Sabtu, 30 November 2013

Ini Terobosan Jaya Suprana dkk Munculkan Capres Terbaik untuk Rakyat


Jakarta [RR1online]:
“SEDANG lemas, sakit dan sekarat”. Begitulah kondisi Ibu Pertiwi kita saat ini. Dan semua itu adalah ulah dari para koruptor yang selama ini bersembunyi di balik kekuasaan dan parpol…! Ya.. koruptor-lah yang telah tega melakukan “kedurhakaan” terhadap Ibu Pertiwi yang telah “melahirkannya” dan “membesarkannya” sebagai petinggi, dan juga penguasa.

Dari ilustrasi prolog di atas, setidaknya dapat menjadi pencerahan bagi rakyat Indonesia agar segera bersama-sama ikut berpartisipasi mencari dan “melahirkan” pemimpin yang benar-benar berasal dari rakyat dan untuk rakyat pula, “..bukan dari parpol yang kemudian untuk parpol pula..!”.

Sehingga saya sangatlah sependapat dengan pandangan yang dikemukakan oleh Jaya Suprana. Bahwa Pemilu 2014 harus menjadi momentum (kesempatan yang sangat tepat) untuk segera melakukan perubahan di negeri ini. Sebab, rakyatlah yang harus menjadi penentunya.

Pada Pemilu 2014, SBY tak lagi bisa mencalonkan diri lantaran sudah menjabat dua periode. Sehingga mulai jauh-jauh hari, rakyat hendaknya segera merenungi dan menjadikan pelajaran berharga atas kepemimpinan yang telah berlangsung selama ini. Dan jangan lagi ada ungkapan di kemudian hari yang menyebutkan: “…kita salah memilih lagi..?!”

Sehingga itu, Jaya Suprana mengingatkan, bahwa momentum pemilihan presiden mendatang terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada mekanisme partai politik. Seluruh masyarakat Indonesia mestinya terlibat dalam menentukan calon-calon pemimpin yang akan memimpin Indonesia.

Jaya Suprana bahkan menantang publik agar dapat ikut bergerak dan berpartisipasi mencari pemimpin yang murni berasal dari rakyat.  “Akan lebih baik jika seluruh elemen, baik parpol dan masyarakat, berani menyelenggarakan konvensi untuk memilih dan menemukan pemimpin yang benar-benar berkualitas,” kata Jaya Suprana. Dilansir jpnn.

Sebagai seorang budayawan, Jaya Suprana tentu saja menganggap Konvensi Capres yang dilakukan langsung oleh Rakyat adalah sebuah terobosan yang lebih mampu menghidupkan demokrasi.

Salah satu niat baik digelarnya Konvensi Rakyat Capres 2014, menurut Jaya Suprana, yakni adalah untuk mengisi ruang-ruang pendidikan politik yang selama ini dikuasai partai politik. “Konvensi Rakyat merupakan manifestasi demokrasi dan bebas dari monopoli partai politik,” ujar Jaya. Dikutip aktual.co.

Presiden Komisaris Jamu Jago ini menegaskan, konvensi (parpol maupun yang dilakukan rakyat) semestinya diniatkan untuk mencari kader terbaik bangsa yang mampu membenahi carut-marut di negeri ini. “Seharusnya semua konvensi lebih mengutamakan rakyat ketimbang anggota partai politik,” lontarnya.

Sehingga itu, pendiri Museum Rekor Indonesia (MuRI) ini mengajak kepada kader-kader terbaik bangsa untuk tidak segan-segan mendaftar ke Konvensi Rakyat. Dikatakannya, Konvensi Rakyat telah menyiapkan proses penyaringan secara terbuka dan tidak didominasi oleh orang-perorang semata.

Sementara itu, anggota Komite Konvensi Rakyat lainnya, Dr. Yenti Garnasih memaparkan, bahwa konvensi memang digelar untuk mencari potensi anak bangsa yang bisa memimpin dan memajukan bangsa. “Konvensi Rakyat memberikan kesempatan kepada siapa pun yang ingin mendarmabaktikan hidupnya untuk kemajuan bangsa,” ujar doktor bidang tindak pidana pencucian uang Universitas Tri Sakti ini.

Sama dengan seluruh anggota Komite lainnya, Yenti juga memandang Konvensi Rakyat ini adalah sebagai terobosan penting dan sangat bermanfaat untuk bangsa. Terlepas nantinya apakah ada parpol yang siap mengusung kandidat capres yang dihasilkan dalam proses Konvensi Rakyat tersebut. “Setidaknya kami melakukan langkah yang bermanfaat bagi bangsa, dan ada baiknya para calon tersebut dipertimbangkan untuk diusung oleh partai politik,” ujarnya.

Sebab, tambah Yenti, tidak ada salahnya secara sinergis parpol bekerjasama dengan Konvensi Rakyat. Dikatakannya, partai memang memiliki hak yuridis mengusung capres. “Tapi harus diimbangi dengan kewajiban yuridis untuk mencari kader terbaik bangsa yang bisa membawa negeri ini menuju kemakmuran,” ujarnya.

Semoga saja Jaya Suprana dan kawan-kawan yang tergabung dalam Komite Konvensi Rakyat saat ini dapat mewujudkan terobosan untuk perubahan di negeri ini, sekaligus mampu mencatat “rekor” baru.

Bukankah Jaya Suprana dikenal sebagai sosok yang selalu mengejar para pembuat rekor? Nah… giliran Jaya Suprana yang harus membuktikan diri untuk bisa mencatat “rekor baru” dalam dunia demokrasi di tanah air melalui Konvensi Rakyat…!!!

