turun berdemo (tahun 2008) di depan istana mendesak SBY agar harga BBM tidak dinaikkan, sekaligus menuntut agar harga-harga kebutuhan pangan segera diturunkan karena hanya menyengsarakan rakyat kecil.

Padahal ketika itu (2008), Rizal Ramli menduduki jabatan selaku Komisaris Utama di PT. Semen Gresik. Yang karena dengan melakukan demo dan perlawanan terhadap rezim SBY, membuat Rizal Ramli pun harus menerima konsekuensinya, yakni dicopot dari jabatannya tersebut.


Terus terang, sampai detik ini saya belum pernah mendengar apalagi menemukan tokoh pergerakan nasional seperti Rizal Ramli yang memiliki idealisme dan integritas yang amat tinggi, rela mengorbankan kuliahnya dan berani mempertaruhkan jabatannya demi berjuang untuk kepentingan rakyat kecil.

Akhirnya, artikel ini saya tulis bukan untuk diseret ke “arena” politik yang hanya bisa memunculkan perdebatan yang pasti tidak akan tuntas, sebab semua pihak secara politik sudah pasti pula akan mempertahankan figurnya masing-masing.

Jadi sekali lagi, artikel ini bukan untuk diperdebatkan apalagi sampai harus saling hujat satu sama lain. Saya hanya memberi sedikit pemahaman untuk bisa dijadikan bahan renungan, bukan untuk diperdebatkan, bahwa negeri ini amat membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas yang tinggi, bukan pemimpin yang mempunyai popularitas yang melangit.

Salam Perubahan.
----------------
*Sumber: kompasiana

Selasa, 24 September 2013

Inilah Kejahatan Baru di Dunia Politik

Jakarta, [RR1online]:
SISTEM yang tertuang di seluruh undang-undang yang telah dilahirkan di republik ini, tak hanya belum bisa ditegakkan sepenuhnya, tetapi juga masih banyak hal yang belum diakomodinir guna memenuhi rasa keadilan dalam berbangsa dan bernegara.

Bahkan ada sejumlah undang-undang yang justru hanya menimbulkan dampak buruk, karena dinilai tidak memenuhi kehendak dan kepentingan orang banyak di alam demokrasi saat ini.

Parahnya, undang-undang bahkan tak jarang pula “sengaja” diformat lalu dimunculkan hanya sebagai alat untuk “memuluskan” kepentingan kelompok tertentu saja. Sebab, para pembuat undang-undang (legislator) nampaknya sudah menjadikan tugasnya itu sebagai salah satu “mata-pencaharian” empuk di luar gaji yang negara bayarkan kepadanya. Begitupun dengan undang-undang yang menjadi usulan dari pihak eksekutif.

Di sisi lain, di dunia politik, tidak sedikit pula undang-undang yang terkesan hanya dibuat “alakadarnya”. Mereka (para pembuat undang-undang) seakan memang sengaja enggan memunculkan sebuah aturan sempurna dan utuh, agar masih ada celah yang bisa ditempuh guna melakukan “kejahatan-kejahatan” politik yang dinilai tidak menabrak aturan dan perundang-undangan.

Setidaknya, hal tersebut amat dikeluhkan oleh Calon Gubernur Jawa Timur Herman Suryadi Sumawiredja. Ia mengungkapkan adanya bentuk pelanggaran (kejahatan) yang belakangan ini telah berkembang dalam proses politik di Indonesia, tetapi sangat disayangkan karena kejahatan tersebut “belum” diatur dalam aturan yang ada.

“Telah berkembang sebuah kejahatan politik baru yang belum dirumuskan dalam Undang-undang. Dan ini sangat perlu untuk dirumuskan segera,” ungkap Herman di Kawasan Tebet, Jakarta, Senin (23/9/2013).

Herman menuturkan, kejahatan politik baru tersebut adalah dengan melakukan penggelembungan dana APBD yang amat besar, yakni khususnya dana untuk belanja operasional menjelang tahun dilaksanakannya pilkada. Misalnya, berbentuk dana belanja hibah dan bantuan sosial, juga belanja bantuan pemerintah desa.

Herman pun menguraikan APBD Jawa Timur (Jatim), dana hibah dan bantuan sosial pada tahun 2007 mencapai Rp 800 Miliar; lalu tahun 2008 meningkat Rp.1,8 Triliun; namun 2009 mengalami penurunan yakni hanya Rp 650 Miliar; selanjutnya 2010 mencapai Rp 730 Miliar.

Kemudian tahun 2011, ungkap Herman, dana hibah dan bantuan sosial ini  menjadi Rp.1,2 Triliun, lalu ini kemudian meningkat lagi di tahun 2012 menjadi  Rp 4 Triliun lebih.

Peningkatan yang lebih gila lagi, kata Herman, dana hibah dan bantuan sosial ini terjadi pada tahun 2013 yang mencapai Rp 5 Triliun lebih, karena pada tahun  ini memang bertepatan dengan waktu pelaksanaan Pemilihan Gubernur  (Pilgub) Jatim, 29 Agustus 2013 yang lalu.

Herman pun menyayangkan, jika penggunaan uang APBD itu adalah untuk meraih dukungan rakyat dalam pemilukada, sebab kenaikan angka dana itu sangat jelas terlihat hanya menguntungkan kubu petahana. Sehingga sosok mantan Kapolda Jatim ini tentu saja merasa perlu untuk menuntut keadilan.

“Kejahatan politik baru ini tidak bisa diadukan ke Bawaslu, polisi, kejaksaan dan juga KPK. Hanya Bisa diajukan dan bisa diputus oleh MK,” lontar Herman pada jumpa pers di Rumah Makan Dapur Selera, Jakarta Selatan, Senin (23/9/2013).

Herman menambahkan, bahwa pihaknya merasa perlu mengajukan masalah ini ke MK bukan karena ngeyel, atau tidak legowo. “Tapi kami emban amanah 6,5 juta pemilih jatim yang sudah memberikan amanahnya ke kami. Mereka menunggu dan meminta kami berusaha maksimal,” kata Herman seraya berharap kepada para pendukungnya di Jatim, juga dengan simpatisan di seluruh tanah air untuk tetap tenang dan berdoa demi memunculkan sebuah perubahan di negeri ini, khususnya di Jawa Timur.

DR. Rizal Ramli yang dimintai tanggapannya mengenai hal ini mengaku sangat kecewa jika ada Pemimpin yang dilahirkan dengan cara-cara curang seperti yang diungkapkan oleh Herman. Sebab, katanya, sistim Pemilu yang tidak jujur dan korup hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak amanah dan pasti korup.

“Itu (menggunakan APBD menjelang Pilkada) adalah termasuk doping money-politics yang telah merusak sistem dan manfaat demokrasi di Indonesia,” ujar Rizal Ramli, Capres paling ideal 2014 versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI).>map/ams

Sabtu, 21 September 2013

Negara Sirkus: Partai Demokrat Mulai Berakrobat

Kategori: Opini*
[RR1online]:
MAAF..ini cuma bagian pandangan dan pengamatan saya selaku Ketua Forum Analisa Dinamisasi Politik (FANATIK), bahwa sejak SBY memimpin sebagai presiden, maka negara ini hanya lebih terkesan bagai arena SIRKUS. Ada pawang binatang (mungkin sapi), ada penyanyi seriosa menjerit-jerit, ada wanita berpakaian seksi, ada pesulap, dan ada juga badut-badut, serta lain sebagainya.

Mereka (para pemain sirkus) ini mampu dengan lihainya mempertontonkan banyak atraksi. Hingga para penonton pun dapat terpukau dan kagum dengan aksi akrobatik dari para pemain sirkus tersebut.

Yang amat menonjol dan nampak menarik dari pertunjukan itu adalah adanya atraksi dari para pesulap serta badut-badut “cerdik dan lucu-lucu”. Mereka dengan lincahnya mampu membolak-balikkan dan “mengalihkan” situasi dari tegang menjadi tenang, demikian pula sebaliknya.

Dan sungguh, semuanya mampu diperankan dan diatraksikan oleh para pemain sirkus itu demi mendapatkan keuntungan dan pengakuan sendiri, serta untuk meraih simpatik dan tepuk tangan dari para penonton.

Kalau pun ada pemain akrobatik yang sempat terjatuh dari atraksi ketinggian karena melakukan “kelalaian”, maka pertunjukan tidak harus terhenti, yakni dengan langsung “mengalihkan” perhatian ke pertunjukan lainnya yang lebih menghibur agar penonton tidak merasa kecewa, lalu segera MELUPAKAN kelalaian pemain yang terjatuh itu. Dan begitulah gambaran ataupun pengibaratan tentang negara kita saat ini.

Silakan saja ditengok beberapa “peristiwa dan masalah” yang telah terjadi di republik ini namun belum jua tuntas teratasi. Di antaranya persoalan teroris, narkoba, kemerosotan ekonomi (rupiah anjlok, harga pangan susah dan mahal), juga dengan masalah korupsi dan lain sebagainya, yang semuanya itu dengan mudahnya dapat “dialihkan” dari situasi satu ke situasi lainnya, misalnya cukup dengan main curhat-curhatan, buat album lagu, dan seterusnya.

Juga lihatlah! Di saat tugas-tugas dan masalah-masalah penting negara masih bertumpuk dan menuntut untuk segera diselesaikan (masalah stabilitas ekonomi dan keamanan yang saat ini mengalami “defisit”). Dan menurut saya, semua masalah negara saat ini bisa terjadi adalah terutama akibat kelalaian presiden. Tengok saja saat ini, presiden nampaknya lebih cenderung memilih mengurus partainya daripada bergegas FOKUS menuntaskan masalah-masalah ekonomi dan keamanan tersebut.

Saat ini, saya pun kemudian amat merasakan adanya manuver-manuver politik yang sedang dimainkan dan diatraksikan oleh SBY melalui Partai Demokrat (PD) sebagai partai yang sedang berkuasa saat ini. Tujuannya tentu saja untuk dapat kembali mendapat SIMPATIK dan juga agar bisa mempertahankan kekuasaannya pada Pemilu 2014 mendatang.

Ya, sesungguhnya kini PD sedang “memainkan” sebuah akrobat politik. Namun seluruh lawan politiknya nampaknya tidak begitu menyadari hal ini. Yakni, mereka dengan bangganya dan penuh pecaya diri langsung mendeklarasikan masing-masing figurnya sebagai calon presiden (Capres) tanpa mengukur kemampuan PD.

Pasalnya, mereka memastikan SBY tak mungkin maju lagi untuk ketiga kalinya sebagai Capres. Tetapi mereka nampaknya lupa, bahwa SBY memainkan atraksi saat ini bukanlah agar bisa maju sebagai capres lagi, melainkan adalah ingin melakukan hattrick agar bisa kembali BERKUASA untuk ketiga kalinya melalui partainya.

Jangan lupa, selain jago pencitraan, SBY juga adalah seorang militer yang sudah pasti ahli strategi memenangi peperangan. Dan di dunia politik, SBY malah sudah terbukti dua kali membawa partainya sebagai the ruling party. Ini berarti, SBY adalah juga ahli strategi politik yang amat mengerti dan faham membuat mapping politik yang sangat rapi dan pakem.

Mapping inilah yang sedang coba saya amati dan menganalisanya melalui langkah-langkah politik SBY yang akhir-akhir ini patut dicurigai. Analisa saya tertuju kepada fenomena politik yang tidak lazim, yakni SBY nampaknya justru sedang memanfaatkan sejumlah situasi kontroversi yang sedang terjadi saat ini.

Situasi kontroversi yang saya maksud itu adalah, Partai Demokrat saat ini berada pada situasi terpuruk karena dinilai sebagai sarang koruptor yang melibatkan sejumlah kadernya. SBY sendiri amat menyadari itu sebagai masalah krusial. Tetapi SBY secara politik memandang itu hanyalah sebuah “kelalaian” para kadernya.

Di sinilah kecerdikan SBY mengolah masalah “kelalaian” menjadi nantinya sebuah “kepiawaian”. Ia tahu situasi kontroversi itu sangat menyedot perhatian publik, dan situasi inilah yang sesungguhnya dimanfaatkan dan dimainkan SBY sebagai momen untuk berakrobat.

Akrobat pertama yang dilakukannya, adalah memberi keleluasaan sejumlah kadernya untuk melakukan atraksi “jungkir-balik” sebagai upaya pengalihan situasi ke arah lain. Dan sebagian elitnya tetap diposisikan sebagai pagar betis sekaligus selaku “pawang” untuk  “menjinakkan” situasi perdebatan yang bersifat menyerang.

Sementara di sisi lain, SBY juga membiarkan pihak-pihak lainnya untuk tetap melempar kekecewaan dan bahkan kebencian kepada dirinya terhadap situasi keterpurukan PD akibat kasus korupsi tersebut. Dan SBY merasa yakin dapat dengan mudah menangkis situasi yang diperdebatkan itu cukup dengan melalui sebuah CURHAT.

Memunculkan kesan timbulnya faksi di tubuh PD adalah salah satu akrobat yang saya sebut sebagai sebuah atraksi “jungkir balik”. Bahkan SBY pun sangat mahir melakukan atraksi “jungkir-balik” ini. Misalnya, pada suatu hari SBY berkali-kali mengatakan dan menekankan kepada para menterinya agar sebaiknya mengundurkan diri saja jika hanya lebih cenderung mengurus partai politik. Atau dengan jargon Partai Demokrat ”Katakan Tidak pada Korupsi” yang diatraksikan dalam bentuk iklan di layar televisi. Jungkir-balik yang sangat memukau, bukan..???

Bahkan, menurut dugaan dan pengamatan saya, ada “jungkir-balik” yang sangat aneh, yang juga menunjukkan bahwa seakan-akan memang terjadi faksi yang mendorong perpecahan di tubuh PD, namun boleh jadi sesungguh itu hanyalah taktik “pembiaran” SBY agar lawan-lawan politik ikutan fokus menyerang “kelemahan” yang “terlanjur” menjadi keterpurukan PD terhadap kasus korupsi tersebut.

Sungguh amat mengagumkan, kasus korupsi Nazaruddin “diolah” bersama sebagai objek dominan antara PD dan lawan-lawan politiknya. Bedanya, parpol dan pihak-pihak lain mengolah kasus ini dengan menyerang dan mendesak secara intens agar SBY segera menuntaskan masalah Nazaruddin (juga kasus Century dan lain sebagainya) yang diduga melibatkan elit-elit PD itu.

Padahal, tanpa disadari oleh pihak lawan, SBY sesungguhnya “senang” diserang dan didesak seperti itu. Sebab, menurut dugaan saya, SBY juga justru memanfaatkan kasus korupsi Nazaruddin ini secara sistematis dan sistemik yang boleh jadi didahului dengan bargain-politik dengan pihak-pihak tertentu. Sebut saja misalnya, Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, bahkan dengan Anas Urbaningrum yang terlanjur gesit disebut-sebut ikut terlibat dalam kasus korupsi oleh Nazaruddin, itu adalah “BAGIAN KESEMPURNAAN” dari strategi akrobat yang dimainkan PD saat ini.

Indikasinya, meski belum cukup meyakinkan akan keterlibatannya, tetapi Andi Mallarangeng dengan mudahnya sudah mengambil sikap mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara Angelina Sondakh, yang meski dalam setiap persidangan banyak memberikan keterangan dan jawaban berbelat-belit, toh.. hakim hanya menjatuhkan sanksi di bawah 5 tahun (itu pun sudah termasuk potongan masa tahanan).

Berikutnya, Anas Urbaningrum yang meski pada akhirnya harus dicopot dari posisinya selaku Ketum PD menyusul ikut dijadikannya sebagai tersangka kasus korupsi tersebut, tetapi toh juga Anas masih terlihat adem-adem saja, layaknya orang yang telah terbiasa dan seakan sebelumnya sudah pernah menjalani proses hukum kasus korupsi. Artinya, Anas tidak seperti kebanyakan orang, yang secara psikologis, bila baru berhadapan dengan kasus hukum, maka bisa diyakini akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatannya. Minimal mungkin berat badannya bisa merosot.

Harusnya, begitu ditetapkan sebagai tersangka dan dipecat dari posisi ketum, Anas mestinya bergegas melakukan perlawanan hukum, yakni dengan segera membuktikan ucapannya untuk “membuka lembar halaman demi halaman” itu. Tetapi itu belum dilakukannya. Anas malah membentuk ormas, yang menurut saya, ini ada unsur “kesengajaan” yang saya sebut mungkin inilah sebagai hasil bargain tadi agar PD terlihat makin bisa dibuat heboh, karena telah mendapat “penantang” yang hebat, yakni PPI. Tetapi sesungguh, sekali lagi itu patut diduga hanya bagian dari akrobat PD belaka.

Dugaan ini makin kuat, yakni ketika acara launching peserta konvensi PD (Minggu, 15 September 2013) lalu seakan telah di-setting harus bertepatan dengan acara peresmian Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), ormas milik Anas itu. Dan kehadiran sejumlah kader PD di hari peresmian PPI itulah yang membuat saya kembali jadi bingung. Karena logikanya, sejumlah kader PD tersebut harusnya 99% tidak perlu menghadiri peresmian PPI tersebut. Apakah sejumlah kader yang hadir di PPI itu tidak memikirkan sebelumnya kemungkinan-kemungkinan resiko terburuk yang akan diterimanya? Hmmm…aneh..???