Inilah nama-nama anggota Komite Konvensi Rakyat, diantaranya adalah :
1.   KH. Salahuddin Wahid
2.   Dr. Adnan Buyung Nasution
3.   Prof.Dr.Asep Warlan Yusuf,SH, MH
4.   Jaya Suprana, PhD
5.   Prof. Dr. Ichlasul Amal
6.   Ir. Hendarmin Ranadireksa
7.   Aristides Katoppo
8.   Prof. Dr. Dr.(HC). Franz Magnis-Suseno, SJ
9.   Pdt. Natan Setiabudi, STh, PhD
10. Joenil Kahar
11. Dr. H. Tjuk K Sukiyadi, SE
12. Dr. Yenti Garnasih, SH, MH
13. H. Wisnubroto Heru Putranto, SH
14. Romy Fibry

Selamat Berjuang demi Perubahan.
(map/ams)

Kamis, 28 November 2013

Akibat dari Sistem “Prabayar”, Negara Bisa Dikuasai Parpol Korup

[RR1online]:
SISTEM pemilu kita saat ini sangat sulit memberi suasana tenteram dan damai, apalagi berharap hasil yang berkualitas dari pelaksanaan pemilu itu sendiri. Sungguhlah sangat jauh panggang dari api.

Hal ini bisa dirasakan ketika mendekati pelaksanaan Pemilu seperti sekarang ini, suasananya sudah mulai mencekam. Perhatikan saja, bangsa (rakyat) kita selalu dipaksa untuk menjadi bangsa penghujat, egois, arogan, brutal, bahkan anarkis dan lain sebagainya demi mendukung serta membela parpol atau figur masing-masing.

Pemandangan caci-maki dan baku hujat dengan saling melontarkan kata-kata (bahkan gambar) yang tidak senonoh sangat banyak bisa kita saksikan di jejaring sosial (facebook, twitter, dll), dan bahkan di media warga (citizen media) online (seperti di Kompasina, dsb) pun sangat mudah terjadi saling lempar cacian serba “kotor” melalui komentar yang kesemuanya justru dapat memunculkan permusuhan, yakni dengan tidak saling menghargai karena lebih membela figur atau jagoan masing-masing.

Dan sesungguhnya ini adalah salah satu bukti, bahwa negara ini telah gagal membangun sistem demokrasi yang berkualitas. Sebab, masing-masing pihak, yakni rakyat (terutama warga di dunia maya) tanpa sadar hanya “dilatih” untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Padahal semestinya rakyat bisa “siuman” untuk  segera bergotong-royong mencari pemimpin ideal sesuai selera rakyat, bukan selera parpol. Untuk ini, Konvensi Rakyat adalah pilihan yang sangat tepat untuk ditempuh.

Rakyat hendaknya segera sadar, bahwa sistem Pemilu yang diterapkan di negara kita selama ini sesungguh hanyalah menjadi biang kekacauan dan kehancuran negeri ini.

Sebab, sistem ini telah banyak (sengaja) dipraktekkan secara curang oleh para parpol demi meraih kepuasan dan kekuasaan. Yakni dengan memanfaatkan dan menyiasati celah-celah yang terdapat di dalam sistem pemilu itu sendiri. Modusnya bisa macam-macam, tetapi jurusnya cuma satu, yakni uang. Dengan “jurus” (uang) inilah hati rakyat jelata bisa jadi buta, dan bahkan mampu merontokkan rasio kalangan intelek.

Betapa banyak figur yang berhasil terpilih menjadi pemimpin di negeri ini karena hanya unggul di satu sisi, yakni mampu membagi-bagikan uang kepada rakyat di saat sebelum hari puncak Pemilu (Pemilukada) tiba, misalnya sebesar Rp.100 ribu hingga Rp.300 ribu.

Di kala itu, rakyat sesungguhnya tak sadar, bahwa uang yang diterimanya itu sebenarnya adalah hanya sebagai alat untuk menutupi kekurangan (sifat jahat) dari calon yang bersangkutan. Sebab banyak yang sudah terbukti, bahwa setelah calon yang bersangkutan berhasil terpilih sebagai penguasa, maka rakyat tidak mendapatkan apa-apa lagi.

Kondisi seperti ini disebut Rizal Ramli sebagai demokrasi “pra-bayar”. “Demokrasi kita ini istilah saya demokrasi pra bayar. Ingin punya pulsa bayar dulu setelah itu tidak dapat apa-apa lagi. Pemimpin dipilih karena bayar 100 ribu, setelah terpilih mereka korupsi dan tidak berbuat apa-apa untuk rakyat. Setelah terpilih mereka bilang mau ngapain lagi, kan sudah bayar,” ucap tokoh oposisi nasional DR. Rizal Ramli saat tampil sebagai pembicara pada seminar: ‘Martabat dan Kemandirian Bangsa untuk Kesejahteraan Rakyat’, di Auditorium lantai 8 Universitas Jaya Baya, Jakarta, Rabu (20/11).

Olehnya itu, Rizal Ramli mengajak untuk pemilu mendatang agar dapat melaksanakan demokrasi pasca-bayar. Artinya, pilih pemimpin bukan karena sebelum hari H pemilu diberi uang Rp 100 ribu, tetapi karena pertimbangan-pertimbangan antara lain integritas dan kompetensi. Sebab, pemimpin yang dipilih karena alasan memiliki kualitas integritas yang tinggi, maka pemimpin tersebut otomatis akan berbuat untuk kepentingan rakyatnya, bukan untuk kebaikan dirinya sendiri dan kelompoknya.

Jadi, menurut Ketua Umum Kadin ini,  rakyat harus bisa berdemokrasi pasca-bayar, bukan demokrasi pra-bayar. “Pilih pemimpin yang bagus, pemimpin yang amanah. Jangan berharap uang 100 ribu (ratusan ribu rupiah) dari calon pemimpin, karena setelah itu mereka korupsi dan tidak berbuat apa-apa,” seru Rizal Ramli, Menko perekonomian era Presiden Gus Dur.