Sehingganya, popularitas PD di hari launching konvensi capres dan peresmian PPI itu kembali mendaki, ditambah pula dengan “keterlibatan” TVRI yang mendapat sorotan tajam karena dianggap memberi perlakuan istimewa acara konvensi capres PD tersebut.

Tak cukup sampai di situ, dan ternyata betul, PD kembali beratraksi “jungkir-balik” dengan mencopot dua kader terbaiknya karena telah “berani” menghadiri peresmian PPI yang dinilai sebagai upaya membelot dalam mendukung mantan Ketua Umum PD melalui ormas tersebut.

Secara logika, “Jungkir-balik” yang satu ini tidak lazim dan terasa aneh bagi saya, sebab pencopotan keduanya tidak dahului dengan peringatan tertulis atau mungkin dengan pemanggilan langsung untuk diberi pilihan kepada kedua bersangkutan: mau ke PPI atau tetap di PD? Harusnya ini yang mesti ditempuh sebelum pencopotan.

Tetapi kemudian secara politik, pencopotan itu pun tidak menjadi aneh lagi, terlebih ketika saya sadar bahwa boleh jadi semua itu sudah di-setting oleh SBY untuk kepentingan pencitraan dan popularitas PD. Sehingga, kader yang dicopot pun (boleh jadi termasuk Anas dan lainnya) bukanlah sebagai korban “sebenarnya”.

Justru menurut saya, yang menjadi korban itu sebenarnya adalah para parpol lain, juga termasuk masyarakat, yakni “korban”  kecerdikan strategi dari “guru besar” SBY, yang boleh jadi KPK “ikut andil” di dalamnya. Perhatikan..! Andi Mallarangeng mengundurkan diri karena dijadikan tersangka, penonton (parpol lain dan lawan-lawan politik PD) pun tepuk tangan. Angelina Sondakh sudah dijatuhi vonis kasus korupsi, penonton kembali tertawa dan bertepuk tangan. Begitu pun saat Anas Urbaningrum dipecat karena dijadikan tersangka, lagi-lagi penonton pun terbahak-bahak dan bertepuk tangan riuh. Penonton tanpa sadar, bahwa sesungguhnya, boleh jadi itulah akrobat yang sedang diatraksikan oleh PD saat ini.

Ya…layaknya permainan sirkus, ada akrobat jungkir-balik, ada pesulap yang pandai memainkan kartu remi dengan amat memukau menarik simpatik, hingga  para “penonton” pun senang lalu bertepuk tangan. Dan itulah kiranya yang diharapkan oleh PD dalam mengembalikan citra dan popularitasnya. Sementara yang dipecat tak harus merasa kuatir dan risau, karena ini adalah hanya bagian dari sebuah akrobat yang butuh “pengakuan”, tepuk tangan dan decak kagum dari penonton.

Lalu akrobat seperti  apalagi yang akan dipertontonkan oleh SBY dan partainya itu agar bisa melakukan hattrick pada Pemilu 2014 mendatang..?!?
Salam Perubahan…!!!
----------------
*Sumber: Kompasiana

Rabu, 18 September 2013

Rizal Ramli: Fadel Muhammad, Apa Kabar..?


 Kategori: Opini*
[RR1online]:
TAK usahlah dulu membandingkannya dengan Rizal Ramli atau dengan Jokowi! Cukup dengan Fadel Muhammad saja, maka karakter dan kualitas kepemimpinan Fadel Muhammad jauh lebih baik jika ingin dibandingkan dengan para peserta Konvensi Partai Demokrat (PD) saat ini.

Sehingga itu, anggap saja kali ini saya sependapat dengan “mungkin” pemikiran Presiden SBY yang enggan menghadiri launching peserta konvensi PD. Yakni karena boleh jadi juga SBY “merasa”, bahwa para peserta konvensi itu belum ada satu pun yang dinilai meyakinkan untuk mampu menaklukkan figur lain yang akan menjadi lawannya di Pilpres mendatang, seperti Jokowi, Rizal Ramli, Prabowo, Jusuf Kalla, dan Mahfud MD.

Olehnya itu, membandingkan dengan Fadel Muhammad saja dengan peserta konvensi PD saat ini, maka Fadel masih jauh lebih unggul. Apalagi jika mau dibandingkan dengan Rizal Ramli atau Jokowi yang saat ini sedang kuat mencuat sebagai sosok yang paling diminati masyarakat untuk jadi pasangan presiden 2014.

Saya berani menunjuk Fadel Muhammad sebagai figur yang lebih berkualitas jika dibanding dengan para peserta konvensi PD tersebut, karena sosok Fadel Muhammad sedikit mirip dengan Rizal Ramli, yang berhasil muncul sebagai tokoh nasional bukan dengan cara-cara instan, melainkan dilalui dengan penuh perjuangan.

Dan keduanya pun sama-sama berasal dari keluarga yang “amat-amat” sederhana. Bahkan, Fadel Muhammad pernah berjualan roti dan barang kelontongan, layaknya PKL di pasar-pasar. Roti dibuat oleh ibunya sendiri, dan barang kelontong diambil dari toko-toko untuk dijual lalu hasilnya disetor ke pemilik toko, dan keuntungan lainnya ia tabung untuk kebutuhan sekolah.

Hanya saja secara psikologis, Rizal Ramli memang masih lebih berat perjuangannya, karena saat usia 6 tahun ia sudah harus berstatus yatim-piatu (tanpa kedua orangtua lagi). Sehingga kondisi ini yang menggiringnya menjadi orang “Jawa”, karena sejak SD hingga SMA dilalui di Bogor dalam asuhan neneknya.

Rizal Ramli dan Fadel Muhammad juga sama-sama mahasiswa “Fisika” dan sama-sama jago berbahasa Inggris di ITB Bandung. Dan di sinilah “roh” kepemimpinan keduanya terbentuk, yakni dengan aktif menempatkan diri sebagai mahasiswa dan amat pandai melihat peluang-peluang untuk melakukan gerakan-gerakan yang berpihak kepada kepentingan banyak orang.

Namun ketika itu, Fadel Muhammad lebih senang berkreasi di dalam kampus, sementara Rizal Ramli lebih memilih menjadi aktivis yang harus meraung-raung bagai singa kampus turun ke jalan demi memperjuangkan kepentingan orang banyak. Bahkan tak tanggung-tanggung mendesak Soeharto agar turun dari jabatannya, baik melalui aksi demo maupun dengan menulis sebuah buku berjudul “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB”, yang membuat Soeharto pun jadi sangat murka. Sehingga saat itu Rizal Ramli pun dipenjara di Sukamiskin, Bandung.

Kedua mahasiswa “miskin” namun “kaya” perjuangan dan pengabdian ini pun akhirnya benar-benar mampu tampil sebagai tokoh nasional. Fadel Muhammad berhasil sebagai pengusaha dan sukses muncul sebagai sosok politisi. Sementara Rizal Ramli mampu tampil sebagai pendobrak dari non-parpol, dan sukses menanjak sebagai sosok ekonom handal, baik secara nasional maupun internasional.

Keduanya pun berhasil menjadi menteri di era yang berbeda. Rizal Ramli masuk di pemerintahan dimulai menjabat Kabulog, lalu menjadi Menko Perekonomian, juga sempat menjabat Menteri Keuangan di era Presiden Gus Dur. Sementara Fadel Muhammad berhasil menjadi Menteri Kelautan-Perikanan di era kedua SBY, yang sebelumnya memang sukses dua periode sebagai Gubernur Gorontalo.

Bahkan Fadel Muhammad berhasil mencatat rekor sepanjang sejarah Pilkada sebagai calon gubernur yang memperoleh 81 persen suara. Dan sampai detik ini belum ada satu sosok pun yang mampu menyaingi rekor pilkada tersebut.

Sungguh, kekuatan karakter dan jiwa kepemimpin kedua figur ini sangat tinggi. Sayangnya, Fadel Muhammad nampaknya “tak bisa berkutik” untuk bisa tampil menjadi seorang yang juga sebetulnya sangat layak diperhitungkan sebagai Capres, tentunya karena “terhambat” dengan “situasi” di tubuh parpol yang menaunginya selama ini.

Fadel Muhammad bahkan sepertinya hanya “oke-oke” saja dimajukan ke posisi yang sebetulnya bukan lagi “kelasnya” untuk bertarung dalam Pemilu 2014, yakni sebagai Caleg DPR-RI dapil Gorontalo. Kalau dari anggota DPR menjadi menteri itu baru “naik kelas”. Tetapi kalau dari menteri lalu menjadi anggota DPR ini yang perlu dipertanyakan…???

Lihatlah, ada dua menteri yang “di-nongol-kan” di Konvensi PD. Padahal kualitasnya (kedua menteri itu) belum tentu bisa menandingi “mutu” kepemimpinan yang dimiliki Fadel Muhammad, dan untuk hal ini saya sangat yakin karena jauh sebelum munculnya Jokowi (apalagi dengan kedua menteri itu), Fadel Muhammad sudah lebih dulu senang bersentuhan dengan rakyatnya melalui blusukan saat masih aktif sebagai Gubernur Gorontalo. Sebab sayalah salah satu “orang” yang (pernah) selalu mendampingi Fadel Muhammad ketika itu.

Sayangnya, Fadel Muhammad tidak mempunyai “nyali” seperti yang dimiliki Rizal Ramli sejak dulu, yang tak gentar sedikit pun tetap maju mendobrak sebagai tokoh perubahan. Bahkan Rizal Ramli mau mengorbankan jabatannya (dipecat) sebagai Komisaris Utama di PT. Semen Gresik karena berani turun ke jalan mendesak pemerintah (Presiden SBY) agar tidak menaikkan harga BBM, tahun 2008. Aneh jika kemudian ada yang mengatakan kalau Rizal Ramli saat ini getol mengritik pemerintah karena ingin mendapatkan jabatan.

Jika keberanian seperti ini yang mampu ditampilkan Fadel Muhammad, berani “memberontak” ketika diberhentikan di tengah jalan sebagai menteri tanpa sebab-akibat yang jelas, maka dipastikan peluang Indonesia untuk BERUBAH menjadi negara kuat akan semakin besar. Sebab sekali lagi, kualitas kepemimpin Fadel Muhammad sebetulnya juga sangat dibutuhkan di negeri ini yang kini memang sedang mengalami krisis kepemimpinan.

Sehingga, sesungguhnya rakyat pun saat ini sangat menantikan “lahirnya” pemimpin (Presiden dan Wakil Presiden 2014) dari “perut bumi” IBU PERTIWI, bukan dari hasil “PERSELINGKUHAN” para Parpol, misalnya dari konvensi dan semacamnya.
Merdeka…dan Salam Perubahan..!!!
----------
*Sumber: Kompasiana

Senin, 16 September 2013

Bagus Mana, Konvensi Parpol atau Konvensi Rakyat?


Jakarta, [RR1online]:
MENGHADAPI ajang pertarungan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada Pemilu 2014 mendatang, sejumlah figur pun telah bermunculan dan memunculkan diri untuk maju dan dimajukan sebagai Calon Presiden (Capres).

Misalnya sejauh ini, Ketua Umum Partai Golkar (PG) dan Partai Gerindra telah “memajukan” dirinya sebagai capres tunggal. Begitu pun dengan Ketua Umum Hanura yang telah mengukuhkan diri bersama dengan seorang pengusaha stasiun televisi swasta sebagai pasangan capres. Dan saat ini Partai Demokrat (PD) sedang meriuhkan penjaringan capres melalui sebuah konvensi. Sementara Partai Politik (Parpol) lainnya hingga saat ini masih sedang menggodok figur yang dinilai layak untuk diusung.

Tetapi, sesungguhnya semua parpol dalam menentukan pasangan capresnya tentulah tak terlepas dari sebuah proses konvensi (permufakatan atau kesepakatan). Hanya saja ada parpol yang melakukannya secara tertutup dan ada pula secara terbuka namun terbatas.

Dan jika dicermati, sejauh ini “konvensi” yang telah terjadi  baik yang tertutup maupun secara terbuka itu sebenarnya hanyalah sebuah formalitas. Sebab, kecenderungannya final nantinya hanya akan memutuskan dan menetapkan figur yang berasal dari kalangan keluarga, “sang pemilik” Parpol.
Bahkan konon, siapa yang lebih “berkantong tebal” maka itulah yang jadi pemenang konvensi karena dinilai itu sebagai sebuah konsekuensi logis untuk cost-politik. Dan, boleh jadi itu terjadi pada Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan menyusul Partai Demokrat.

Konvensi yang digelar oleh Partai Demokrat saat ini pun boleh jadi juga hanyalah sebuah strategi untuk mendongkrak popularitas Partai Demokrat. Sebab, sejauh ini partai penguasa itu dinilai telah jatuh akibat sebagian besar elit dan kadernya terlibat dalam kasus dugaan korupsi, baik yang ada di pusat mau pun yang ada di daerah-daerah. Bahkan di antaranya telah ada yang telah ditetapkan sebagai tersangka, juga terdakwa dalam kasus korupsi. Ini yang pertama sebagai sorotan terhadap konvensi parpol, terutama konvensi yang dilakukan oleh PD.

Yang kedua, konvensi PD saat ini patut diduga adalah juga sekaligus sebagai ajang mematok suara yang “donaturnya” tidak lain berasal dari 11 peserta konvensi tersebut. Dan selain sebagai donatur suara, juga kemungkinan besar 11 peserta tersebut akan bertindak sebagai donatur duit dalam mengongkosi biaya-biaya politik ke depan.

Sehingga jika dugaan ini benar, maka  nampaknya konvensi ini sudah sekaligus juga merupakan kesepakatan BAGI-BAGI JABATAN (apabila sukses memenangi Pilpres) buat peserta lainnya meski dinyatakan nantinya tidak lolos seleksi sebagai pasangan capres dari PD. Ini yang ketiga.

Yang keempat, bahwa mungkin tak tak ada salahnya jika semua pihak (terutama KPK dan para LSM) mulai hari ini perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap 11 peserta konvensi tersebut. Karena boleh saja mereka akan menyalahgunakan jabatan yang diembannya saat ini demi mempertahankan partainya sebagai partai penguasa pada Pemilu 2014 nanti.

Kemudian jika direnungi secara mendalam, konvensi capres yang dilaksanakan oleh parpol saat ini sebetulnya belum memperlihatkan sebuah niat baik untuk memperbaiki negeri ini selain untuk mempertahankan “dinasti” kekuasaan saja. Hal ini dapat dilihat dari ketergesa-gesaan partai penguasa ini menggelar konvensi ketimbang harus melakukan konsentrasi terhadap permasalahan negara dan bangsa yang justru makin mendesak untuk segera diselesaikan. Ini yang kelima.

Selanjutnya yang keenam, konvensi capres yang sudah maupun yang sedang dilakukan oleh semua parpol saat ini belumlah mencermin seperempat dari aspirasi murni rakyat. Silakan ditengok sendiri bagaimana “dangkalnya” menggali dan mencari capres yang benar-benar sesuai dengan harapan dari separuh (saja) rakyat kita. Misalnya di Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Hanura, yang saat ini terkesan “seenaknya” menetapkan diri sendiri sebagai capres karena merasa “lebih punya hak sebagai pemilik partai” untuk maju menjadi pemimpin. Ini tentu saja tidak fair!

Namun dibanding dengan Partai Demokrat dan Partai Hanura, maka Partai Golkar, Partai Gerindra, PDIP, Partai Nasdem dan partai-partai politik lainnya saat ini masih punya kesempatan untuk memperlihatkan keberpihakannya kepada rakyat, yakni dengan berusaha mencari format yang benar-benar lebih meyakinkan dalam mencari dan menentukan pasangan capres. Misalnya dengan tidak mengabaikan figur-figur yang akan dihasilkan dalam Konvensi Capres Rakyat yang akan digelar oleh Forum Rektor Indonesia (FRI) pada Desember 2013 mendatang.

Ada 2 figur yang akan memastikan diri ikut dalam Konvensi Rakyat tersebut, yakni Rizal Ramli dan Mahfud MD. Keduanya adalah memang sosok yang tidak dinaungi oleh parpol mana pun. Sehingga tidak sedikit masyarakat mengaku simpatik dan siap mendukung dua sosok yang memiliki intelektualitas, kredibilitas dan integritas yang tinggi tersebut.

Terutama Rizal Ramli sebagai sosok ekonom senior itu yang memang sangat setia dan konsisten melakukan gerakan-gerakan perjuangan yang berpihak kepada  kepentingan rakyat sejak dulu dan hingga kini tak berubah.
Memang sejauh ini undang-undang tidak mensyaratkan seseorang yang ingin maju sebagai capres tanpa diusung atau didukung dari parpol. Tetapi apa yang dihasilkan nantinya oleh Konvensi Rakyat, tentulah setidaknya diharapkan bisa menjadi “batu loncatan” bagi figur yang bersangkutan untuk dapat terterima di sejumlah parpol.

Dan jika para parpol (di luar Partai Demokrat dan Hanura) bisa “menyedot” hasil dari Konvensi Rakyat itu, maka rakyat sebagai pemegang kedaulatan tentu merasa lebih dihargai karena sejumlah parpol mampu memunculkan capres dari hasil proses Konvensi Rakyat tersebut. Sebab, tentu saja Konvensi Rakyat ini jauh dari intervensi dan “rekayasa” dari para elit parpol yang memiliki kepentingan tertentu. Sehingga Konvensi Rakyat ini sesungguhnya lebih terjamin kualitasnya dibanding dengan konvensi yang dilakukan oleh parpol.