Rakyat mungkin bisa saja menerima uangnya tetapi jangan pilih orangnya. Namun secara sederhana, menurut saya, ajakan Rizal Ramli ini tentunya adalah bermaksud agar rakyat bisa benar-benar memanfaatkan Pemilu 2014 sebagai momentum tepat untuk melakukan perubahan dengan tidak mudah tergiur dengan suapan uang. Karena, di saat Pemilu itulah perubahan bisa dilakukan oleh rakyat. Sehingganya, diharapkan agar rakyat tidak lagi salah memilih dan tergoda hanya karena melihat jumlah uang yang diberikannya.

Tetapi jika rakyat kemudian toh masih tetap terperdaya dengan jumlah sogokan dari pihak calon agar dapat dipilih, maka Pemilu 2014 hanya berlanjut kembali dengan janji dan harapan kegelapan serta malapetaka bangsa. Terlebih lagi jika  pemenang Pemilunya adalah parpol korup, maka rakyat tak usah lagi berharap apa-apa sesudahnya. Mau ngapain lagi, kan sudah dibayar…??!!?>map/ams

Selasa, 19 November 2013

Konvensi Rakyat Bisa Memuliakan Parpol dan Mengangkat Martabat Rakyat

KH. Salahuddin Wahid di tengah-tengah rakyat
(Sumber: sayangi.com)
[RR1online]
CALON Presiden (Capres) yang kini sedang dimunculkan, baik melalui konvensi maupun penunjukan langsung (PL) dari internal partai politik (parpol), itu seluruhnya masih belum sesuai dengan kebutuhan dan harapan rakyat.

Hal tersebut diungkapkan Abdul Muis Syam selaku Ketua Presidium Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Prov. Gorontalo kepada Majalah Perubahan.

“Sungguh kita sangat...sangat dan sangat bodoh jika akhirnya kembali harus memilih capres-capres yang dimunculkan dari hasil konvensi atau penunjukan langsung oleh parpol korup. Namun saya berharap kita bisa menolak kebodohan itu sedini mungkin,” ujar Muis (sapaan akrab Abdul Muis Syam), di sekretariat MKRI Gorontalo, Senin malam (18/11/2013).

Muis yang juga mantan wartawan Harian Fajar Makassar (Jawa Pos Grup) itu memberi gambaran sederhana sebagai alasannya menolak capres dari hasil konvensi atau PL parpol korup. Yakni, bahwa rakyat kita saat ini memang sangat “haus” mencari pemimpin (pasangan presiden). Tetapi, rakyat harus pandai-pandai mengetahui mana air yang bisa diminum dan mana yang tidak bisa diteguk.

“Dari dulu kita memang sangat ‘haus’ dengan pemimpin yang mampu menyegarkan ekonomi bangsa. Namun kita jangan lagi mau meminum air dari gelas atau wadah yang kotor. Meski airnya bersih, tapi jika gelas atau wadahnya sudah dipenuhi kotoran, maka air itu akan ikut menjadi kotor dan sangat tak layak untuk diminum. Yang terjadi sampai hari ini kan yaa.. begitu, kita selalu saja disuguhkan ‘air’ yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan rakyat,” tutur Muis.

Sebaliknya, lanjut Muis, meski gelas atau wadahnya dinilai bersih tetapi jika ‘airnya’ kotor, maka tentu juga tetap tidak layak untuk diminum. Sehingga itu, Muis mengajak, jika rakyat kita benar-benar mau mendapatkan ‘kesegaran’ maka mulailah dari sekarang untuk bergotong-royong mencari sumber air bersih untuk disalurkan ke wadah yang bersih pula. “Jika ini yang terjadi, maka saya yakin, Indonesia menjadi negara yang segar bugar,” ujar Muis.

Tetapi apabila, kata Muis lagi, pada Pemilu 2014 mendatang rakyat masih tetap berminat untuk “meminum air (kotor) dari  gelas mewah namun diketahui juga kotor”, maka rakyat sendiri pulalah yang harus menanggung akibatnya, yakni kembali lagi “sakit perut” selama 5 tahun. “Sehingga itu, rakyat jangan sampai kembali meminum mentah-mentah air yang disuguhkan dari gelas-gelas kotor,” tegas Muis seraya menyebutnyakan bahwa air dalam hal ini adalah figur-figur capres, dan parpol adalah ibarat sebuah gelasnya.

Sebagai solusi, Muis memandang, konvensi rakyat adalah sangatlah tepat sebagai penghapus dahaga rakyat yang saat ini memang sedang sangat haus  pemimpin yang bersih dan berkualitas.

Sebagaimana diketahui, konvensi rakyat saat ini digelar oleh sejumlah tokoh yang berasal dari kalangan lintas agama, LSM, praktisi Hukum, Budayawan, Pers dan tokoh Perempuan. Pendaftaran pesertanya terbuka untuk umum dan jumlahnya tak dibatasi.

Tahapan seleksi  berlangsung pada 10  November-10 Desember 2013. Selanjutnya Komite Konvensi akan memilih enam peserta yang lolos seleksi akhir untuk mengikuti debat publik pada 15 Desember 2013 hingga 31 Januari 2014 di enam kota yaitu di Medan, Balikpapan, Surabaya, Makassar, Bandung dan Jakarta

Kehadiran konvensi rakyat dalam hal ini, menurut Muis, tidaklah bertindak sebagai wadah atau sebuah parpol. Dan, katanya, sama sekali tidak mengganggu parpol. Justru konvensi rakyat itu sangat membantu dua pihak, yakni parpol dan rakyat dalam upaya memunculkan calon pemimpin yang dibutuhkan Indonesia ke depan untuk menjadi negara kuat yang mampu menyejahterakan warganya.