“Kami sedang siapkan mekanisme penjaringan calon. Diusahakan Desember 2013 bisa dimulai dan diharapkan calon terbaik sudah bisa diperoleh sebelum pemilihan legislatif bulan April 2014,” kata Ketua FRI, Prof Dr Laode Kamaluddin kepada pers di Bandung, Jumat (13/9/2013), seperti dilansir merdeka.com.

Dan Ini alasan dari Forum Rektor Indonesia yang beranggotakan 3.200 tokoh intelektual se-Indonesia itu hingga bertekad ingin menggelar Konvensi Rakyat. Yakni, selain untuk memberi rakyat pilihan capres terbaik dalam pemilihan presiden 2014. Juga menurut Rektor Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang itu, karena perkembangan demokrasi di Indonesia sedang mengalami stagnasi berakibat pada kecenderungan rakyat semakin tak peduli pada proses politik. “Sebagai instrumen demokrasi, aktor politik harus bertanggung jawab mewujudkan demokrasi yang sehat dan pembelajaran politik yang baik kepada masyarakat. Tapi kenyataannya tak seperti itu,” kata Laode.

Laode lalu mengungkapkan hasil riset FRI, bahwa ada sejumlah faktor yang memperbesar kekecewaan rakyat pada politik. Faktor-faktor tersebut antara lain hilangnya moralitas dan keteladanan pemimpin, korupsi semakin mewabah, pemilu/pilkada sudah tidak sehat, hasilnya malah menciptakan kerusuhan.

Selain itu, faktor-faktor pendidikan politik melalui survei-survei malah membodohi dan membuat rakyat bingung dan penegakan hukum jauh dari rasa keadilan, selain juga tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat miskin.

“Sebagai forum tertinggi tempat berkumpulnya pimpinan kaum intelektual di negeri ini, FRI tak boleh diam. Masyarakat butuh pegangan, keteladanan dan harapan. Makanya kami ambil inisiatif melaksanakan sendiri konvensi Capres pilihan rakyat,” tutur Laode.

Yang menarik dari Konvensi Rakyat ini adalah mekanismenya akan menampilkan program kerjasama antara FRI dengan KPU. KPU dalam hal ini adalah sebagai penyelenggara dan FRI sebagai pengawas yang akan memasok nama-nama capres yang sudah mendaftar atau mereka yang punya potensi mencalonkan diri.

Kemudian, para calon (peserta konvensi) diberi kesempatan menyampaikan visi-misi serta landasan perjuangan yang akan digerakkan dalam memajukan Indonesia. Mereka lalu akan didorong untuk tampil di kampus-kampus di seluruh Indonesia dalam pertemuan regional FRI. Visi dan misi mereka selanjutnya diuji dan didiskusikan.

“Siapapun nanti yang akan terpilih menjadi Presiden RI 2014-2019, FRI berharap pemilu mendatang semakin berkualitas dan yang jadi itu punya konsep jelas untuk memajukan Indonesia, bukan mereka yang populer karena terdongkrak media saja,” tegas Laode Kamaluddin seperti dikutip oleh merdeka.com.(map/ams)

Sabtu, 14 September 2013

Cuma Capres ini yang Tegas Melawan Korupsi


Jakarta, [RR1online]:
SEJAUH
mata memandang, sedalam hati menggali, dan setinggi pikiran menilai, -jujur-, sampai saat ini belum ada sosok capres ideal yang berani memperlihatkan keseriusan melawan korupsi selain DR. Rizal Ramli.

Karena sebagai seorang ekonom senior, Rizal Ramli menyadari betul dampak buruk akibat ulah koruptor yang jelas-jelas dapat menghancurkan ekonomi bangsa di negeri ini. Dan mengingat karena korupsi sudah nampak sekali amat “leluasa digiatkan” oleh para pejabat dan elit di negara ini, maka Rizal Ramli pun dengan tegas menyodorkan 8 (tuntutan) solusi buat KPK untuk segera sama-sama membersihkan Indonesia dari kotoran korupsi yang masif dan sistematis, seperti yang terjadi saat ini.

Solusi itu di antaranya adalah segera melakukan kontrol yang ketat terhadap anggaran. Dan KPK hendaknya lebih berkonsentrasi untuk menuntaskan kasus korupsi besar dan meningkatkan standar etika bagi para pejabat publik.

Menurut Mantan Menko Perekonomian itu, korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merupakan kejahatan luar biasa. Jadi, penanganannya pun harus dengan cara-cara luar biasa pula. “Untuk itu, saya minta Pak Busyro dan teman-teman lain di KPK lebih berkosentrasi menuntaskan kasus-kasus besar saja. Jangan terlalu sibuk dengan kasus-kasus ‘recehan’ yang hanya melibatkan para bupati atau walikota,” lontar Rizal Ramli, dalam Focus Group Discussion (FGD), di Gedung KPK, Kamis (12/9/2013).

Kehadiran Rizal Ramli dalam FGD tersebut memang sengaja diundang oleh KPK untuk duduk bersama membahas dan merumuskan solusi dalam memberantas korupsi politik yang melanda negeri ini.

Dijelaskannya, korupsi yang melibatkan para walikota dan bupati memang juga suatu kejahatan yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat di daerah.  Tetapi, menurut aktivis mahasiswa 77-78 itu, dibandingkan korupsi yang dilakukan para pejabat publik di level pusat yang jumlah kerugian negaranya jauh lebih besar, membuat korupsi para pejabat di daerah tersebut menjadi kurang relevan ditangani KPK.

Apalagi, katanya, sebagai lembaga superbody, KPK memiliki banyak keterbatasan, terutama jumlah penyidiknya sedikit. “Sehingga sebaiknya KPK lebih berkonsentrasi menuntaskan kasus-kasus yang melibatkan ‘big fish’. Penyimpangan obligasi rekapitalisasi perbankan, skandal Bank Century, kasus Hambalang, dan skandal IT pada Pemilu 2009 adalah beberapa kasus besar yang sangat menciderai keadilan publik. Sampai kini kasus-kasus itu sepertinya jalan di tempat tanpa diketahui bagaimana penuntasannya,” ungkit Rizal Ramli.

Mengenai kontrol yang ketat terhadap anggaran, Rizal mengungkapkan, korupsi di era SBY ini jauh lebih vulgar dibandingkan di zaman Pak Harto. Pada masa Soeharto berkuasa, katanya, korupsi terjadi sekitar 30 persen dari anggaran pembangunan di APBN dan terjadi saat eksekusi di lapangan. “Tetapi di era SBY, korupsi sudah terjadi sejak pembahasan APBN di Badan Anggaran DPR. Ditambah korupsi di lapangan, diperkirakan besarnya mencapai 45 persen dari total anggaran,” ujar Rizal Ramli, satu-satunya tokoh nasional yang sangat getol sejak dulu mengkritik penguasa yang dinilainya dzolim dan merugikan rakyat kecil.

Solusi lain yang dilontarkan Capres paling ideal versi LPI ini adalah peningkatan standar etika para pejabat publik. Menurutnya, di negara-negara maju yang standar etikanya sudah tinggi, seorang pejabat yang baru terindikasi melakukan korupsi langsung dihadapkan pada dua pilihan, yakni: mengundurkan diri atau dipecat.

Mantan Menteri Keuangan ini juga mengaku amat prihatin kepada Presiden SBY yang menyatakan baru akan menjatuhkan sanksi kepada menterinya jika sudah berstatus tersangka. “Ini menunjukkan standar etika para pejabat publik kita sangat rendah. Harusnya begitu terindikasi korupsi, Presiden bisa memecat atau meminta menterinya mengundurkan diri. Selain untuk memperlancar proses hukum, pemecatan menteri yang terindikasi korupsi juga sekaligus agar tidak menjadi beban bagi kinerja kabinet secara keseluruhan,” imbuhnya.

Hal menarik yang ikut disarankan sebagai solusi oleh sosok yang juga pernah mengenyam dunia jurnalistik sebagai seorang redaktur di salah satu majalah akademik ini adalah,  bahwa jika Indonesia mau keluar dari keterpurukan akibat korupsi yang masif dan sistematis, maka hendaknya tingkatkan standar etika Pers. Misalnya, apabila ada pejabat yang sudah terindikasi atau bahkan tersangka korupsi, maka jangan lagi diberitakan kecuali jika itu mengenai dugaan kasus (korupsi) yang tengah dialaminya.

Sedangkan empat solusi lainnya yang disodorkan oleh Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP) ini, yaitu: Stop Politik Uang, Ganti Sistem Pemilu yang Korup, Reformasi Pembiayaan Parpol oleh Negara, dan Perberat Hukuman Terhadap Koruptor.