“Konvensi rakyat itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan parpol. Justru konvensi rakyat itu bisa memuliakan parpol, dan di saat bersamaan bisa mengangkat martabat rakyat Indonesia sebagai bangsa merdeka di alam demokrasi seperti saat ini,” ujar Muis.

Artinya,  jelas Muis, di kala citra buruk dan kotor serta pandangan negatif sedang gencar terarah ke seluruh parpol seperti saat ini, dan di saat bersamaan ketika rakyat selalu merasa tertipu karena kerap pula tak dilibatkan dalam mengajukan dan menentukan sosok-sosok capresnya, maka di saat itu muncul sejumlah tokoh non-parpol dari berbagai kalangan bertekad mencari calon-calon pemimpin (capres/cawapres) yang langsung direkrut dari bawah melalui sebentuk kegiatan yang dinamai Konvensi Rakyat.

"Dan konvensi ini tentu saja akan mampu memunculkan suasana segar dan membangkitkan kembali semangat rakyat untuk terpanggil berpartisipasi langsung dalam menyiapkan capres-capresnya, yang untuk selanjutnya diajukan ke sejumlah parpol. Ini kan artinya rakyat diminta untuk tidak pesimis kepada parpol?!," ujar Muis.

Sehingga itu, kata Muis, tidaklah elok apabila ada parpol yang memandang sinis Konvensi Rakyat dan mengatakan hanya buang energi. Padahal jika mau jujur, konvensi rakyat itu sesungguhnya sebuah keniscayaan di saat rakyat sudah mulai lesu dan jenuh terhadap ulah elit-elit parpol yang gemar berbuat busuk dan kotor yang bisa merusak negara, seperti korupsi dan lain sebagainya.

Olehnya itu, Muis menyebutkan, bahwa hanya parpol koruplah yang merasa terganggu dan tidak senang dengan kemunculan konvensi rakyat itu. “Kita kembali kepada pengibaratan air. Bahwa dibanding dengan air yang dihasilkan dari proses parpol, maka saya lebih percaya dan meyakini air yang dihasilkan dari proses konvensi rakyat itu adalah benar-benar bersih dan berkualitas karena berasal dari sumbernya. Dengan kata lain, yakni menghasilkan capres yang berasal langsung dari rakyat,” jelas Muis.

Muis juga mengaku menyayangkan pernyataan seorang elit parpol seperti Marzuki Alie yang sempat menanggapi sinis konvensi rakyat. Yakni seperti dikutip  kompas.com, Marzuki Alie mengatakan, konvensi ini (konvensi rakyat) diperkirakan tidak akan mampu menarik minat parpol untuk memboyong calon presiden terkuat dari konvensi ini.

“Saya malah menduga perkiraan Marzuki Alie itu adalah suatu bukti kekuatiran selaku kader sekaligus sebagai salah satu peserta konvensi capres partai demokrat (PD) karena mulai merasa tersaingi. Sehingga, saya bisa menilai justru konvensi PD lah yang tidak berhasil menarik minat rakyat,” katanya.

Sayang sekali, lanjut Muis, jika ada sejumlah parpol yang memandang miring kehadiran Komite Konvensi Capres yang dilakukan langsung oleh rakyat. Tetapi, katanya, itu menandakan bahwa sepertinya parpol yang bersangkutan tidaklah peduli dengan aspirasi murni dari bawah (rakyat) karena  hanya mementingkan kelompoknya saja, dan enggan melakukan perubahan.

“Tapi saya tak ingin mempermasalahkan statement dangkal dari segelintir elit parpol yang tidak senang dengan konvensi rakyat itu. Sebab saya yakin, capres-capres alternatif yang dilahirkan dari hasil kerja komite konvensi rakyat itu juga nantinya tidak akan mungkin diajukan atau diusulkan kepada parpol-parpol yang dinilai korup,” katanya.

Dan menurut Muis, kalau pun para capres alternatif yang dihasilkan dari proses konvensi rakyat itu tidak diterima oleh parpol, tentunya itu tidak akan dipaksakan oleh komite, tetapi itu sudah pasti menyakiti hati rakyat.

Sehingga, lanjut Muis, jika penolakan parpol itu terjadi, maka pihaknya yakin Pemilu 2014 tidak akan membawa perubahan yang mendasar selain hanya menghabiskan anggaran pelaksanaan Pemilu yang tidak sedikit. “Yaa... ujung-ujungnya tetap hanya berpeluang melahirkan pemimpin hasil rekayasa parpol korup, yang nantinya selama kepemimpinannya tetap menambah banyak masalah, seperti kemiskinan, penguasaan SDA oleh asing yang semakin leluasa, dan terutama masalah korupsi yang akan semakin merajalela," pungkas Muis yang kini juga aktif selaku Ketua Forum Gerakan Barisan Rakyat Anti Korupsi (For-GeBRAK) ini.

Sehingga itu, Muis mengaku sangat setuju dengan syarat khusus yang diungkapkan oleh KH. Salahuddin Wahid selaku Ketua Komite Konvensi Rakyat, yakni melarang individu untuk masuk mendaftarkan diri karena sedang tersangkut proses hukum atau yang patut diduga terindikasi pernah melakukan kejahatan, terutama tindak pidana korupsi.

“Tentunya  yang bisa mendaftar adalah orang-orang yang clean dari persoalan hukum,” lontar penggagas  sekaligus Ketua Komite Konvensi Capres Rakyat, Salahuddin Wahid, di Gedung DPR,  Senayan, Jakarya, Senin (18/11). Seperti dilansir rmol.co.(map/ira)

Sabtu, 16 November 2013

Konvensi Rakyat: “Suara Algojo Vs Suara Rakyat”

Kategori: Opini*

[RR1online]:
INDONESIA saat ini adalah negara yang memiliki wajah demokrasi paling buruk. Banyak perlawanan dan penolakan rakyat yang terjadi terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, ternyata mampu dikalahkan oleh segelintir orang (elit) yang sedang duduk di DPR. Misalnya, kebijakan harga BBM yang tetap dinaikkan. Di kala itu, suara rakyat berhasil dimentahkan. Dan rakyat pun pasrah…?!

Indonesia saat ini juga adalah negara yang memiliki postur keuangan dan ekonomi yang sangat lemah dan lemas. Utang negara yang terus bertambah, defisit keuangan yang terus minus, harga barang kebutuhan pangan rakyat melambung tinggi akibat harga BBM dan “kecanduan” impor. Hingga membuat rakyat pun tak bisa berbuat banyak karena makin terhimpit dengan beban ekonomi yang amat berat.

Dalam kondisi seperti itu, tentu saja rakyat mustahil dapat berkembang dan sejahtera sebagaimana yang dijanjikan sebelumnya oleh sang penguasa saat kampanye. Ke mana larinya utang negara yang begitu besar…?? Ke mana menguap keuangan negara yang defisit itu…?? Dan merembes ke mana retribusi dan pajak-pajak dari rakyat…???

Lalu di saat rakyat melakukan protes dan menuntut keadilan, juga ketika para buruh menuntut kenaikan upah, pemerintah dan elit malah mengatai mereka: “Gila dan mengada-ngada”. Sungguh sebuah sikap yang sangat menciderai hati rakyat yang telah memberinya amanah sebagai penguasa/pemerintah di negeri ini. Bukannya mencari solusi, malah membuat rakyat makin stres dan kembali pasrah.

Jika tak suka diprotes, jika tak merasa nyaman dituntut, jangan mau jadi pemimpin..!!! Dan jika tak mampu mengurus dan memperbaiki nasib rakyat, dan jika hanya ingin memperkaya diri sendiri, maka tak usahlah jadi pemimpin…jadi pengusaha aja!!! Sebab, apalah gunanya jadi pemimpin jika hanya menjadi beban dan masalah bagi rakyat…??? Dan apalah artinya jadi pemimpin apabila kelak hanya akan menjerumuskan diri sendiri ke jurang kenistaan, di dunia dan bahkan di akhirat…???

Betapa hebatnya pemimpin kita saat ini dalam meninggikan dan menguatkan kehendak partai politiknya, namun mematahkan kehendak rakyat dengan memajukan suatu alasan sebagai “tameng”, yakni harus berdasar aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang inilah yang sering dijadikan “algojo” untuk mematahkan kehendak rakyat, sekaligus menjadikannya sebagai dewa buat mereka (penguasa dan elit) sendiri.Jika tak sesuai dengan undang-undang, maka tak ada jalan untuk memaksakan kehendak. Lalu rakyat pun kembali pasrah.

Mengapa rakyat selalu di posisi pasrah? Sebab, banyak peraturan dan undang-undang yang menjadi produk dari orang-orang parpol yang duduk di DPR itu adalah merupakan aturan yang hanya lebih tajam ke bawah tetapi sangat tumpul ke atas. Lalu apakah ini patut dihargai sebagai prestasi dari pemimpin kita? Dan beginikah wajah demokrasi di negeri ini yang gemar mengoyak-ngoyak hati rakyat?

Hanya orang bodoh dan idiot yang ingin terus diam serta tertunduk ketika tahu pemerintah juga aparat kerap melanggar dan menabrak aturan yang dibuatnya sendiri. Dan hanya pengkhianat bangsa yang ingin tetap mendukung dan memilih partai politik yang gemar melakukan korupsi dan perampokan uang rakyat dari negara.

Sehingga itu, jangan tunda-tunda lagi, dan jangan lagi termakan bujuk rayu dari para elit parpol korup yang berwajah malaikat tetapi sesungguhnya berhati iblis.

Saatnya kita sebagai rakyat bangkit menjadi agen PEMBAHARUAN untuk PERUBAHAN, yakni dengan tetap berjuang mengembalikan kekuatan serta kedaulatan negara yang benar-benar dari rakyat dan untuk rakyat pula…!!!

Namun ingatlah..!!! PERUBAHAN bukanlah milik kaum pemimpi (yang senang bermimpi) tanpa berusaha. Meski memang, segala sesuatu di jagat alam ini sudah diatur oleh Tuhan, namun Tuhan membenci manusia yang hanya senang bermimpi dan pasrah dalam doa terhadap keadaan sulit yang melilit.

Sebuah perubahan tidak akan pernah jatuh dari langit begitu saja. Jadi, jangan pernah menunggu perubahan dapat terjadi kepada kaum di negeri ini hanya dengan melalui doa berpasrah tanpa diikuti dengan usaha.

Bagi manusia beragama, makna doa pada dasarnya adalah sebuah usaha, dan usaha adalah sebuah doa. Kedua-duanya harus berjalan seiring dan searah. Jika hanya salah satunya yang berjalan, maka dipastikan akan mengalami kepincangan, sehingga sangat sulit melangkah apalagi berlari untuk memasuki gapura perubahan yang penuh kemuliaan.

Dari prolog di atas, sebagai salah satu agen perubahan (yang kini sedang berada di luar parpol), saya tentunya berharap agar rakyat jangan lagi mau diam apalagi tertunduk dan pasrah (fatalis) terhadap fatamorgana yang kerap disuguhkan oleh para parpol korup.