Jika didalami, katanya, embrio koruptor itu diawali dari praktek politik uang yang dapat secara leluasa dilakukan oleh para elit parpol ketika mengikuti Pemilu maupun Pemilukada. Dan dari sinilah pintu masuk pertama para koruptor untuk selanjutnya dapat dengan leluasa pula melahap uang negara secara berjamaah. Sehingga itu ada baiknya jika saat ini segera mengganti sistem Pemilu yang  diikuti dengan Reformasi Pembiayaan Parpol oleh negara.

Mengenai pembiayaan Parpol oleh negara, Rizal Ramli mengaku sudah menghitung anggarannya hanya sekitar Rp5 Triliun per tahun. Ini jauh lebih rendah dibandingkan korupsi berjamaah yang dilakukan Parpol dan para politisinya yang saat ini sekitar Rp60 Triliun pertahun.
“Dengan dibiayai oleh negara, Parpol tidak lagi sibuk mencari dana secara tidak sah dan melanggar hukum. Selanjutnya Parpol bisa berkonsetrasi untuk mencari kader-kader yang berkualitas dan berintegritas,” tutup Rizal Ramli, sosok intelektual yang kini masih “tersembunyi” sebagai capres tetapi namanya mulai berada di hati dan pikiran masyarakat karena keberanian dan kualitasnya dalam memperjuangkan kepentingan orang banyak.(map/ams)

Jumat, 13 September 2013

Rizal Ramli Vs SBY


Kategori: Opini*
[RR1online]:
SETIAP
kali mengikuti perbincangan atau dialog di sejumlah televisi yang dimenghadirkan Ekonom Senior Rizal Ramli sebagai narasumber, saya selalu bertanya-tanya: apakah pemerintah atau Presiden dan para menteri ikut menyimak hal-hal yang dilontarkan (kritik dan saran) dari Rizal Ramli? Jangan-jangan hanya asyik mengikuti tayangan serial sinetron, ya??

Maaf, di benak saya muncul pertanyaan seperti itu tak lebih hanya sebagai rakyat biasa sekaligus selaku anak bangsa yang setiap hari ada waktu untuk bersentuhan langsung dengan rakyat kecil, sehingga saya juga tahu persis apa yang menjadi keluhan dan harapan mereka selama ini.

Begitu pun dengan Rizal Ramli yang kini lebih banyak berada di tengah-tengah masyarakat sebagai Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP), yang setiap saat juga tetap eksis menunjukkan jatidirinya sebagai anak bangsa yang kritis namun tetap memberi saran maupun solusi atas masalah-masalah yang tengah dihadapi oleh negeri ini.

Sayangnya, setiap kritik dan saran maupun tawaran solusi yang disodorkan Rizal Ramli selalu saja diabaikan oleh pemerintah. Nah, inilah yang membuat saya jadi geleng-geleng kepala dan memunculkan sejumlah pertanyaan seperti tersebut di atas. Dan nampaknya, apa yang diuraikan secara jelas dan riil (tak mengada-ngada) dari Rizal Ramli itu pun seakan disikapi bagai angin lalu oleh pemerintah (presiden).

Sikap pemerintah seperti ini memang tak perlu diherankan, karena kebenaran apapun yang dimunculkan dan dijelaskan oleh Rizal Ramli, di mata pemerintah itu selalu bermakna politik. Jadi artinya, pemerintah boleh jadi hanya menggunakan kacamata politik setiap kali memandang kritik dan masukan maupun tawaran solusi dari Rizal Ramli.

Padahal, selama ini Rizal Ramli menyuarakan kritik terhadap pemerintah itu tak pernah melalui corong politik. Artinya, apa yang dikritisi oleh Rizal Ramli tidaklah mengandung unsur politik. Sebab, sejauh ini Rizal Ramli tidaklah berasal dari organ politik (bukan ketua umum, sekjen, atau pengurus DPP Parpol tertentu). Lalu mengapa Presiden SBY seakan-akan memandang sosok (mantan sahabatnya) itu sebagai musuh bebuyutan..?

Saya memunculkan pertanyaan seperti ini, karena hanya ide dan nasehat dari musuhlah yang tak bisa diterima. Padahal kedua tokoh ini memang pernah bersahabat di bangku kabinet era Presiden Gus Dur. Namun kini keduanya bagai tikus dan kucing. Silakan pembaca persepsikan sendiri, mana tikus dan mana yang kucing..??!

Diposisikan sebagai musuh pun Rizal Ramli toh tetap menawarkan solusi dari setiap kritikan yang dilontarkannya kepada pemerintah. Sehingga, sesungguhnya tak ada alasanya bagi pemerintah jika memandang Rizal Ramli sebagai musuh. Malah, saya membayangkan, bahwa betapa dahsyatnya negara ini jika kedua tokoh seperti SBY dan Rizal Ramli bisa bersatu membangun negeri ini.

Tetapi sayangnya, istilah yang menyebutkan: “..jangan lihat orangnya, tetapi terimalah kebenaran dari apa yang dikatakannya” nampaknya tidak dilakukan oleh Presiden SBY terhadap kritik, ide dan saran solusi yang disodorkan oleh Rizal Ramli selama ini.

Karena sekali lagi, SBY sepertinya selalu saja memandang semuanya dari kacamata politik. Akibatnya, muncul kekuatiran yang sangat berlebih-lebihan terhadap sosok Rizal Ramli. Sampai-sampai, masukan atau saran dari Rizal Ramli yang sesungguhnya dapat menjadi jalan keluar dari persoalan yang tengah dihadapi oleh bangsa saat ini pun akan sulit ditempuh, karena besar dugaan, SBY memang bukan tipe pemimpin yang mudah menerima saran dan masukan dari sosok yang kini juga dinobatkan oleh LPI sebagai capres paling ideal tahun 2014 mendatang.(map/ams*)

Minggu, 08 September 2013

Ini Dia Capres yang Dicari PDIP

Kategori: Opini*

[RR1
online]
SETELAH
kami melakukan pertemuan internal dengan segenap anggota For-SeRGAP (Forum-Seruan Rakyat Garda Perubahan) yang baru 7 bulan kami bentuk, dengan mengangkat satu tema diskusi: “Indonesia Butuh Pemimpin Berani, bukan Sosok Tirani”, Sabtu malam (7/9), berhasil menyimpulkan sejumlah point-point penting yang akan menjadi agenda kerja di forum kami tersebut.

Meski diskusi ini berlangsung secara sederhana, tetapi saya selaku Ketua For-SerGAP, yakin dengan sebuah istilah, bahwa semua yang sudah diwujudkan secara hebat di negara-negara yang telah maju itu diawali dari ide-ide kecil yang hebat yang tercetus bukan dari ruangan mewah. Contohnya, Jepang yang begitu cepat bangkit pasca bom Hiroshima dan Nagasaki.

Sehingga itu beberapa kesimpulan dari diskusi kami ini pun memunculkan sejumlah “ide-ide kecil” namun sangat penting untuk kami perjuangkan sebagai gerakan menuju Perubahan.

Ada hal menarik dari diskusi yang diselenggarakan di salah satu ruangan sempit di dalam rumah saya itu, konsumsinya pun hanya alakadarnya,–pisang goreng dan kopi lokal manis dan hangat,–  yakni pembicaraan lebih banyak tersedot dan tertuju pada Rakernas ke-III PDIP (6-8 September 2013) itu, padahal saya dan seluruh anggota For-SerGAP bukanlah kader PDIP, tetapi kami punya alasan mengapa harus menyediakan waktu untuk membahas parpol yang identik dengan warna “merah” tersebut.

Salah satu alasannya adalah, bahwa saat ini PDIP mampu memperlihatkan diri sebagai parpol yang punya jatidiri dan karakter pengabdian yang kuat dalam menghidupkan demokrasi di negeri ini. Sehingga, menghubungkan dengan kondisi politik yang kini mulai marak diperbincangkan oleh publik tentang siapa sosok yang layak “dilahirkan” sebagai pemimpin pada Pilpres 2014 mendatang, maka kami menyimpulkan bahwa Indonesia memang butuh pemimpin pemberani, bukan pemimpin tirani.

Kategori pemimpin pemberani, menurut kami, adalah sosok yang memiliki hati yang kekar diikuti rasa percaya diri dalam menghadapi situasi sulit apapun, tidak gentar, apalagi pengecut. Siap menolak kerjasama dari negara lain yang dianggap ujung-ujungnya justru tidak menguntungkan buat rakyat Indonesia. Kemudian tentu saja, adalah berani untuk tidak sekali-kali tergiur menyelewengkan jabatannya sebagai pemimpin yang mendapat amanah dari rakyat.

Ada point penting yang kami simpulkan dalam diskusi semalam, ternyata hari ini (siang tadi) sangat persis dengan apa yang dikatakan oleh M Prakoso selaku Ketua Perencanaan Pembangunan Semesta dalam Rakernas III PDIP tersebut.