Terlebih menjelang Pemilu Pilpres 2014 seperti saat ini, sangat banyak agen parpol korup yang “bergentayangan”. Yakni, mendekati rakyat dengan menghambur 1001 janji dan iming-iming 1000% hingga 2000% akan ditepati oleh mereka (parpol), baik itu melalui anjangsana maupun anjangsini, baik berupa blusukan langsung maupun dengan telusukan hingga ke kamar tidur yang dapat disaksikan melalui TV (seperti iklan dan sebagainya).

Sadarilah, bahwa semua yang mereka lakukan saat ini adalah tak lain hanya ingin menarik simpatik rakyat, yakni agar bisa terpilih (menang) pada Pemilu atau pun untuk berkuasa kembali demi kepentingan dan kepuasan kelompok mereka saja.

Rakyat jangan pernah takut apalagi takluk dengan desakan dan bujukan dari parpol yang terbukti korup. Tolak dan lawan..!!! Karena masih ada beberapa tokoh nasional dan banyak LSM anti-korupsi yang siap sedia setiap saat berjuang bersama rakyat untuk tetap melawan parpol korup sebagai musuh bersama kita, dan semua itu adalah demi mewujudkan perubahan.

Sebagai gambaran, bahwa saat ini selain para parpol yang sibuk berkonsolidasi dan berkonvensi dalam mendirikan bangunan kekuasaannya, para tokoh nasional non-parpol pun kini sedang giat menyusun fondasi perubahan dengan melakukan gerakan yang sama, yakni KONVENSI RAKYAT untuk mencari Capres 2014 ideal yang benar-benar lahir dari kandungan ibu Pertiwi (rakyat), bukan dari “perut gendut” parpol.

Konvensi rakyat yang digelar oleh sejumlah tokoh nasional yang berasal dari kalangan rohaniawan, budayawan, akademisi, praktisi hukum dan PERS, tokoh masyarakat serta tokoh perempuan itu adalah merupakan “Gerakan Moral menuju Perubahan” yang patut kita dukung. Sebab, kegiatan dan gerakan seperti itulah sesungguhnya yang tepat disebut demokrasi.

Saya tak tahu, apakah kita benar-benar menyadari bahwa betapa amat memprihatinkannya kondisi negeri kita saat ini? Ketika rakyat kita sedang mengalami himpitan ekonomi yang dahsyat. Akibat karena kondisi tersebut, mereka tak sedikit hingga terpaksa melakukan kriminalitas, bahkan bunuh diri dan lain sebagainya.

Namun di saat bersamaan, para koruptor malah semakin tumbuh dengan suburnya, seakan memang koruptor dipelihara oleh negara. Kalau pun ada yang berhasil tertangkap, mungkin itu cuma kelalaian individu koruptornya saja yang tak hati-hati karena terlalu serakah.

Dan ketika pemerintah “gemar membiarkan” sumber kekayaan alam kita disedot dan dikuasai oleh negara asing, yang di saat bersamaan bangsa (rakyat) kita justru tak sedikit harus terpaksa meninggalkan istri/suami, anak-anak, dan keluarga mereka, bahkan harus mempertaruhkan nyawa hanya demi mengais rezeki di negeri orang sebagai TKI.

Apakah rakyat harus selalu pasrah dengan kondisi seperti itu? Tidak! Karena hal-hal memilukan seperti itulah di antaranya yang memotivasi sejumlah tokoh nasional untuk menggelar Konvensi Rakyat. Kesempatan kita salah satunya untuk mengubah negeri ini terletak di ajang Pemilu 2014.

Untuk menuju ke Pemilu 2014 itu, maka kita harus aktif mendukung kegiatan yang berasal dari rakyat, bukan dari parpol korup. Segeralah kita mendukung sejumlah tokoh nasional itu, yang memiliki tekad yang sama dengan tekad kita. Yaitu mencari pemimpin (pasangan Capres) yang benar-benar mampu meMERDEKAkan negara ini dari SEGALA BENTUK CENGKERAMAN PENJAJAJAH yang mengakibatkan bangsa kita menjadi tetap miskin dan terbelakang.

Sehingga sekali lagi, “audisi” mencari capres 2014 melalui konvensi rakyat ini sangat patut kita dukung. Sebab, hanya dengan melalui konvensi seperti inilah demokrasi bisa benar-benar hidup dan berfungsi. Yakni suara rakyat betul-betul dihargai sebagai “suara Tuhan (Vox populi, vox dei) ” pemilik kedaulatan dan kekuasaan awal dalam sebuah negara yang berdemokrasi.

Persoalan utama yang dihadapi konvensi rakyat ini adalah memang terletak pada undang-undang yang berlaku hanya mengizinkan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebagai pihak yang berhak memgusulkan pasangan capres.

Namun, undang-undang macam itulah yang sepertinya memang sengaja diberlakukan agar yang bukan “warga parpol” TIDAK BERHAK dicalonkan sebagai pasangan capres, meski yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia yang sangat layak untuk maju sebagai capres.

Jika undang-undang seperti itu yang tetap dipertahankan, maka Indonesia tidak pantas disebut negara demokrasi. Mungkin memang lebih tepat jika dikatakan democrazy dan pada akhirnya menjadi betul-betul democrashing? Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Demokrasi adalah: “pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara”

Dari pengertian demokrasi tersebut menyiratkan sebuah penekanan tentang pentingnya “keadilan” dan “kemerdekaan” (lihat pembukaan UUD 1945) yang harus diimplementasi dalam persamaan hak dan kewajiban. Namun mengapa kemudian ada undang-undang yang seakan sengaja dilahirkan untuk dijadikan sebagai “algojo” guna memasung seseorang (di luar parpol) agar tak bisa menyalurkan haknya sebagai warga negara yang hidup di alam demokrasi…??? Sungguh sebuah demokrasi yang DISKRIMINATIF, yang mengundang orang bisa menjadi gila (democrazy-discriminatory).

Undang-undang yang diskriminatif seperti itu bisa saya sebut sebagai sebuah KRIMINALISASI POLITIK dalam negara yang menganut paham demokrasi. Ini sama halnya jika diibaratkan dengan sebuah negara monarki-absolut yang menghilangkan hak keturunan raja untuk kembali berkuasa.

Dan saksikan saja akibat dari kriminalisasi politik dalam negara yang menganut paham demokrasi tetapi sesungguhnya melakukan diskriminatif itu. Yakni, sungguh saat ini benar-benar terjadi kriminalitas (terutama korupsi), bukan…?

Mengapa??? Ya.. karena undang-undang yang mengandung unsur diskriminasi itu selain bertindak sebagai algojo seperti yang saya sebutkan di atas, juga di sisi lain bisa menjadi “dewa” yang bisa memuluskan masuknya seorang penjahat menjadi penguasa (Kepala negara dan atau kepala daerah). Sungguh sangat mengerikan..!?!?!?

Lalu akankah memang suara “Algojo (juga suara dewa) itu” bisa mengalahkan “suara rakyat (yang juga adalah suara Tuhan)..???

Izinkan saya melanjutkannya dengan sebuah puisi (hasil karya: Abdul Muis Syam) :

“ALGOJO dan DEWA PENGUASA DEMOKRASI”


Di benak Demokrasi itu berkata:
Wahai rakyatku yang optimis…,
Tetaplah menjadi budak di hadapan dewa-dewa koruptor itu
Sebab, perut dan lehermu telah disubsidi oleh penguasa itu
…yang di perutnya ada gurita belalai panjang penopang di kala miring
…yang bibir dan rambutnya selalu basah, namun hatinya lembek dan kering
…Karena istananya ada putri dan pelayan pembawa pundi yang hebring

Wahai rakyatku yang pesimis…,
Tetaplah menjadi tahanan bagi para algojo-algojo bayaran itu
Sebab, kaki dan tanganmu telah dipasung oleh parpol itu
…yang di genggamannya ada bilah pedang tajam di bawah, tapi tumpul di atas
…yang mata dan telinganya terbuka, namun hatinya ditutup oleh otoritas
…Karena mulut dan anunya telah disuap oleh sang raja popularitas

Wahai rakyatku yang optimis dan pesimis…,

Tetaplah mendengarkan curahan dan kicauan laguku
Menarilah bersama para Algojo dan Dewa-dewaku
Sebab, ada banyak citra yang akan ku tuangkan dalam bukuku
Meski sinar bintang kejora kelak menembus seluruh kegelapanku

———
Merdeka… dan Salam PERUBAHAN.

----------
*Sumber: Kompasiana

Kamis, 14 November 2013

Komentar Sejumlah Publik Tentang Konvensi Rakyat for Capres Ideal 2014




























[RR1online]:
SEPERTI yang telah diberitakan, bahwa sejumlah tokoh nasional yang terdiri unsur rohaniawan, budayawan, praktisi hukum, akademisi dan PERS menggagas diri membentuk sebuah komite, dan membuka ajang pencarian sosok ideal untuk diperjuangkan menjadi calon pemimpin buat negara dan bangsa tercinta ini melalui gelaran KONVENSI RAKYAT secara terbuka untuk UMUM.

Tahapan seleksinya berlangsung mulai 10 November -10 Desember 2013. Setelah itu Komite akan memilih enam peserta yang lolos seleksi akhir untuk mengikuti debat publik pada tanggal 15 Desember 2013 - 31 Januari 2014. Debat publik diselenggarakan di Medan, Balikpapan, Surabaya, Makassar, Bandung, dan Jakarta.

Ketua Komite tersebut adalah KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah), dibantu oleh para anggotanya masing-masing Adnan Buyung Nasution, Pendeta Natan Setiabudi, Jaya Suprana, Frans Magnis-Suseno, Ichlasul Amal, Aristides Katoppo, serta Rommy Fibri  selaku Sekretaris Komite.

“Memang yang bisa mencalonkan itu adalah parpol. Akan tetapi melalui konvensi rakyat untuk capres 2014 ini kita akan cari calon-calon terbaik dan setelah terpilih kita komunikasikan (usulkan) kepada parpol. Selain itu kita mendidik pemilih untuk jauh lebih cerdas melihat kandidat yang ada,” ungkap Gus Solah seraya mengaku tak mencemaskan apabila parpol menolak usulan dari hasil Konvensi Rakyat tersebut.

Menengok ke belakang. Untuk pertama kalinya Konvensi Capres dilaksanakan jelang Pemilu 2004 silam oleh suatu parpol. Dari konvensi tersebut berhasil dimunculkan satu pasangan Capres, kemudian bertarung pada Pilpres 2004, dan hasilnya: KALAH.

Tetapi sekali lagi, pada 2004 silam tersebut adalah konvensi Capres yang dilakukan oleh parpol. Lalu bagaimana dengan Konvensi Capres yang dilakukan oleh Komite yang berasal dari rakyat (non-parpol) melalui Konvensi Rakyat? Dan bagaimana pula tanggapan publik menilai Konvensi Rakyat yang boleh dikata menyerupai sistem perekrutan penyanyi potensial, misalnya Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indonesia (AFI), atau Kontes Dangdut Indonesia (KDI), dan lain sebagainya?

Dari seluruh masyarakat yang sempat ditemui dan dihubungi secara langsung oleh Majalah Perubahan (Media Bentor Grup), terdapat sejumlah lainnya yang memberikan komentarnya dengan cukup menarik, di antaranya yang dikatakan oleh Andi Dalle (Pensiunan PNS asal Kota Makassar). Yakni, Konvensi Rakyat bukan untuk melawan parpol, tapi untuk membantu parpol mewujudkan Perubahan.