Yakni seperti yang dilansir oleh detik.com, bahwa sosok presiden yang berani bersikap tegas menjadi idaman partai banteng ini. Capres PDIP juga harus terbebas dari rekam jejak kotor yang membelenggu langkah-langkah kebijakan pembangunan radikalnya. “Pemimpin harus yang berkarakter berani dan bersih. Soalnya, banyak pemimpin yang tidak berani ngomong apalagi bertindak karena terbelenggu track-recordnya, misalnya pernah korupsi,” tutur Prakosa.

Dan inilah 6 figur yang kami “tunjuk” dalam diskusi kami semalam sebagai sosok pemberani, -yang mungkin sosok inilah yang dicari oleh PDIP:

1.    Megawati Sukarnoputri;
Selain dikenal sebagai Ketua Umum DPP PDIP, sosok ini juga adalah merupakan icon “pendekar” wanita yang dimiliki oleh Indonesia, yang dengan tegas dan gagah berani memposisikan parpolnya sebagai parpol oposisi dalam “melawan” penguasa dan parpol koalisinya.

Pembawaan Ibu Mega sangat identik dengan warna parpolnya, yakni “Merah” yang menggambarkan sebuah keberanian adalah hal yang mutlak.

2.    Rizal Ramli;
Sosok ini memang tak pernah “beriklan” di televisi, sehingga ia belum sepopuler dengan figur-figur lainnya yang sering “beriklan” di televisi. Tetapi, justru yang berani mengatakan SBY pembohong adalah Rizal Ramli (RR).

Orang-orang yang mengenal Rizal Ramli pun hingga kini masih sering terpukau dengan keberanian sosok ini. Tetapi sebetulnya, keberanian sosok yang satu ini tak perlu diherankan. Sebab memang, ia telah pernah dipenjarakan oleh rezim Orba karena menentang keras Soeharto agar tak lagi jadi presiden melalui aksi demo yang bertubi-tubi, juga dengan menulis buku yang membuat darah Soeharto jadi mendidih.

Rizal Ramli pada era Presiden Gusdur (wapres Megawati) pernah menjabat Kabulog, Menko Perekonomian, dan Menteri Keuangan ini juga “sempat dipecat” dari jabatannya selaku Komisaris Utama di PT Semen Gresik karena berani menentang keras kebijakan SBY menaikkan harga BBM, melalui aksi demo. Sehingga, keberanian dan jiwa pengorbanannya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil tak perlu diragukan. Karena Rizal Ramli ibarat Petinju kelas Berat yang selalu berani berhadapan dengan siapa saja jika dinilainya tak sesuai dengan kepentingan orang banyak.

3.    Mahfud MD;
Keberanian Mahfud “bersinar” ketika menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Ketika itu, banyak keputusan-keputusan yang berani diambilnya dalam menangani perkara-perkara yang tidak ringan, karena ujung-ujungnya dikuatirkan harus berhadapan dengan penguasa, termasuk berani memutuskan agar BP Migas dibubarkan.

4.    Yusril Ihza Mahendra;
Bicara soal hukum, sosok ini selalu berani tampil di depan. Bahkan ia tak gentar berhadapan dengan penguasa saat ini, yakni terlebih ketika dirinya harus diseret secara berhadap-hadapan ke arena hukum melalui berbagai perkara yang berkaitan dengan penguasa. Malah ia tak jarang menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk memberi bantuan hukum kepada sejumlah pihak yang dinilai sedang berposisi terdesak.

5.    Joko Widodo (Jokowi);
Belum ada yang mengenal sosok ini saat masih menjabat Walikota Solo. Tetapi ketika berhasil menjadi pemenang dalam Pilgub DKI Jakarta, nama Jokowi pun mendadak tenar, populeritasnya bahkan saat ini telah mengalahkan semua figur atau tokoh yang lebih dulu berkecimpung di dalam dunia politik. Tentu saja, ini tak bisa dipungkiri berkat “keberanian” Ibu Megawati yang berhasil membangkitkan “keberanian” Jokowi agar berani maju bertarung dalam Pilgub DKI Jakarta saat itu.

Sehingga, Jokowi sesungguhnya saat ini berani melakukan gerakan dan langkah-langkah strategis sebagai kebijakan yang populis karena telah dititiskan oleh “dua keberanian” secara politik, –satu dari Ibu Megawati, dan satunya lagi dari Prabowo yang menyokong, mengusung dan mendukung pasangan Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI Jakarta itu.

Tetapi pada dasarnya, Jokowi memang berani. Sebab, sebesar apapun keberanian dari Ibu Mega dan Prabowo ketika itu, jika Jokowi sendiri yang tak berani maju sebagai pasangan calon gubernur, maka tentu tidaklah berarti apa-apa.

Dan benar saja, Jokowi memang tak hanya berani maju sebagai cagub, tetapi juga setelah jadi Gubernur Jakarta pun ia tetap mampu memperlihatkan keberaniannya untuk selalu berpihak kepada kepentingan rakyat melalui kebijakan-kebijakan yang tepat guna.

6.    Prabowo Subianto;
Soal keberanian sosok yang satu ini dapat dilihat dari wajahnya yang terkesan sangar. Cara bicara dan gerak-geriknya sangat jelas terlihat sebuah ketegasan, karena memang karakternya ini telah ditempa sejak awal sebagai seorang militer yang terakhir berpangkat Purnawirawan Letnan Jenderal.

“Kisah keberaniannya” dalam dunia militer telah teruji. Yakni Desember 1978, Kapten Prabowo memimpin pasukan Den 28 Kopassus yang ditugaskan untuk membunuh pendiri dan wakil ketua Fretilin, yang pada saat itu juga menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Timor Leste, Nicolau dos Reis Lobato. Lobato tewas setelah tertembak di perut saat bertempur di lembah Mindelo, pada tanggal 31 Desember 1978. Karena prestasi ini, Prabowo mendapatkan kenaikan pangkat.

Hanya saja, mantan pasangan capres Megawati ini, saat ini sedang berhadapan dengan masalah kontroversi dan dugaan pelanggaran HAM. Tetapi meski begitu, Prabowo nampaknya tetap ingin menyakinkan bahwa dirinya adalah memang seorang pemberani. Namun sayangnya, Prabowo sudah pernah berpasangan dengan Megawati dalam Pilpres 2009 lalu.

Nah, silakan pembaca mencermati semua sosok di atas.  Kalau pun ada sosok lain yang tak sempat kami masukkan, maka itu bukan berarti kami sepelekan. Mereka juga adalah putra-putra terbaik bangsa.

Beberapa alasan sampai kami tak memasukkannya, di antaranya adalah karena diskusi For-SeRGAP ini diselenggarakan karena kami “terpengaruh” dengan “kedahsyatan” Rakernas III PDIP yang seakan mengalahkan konvensi Partai Demokrat. Pun sosok lain yang telah mendeklarasikan diri sebagai capres-cawapres tak perlu lagi disodorkan sebagai “referensi”  buat PDIP.

Alasan berikutnya adalah, kami punya pertimbangan, bahwa beberapa sosok lainnya yang ada saat ini hanya muncul secara instan (tidak alami) dan belum cukup disebut teruji. Dan kita punya banyak “pengalaman buruk” tentang sosok yang berhasil jadi pemimpin melalui cara-cara yang instan. Salam Perubahan.


----------
* Sumber: kompasiana

Sabtu, 07 September 2013

Rakernas III PDI-P: Menanti Terbitnya “Bintang Kejora” 2014?


Kategori: Opini*
[RR1online]:
MAAF
, uraian dan pemikiran di bawah ini (mungkin) hanya menurut pengamatan saya sebagai seorang yang pernah aktif 20 tahun dalam dunia jurnalistik, serta kini selaku penulis dan juga politisi lokal.

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDI Perjuangan, yang dilaksanakan mulai hari ini, Jumat hingga Minggu (6-8 September 2013), nampaknya hanya akan lebih banyak diwarnai dengan masukan-masukan suportif, baik yang menyangkut strategi maupun agenda-agenda program kerja lainnya.

Sekjen PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, bahkan mengakui bahwa partainya telah bertekad tidak akan lagi menjadi oposisi setelah Pemilu 2014. Dan sebagai bentuk kesungguhan tekad itu, Tjahjo pun mengungkapkan, pihaknya telah menyusun program-program pembangunan yang akan dijalankan bila memenangi pemilu mendatang.

Nampaknya, PDI Perjuangan dalam Rakernas kali ini tak keliru jika merasa benar-benar PD (percaya diri) akan mampu memenangkan Pemilu mendatang. Sebab partai berlambang Banteng Moncong Putih ini, saat ini lebih bisa ditunjuk sebagai partai politik yang berhasil “mencetak” kader yang lebih baik, -bahkan sangat lebih baik-, dibanding dengan partai-partai lain.

Tengok saja, bagaimana cara Partai Golkar (PG) “curi start” yang terkesan begitu sangat memaksakan diri memunculkan ketua umumnya sebagai calon tunggal untuk dimajukan dalam pertarungan pilpres 2014. Saya yakin, belum tentu semua kader di DPP PG maupun di daerah yang setuju dengan model “pemaksaan” seperti ini, apalagi rakyat.

Justru dari situ saja, PG sudah nampak seakan-akan tidak memberi ruang dan kesempatan kepada kader-kader lainnya (yang juga saya yakin) untuk “berkembang”, yakni saat diketahui bahwa sesungguhnya mungkin ada kader yang lebih baik dibanding ketumnya untuk dimunculkan dan diperjuangkan sebagai capres. Itu jika PG ingin serius memenangi Pemilu?

Selanjutnya, di tubuh Partai Demokrat (PD). Sejauh ini sebagai partai penguasa 2 periode, PD nampaknya telah gagal mencetak kader-kader unggul. Justru tak sedikit kadernya terkesan pada “memble” semua. Cara ngomongnya lebih cenderung memantul-mantul tak beraturan bagai bola sodok, namun tak satu pun yang lolos ke “lubang”.

Lihat saja pada konvensi PD, ke mana kader-kadernya yang selalu merasa lebih pintar dan lebih jago dari orang lain? Harusnya, PD tak perlu konvensi jika memang ada stock kader yang lebih bisa diandalkan. Begitu pun dengan partai-partai lainnya.

Sehingga boleh dikata, hari ini sesungguhnya PDI Perjuangan tak punya “beban” yang begitu berarti dibanding dengan yang dirasakan oleh partai-partai lainnya. Olehnya itu, PDI Perjuangan memang sangat berpotensi memenangkan Pemilu 2014.

PDI Perjuangan bahkan berhasil memenangkan Pilgub lebih banyak di tanah air, yakni terdapat 7 gubernur yang diusung tunggal oleh PDI Perjuangan, dan terdapat 5 gubernur hasil koalisi PDI-Perjuangan dengan partai lain. Terlebih ketika PDI Perjuangan berhasil memenangkan kadernya dalam pilgub DKI Jakarta, membuat masyarakat seantero negeri ini serta-merta menilai kemenangan tersebut sebagai momen kebangkitan bagi PDI Perjuangan.

Peta politik ini kemudian menjadi petunjuk yang tak sulit bagi PDI Perjuangan untuk memutuskan dan menentukan siapa sosok yang akan diusung dalam pilpres 2014 mendatang.

Dan jika agenda Rakernas III PDI Perjuangan hari ini termasuk membicarakan dan membahas nama sosok untuk pilpres, maka dugaan saya (dan banyak orang) tentu tidak akan meleset, yakni nama Joko Widodo (Jokowi- Gubernur Jakarta itu) diprediksi sangat kuat disepakati sebagai sosok yang akan dimajukan dalam pilpres 2014 mendatang.

Namun, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri selaku “pendekar” wanita yang sangat berpengalaman di dunia politik itu, tentunya tak ingin gegabah menentukan sikap. Boleh jadi, Jokowi memang akan diputuskan sebagai sosok yang maju ke pilpres, tetapi belum tentu diposisikan sebagai capres, melainkan sebagai cawapres.

PDI Perjuangan memang harus cermat menentukan pasangan pilpres (Capres dan Cawapres), sebab lawan-lawan lainnya terutama PD dan PG boleh jadi menyimpan “suntikan beracun” dalam menaklukkan PDI Perjuangan.

Sebetulnya, PDI Perjuangan tak perlu takut terjebak dengan bayangan-bayangan kekuatan lawan politik yang hingga saat ini masih “gelap”. Karena hampir 5 tahun terakhir ini, rakyat belum melihat adanya “bintang” yang mampu menyinari kehidupan mereka di negeri ini. Sehingga sesungguhnya, rakyat saat ini sangat membutuhkan “bintang” (pemimpin) yang tak hanya indah di pandang mata, tetapi juga dapat menjadi cahaya perubahan yang menyejukkan di hati seluruh umat di negeri ini.

Olehnya itu, dalam menentukan dua sosok ke pilpres, PDI Perjuangan hendaknya mampu memperlihatkan sikap bijak terhadap kepentingan rakyat, bukan hanya didominasi dengan sikap politik yang nantinya malah terkesan hanya untuk kepentingan kelompok. Yakni ada baiknya memajukan sosok yang dianggap tak berambisi apalagi ambisius maju ke pilpres.

Ukuran dasar di mata rakyat tentang sosok ambisi dan ambisius adalah figur yang pernah maju pada pilpres sebelumnya lalu maju kembali meski dengan format yang berbeda. Sosok ambisi dan ambisius lainnya dapat diketahui dari caranya untuk maju ke pilpres, adalah dengan melalui proses penonjolan diri secara egois dan arogan karena merasa punya uang yang melimpah untuk membeli suara. Maka hati-hatilah dengan sosok seperti ini..!!!

PDI Perjuangan sebetulnya tak terlalu sulit memunculkan dua sosok untuk dimajukan ke pilpres. Persoalan populer atau tidak, itu bukan masalah buat PDI Perjuangan. Sebab, cukup dengan menumpahkan dan menggerakkan kader dan massa riil di seluruh daerah, maka sosok itu diyakini akan terterima di hati rakyat, yang kemudian dengan sendirinya akan menjadi populer dengan seketika.

Bagi rakyat, yang penting dua sosok yang dimajukan itu benar-benar “asli adalah ahli” mampu mewujudkan tema Rakernas hari ini, yakni: “Berjuang untuk Kesejahteraan Rakyat”. Kalau bukan sosok asli dan ahli, maka PDI Perjuangan dalam pertarungan di pilpres akan justru dinilai tak ada bedanya dengan parpol lainnya.

Jika PDI Perjuangan hari ini bertekad mewujudkan tema Rakernas-nya, maka kata kuncinya ada pada fokus pembahasan perbaikan ekonomi rakyat. Sehingganya, tak sulit meyakinkan rakyat jika sosok yang dimajukan ke pilpres itu adalah sosok yang memang ahli dalam ekonomi. Sebagai perumpaan: Bagaimana mungkin seorang penjual obat penyubur rambut bisa menyakinkan calon pembelinya, jika dia (penjualnya) sendiri punya kepala botak??? Mungkin bisa-bisa saja penjualnya dipercaya, tetapi tidak dengan obatnya.

Tetapi, saya yakin, para petinggi PDI Perjuangan tidak sekadar memajang tema Rakernas itu sebagai slogan belaka. Tentulah disadari tema itu harus sinkron dengan program pembangunan yang juga telah disusun sebelumnya. Sehingga saya pikir, PDI Perjuangan pun sangat paham tentang pentingnya menetapkan 2 sosok yang benar-benar ahli guna mewujudkan tema sekaligus program pembangunan tersebut.

Lalu sosok siapa saja yang dianggap paling pantas mewujudkan tema dan program pembangunan itu?
Menurut saya, selain Jokowi, maka Ketum Megawati Sukarnoputri tentu akan lebih cenderung pula memasukkan nama ekonom senior Rizal Ramli untuk diduetkan dalam pilpres. Sebab, di mata Ibu Mega, Rizal Ramli sesungguhnya bukan orang lain. Yakni, ketika Ibu Mega jadi Wapres, Rizal Ramli adalah salah satu menterinya. Juga Rizal Ramli saat ini adalah Ketua Dewan Penyantun (Kurator) di Universitas Bung Karno.

Bahkan bicara soal survei, Rizal Ramli juga sungguh termasuk sosok yang tak boleh disepelekan, karena sejumlah survei menempatkan Rizal Ramli sebagai sosok ideal untuk di-Capres-kan. Misalnya dari LPI (Lembaga Pemilih Indonesia), LSP (Lembaga Studi Perjuangan),  The President Center, dan lain sebagainya.

Namun karena Rakernas ini juga mengusung sub-tema: “Menuju Tahun Penentuan”, maka kemungkinan Ibu Mega akan lebih mempertimbangkan siapa yang akan mengisi posisi capres dan siapa yang cawapres, sebagaimana yang memang telah diwacanakan sebelumya di beberapa waktu lalu: apakah ingin menerbitkan bintang “Kejora” (Kemilau Jokowi-Rizal Ramli) ataukah lebih ke “Rido” (Rizal Ramli-Joko Widodo).

Selamat melaksanakan Rakernas III PDI-Perjuangan. Semoga Rakernas ini adalah proses menuju kemenangan pada Pemilu 2014 mendatang, agar Perubahan dan Pembaharuan untuk Kesejahteraan Seluruh Rakyat Indonesia dapat segera terwujud. Amin!!!