Berikut komentar-komentar tersebut (secara berurutan sesuai susunan foto seperti di atas) :

1. Aswal (43 tahun), Sopir Taksi, Kota Makassar:
“Saya kira Konvensi Rakyat lebih bagus, karena pesertanya bisa diajukan dari kalangan mana saja secara umum. Heheheee... termasuk saya berarti boleh to... ? Dan pasti hasilnya juga saya kira bisa lebih berkualitas.”

2. Thomas (52 tahun), Tukang Jahit-taylor, Kota Manado:
“Kedua-duanya sebetulnya bagus kalau dilaksanakan dengan baik. Tapi sekarang nama parpol banyak yang jadi jelek, makanya kalau mau jujur ya konvensi rakyat itu yang lebih baik. Karena rata-rata kalau dari parpol kebanyakan yang sudah tidak murni”

3. Herry Irianto (50 tahun), Pengusaha, Batama-Kepulauan Riau:
“Negara kita yang punya kedaulatan penuh itu adalah rakyat. Jadi jika ada konvensi rakyat untuk mencari dan menyaring figur untuk diperjuangkan lolos maju sebagai pasangan capres, maka itu tak ada salahnya. Kan negara kita negara demokrasi. Jangan salahkan demokrasinya, tapi salahkan sistemnya yang punya undang-undang tidak mencerminkan demokrasi. Lucu kan..??? Tapi saya mendukung konvensi rakyat. Maju terus aja... Biar rakyat selanjutnya yang menentukan.”

4. Dullah (55 tahun), Petani sawah, Gorontalo:
“Sayang sekali saya cuma petani kecil, bukan elit atau politikus. Kalau saya elit atau politikus, maka saya yang paling terdepan untuk berusaha meloloskan aspirasi rakyat, karena parpol itu kan cuma satu kelompok. Di mana-mana orang yang hanya mementingkan kelompoknya saja adalah hasilnya sulit dinikmati rakyat. Jadi saya setuju dengan konvensi rakyat.”

5. Ono (42 tahun), Staf Koperasi, Gorontalo:
“Capres dari Konvensi parpol itu sudah pasti ebih banyak fulusnya tapi pikirannya belum tentu mulus. Capres dari Konvensi rakyat besar kemungkinan juga banyak fulusnya tapi pikirannya masih lebih mulus. Capres dari konvensi parpol juga pasti lebih memikirkan dan mendahulukan kepentingan parpolnya, dan urusan dan juga tuntutan nasib rakyat cenderung dinomorduakan. Buktinya soal BBM, meski rakyat menolak, presiden tetap kasih naik harganya. Sekarang banyak rakyat jadi susah.”

6. Ody (32 tahun), Pengemudi Bentor, Gorontalo:
“Orang seperti kami ini tidak artinya. Suara kami selalu tidak dengar karena presiden sekarang ini juga sangat kesulitan atau mungkin karena tidak mampu lagi mengurus rakyatnya, atau mungkin juga lebih banyak mengurus partainya. Kami sangat senang kalau konvensi rakyat ini bisa munculkan orang-orang yang lebih ahli membangun negara ini, terutama mampu karena memang ahli memperbaiki ekonomi kami yang selalu saja tetap seperti ini karena kebutuhan hidup makin mahal”

7. Anton (57 tahun), Kelompok Tani dan Nelayan, Gorontalo:
“Rakyat kita selama ini terlalu gampang dibujuk dengan materi dari parpol ketika dekat-dekat waktu Pemilu atau Pilpres. Begitu diberi bantuan atau apa saja yang sifatnya materi, rakyat kita langsung terbius, padahal mereka tau kalau parpol yang memberi bantuan itu hanya minta untuk didukung dan dipilih. Tapi rakyat tak bisa disalahkan karena parpol umumnya juga lebih memilih orang yang punya modal yang menggunung untuk dijadikan pasangan capres. Saya harap rakyat dan parpol bisa sadar bahwa negara ini perlu dibangun dan dibesarkan untuk kepentingan seluruh umat. Semoga komite Konvensi Rakyat bersama rakyat bisa mengajak parpol-parpol untuk saling bahu-membahu menjadi negara yang kuat. Amin”

8. Azis Taba (55 tahun), Wirausaha, Papua Barat:
“Capres dari konvensi rakyat sudah pasti memang terhalang oleh undang-undang. Tapi kalau Indonesia mau berubah, maka memang harus memberi ruang kepada seluruh warga negara yang punya potensi untuk maju bertarung dalam pilpres, bukan cuma muncul dari parpol, karena kita kan bangsa yang berdemokrasi. Jadi mungkin ada baiknya kalau undang-undang yang membantasi hak warga negara itu direvisi atau diubah dan mungkin dikembali seperti semula saja.”

9. Andi Dalle (71 tahun), Pensiunan PNS, Kota Makassar:
“Yang harus dilihat dari konvensi rakyat itu, adalah pertama niatnya dan tujuannya sangat baik, tentu seperti itu pula tujuan yang sering dibeberkan oleh semua parpol. Parpol kan juga punya tujuan yang baik? Cuma sekarang sulit mencari parpol yang bersih, begitu juga dengan figur untuk dijadikan sebagai capres, terlalu banyak yang terinfeksi penyakit korupsi dan masalah-masalah moral lainnya.  Tapi terlepas dari itu, konvensi rakyat ini sangat jelas sekali tidak dan bukan untuk melawan parpol. Bahkan saya lihat Konvensi Rakyat itu bisa membantu para parpol untuk mencapai tujuan baiknya pula. Jadi sebetulnya ini sederhana saja masalahnya, yang penting parpol mau bersama-sama serius bekerjasama membangun negeri ini, maka konvensi rakyat akan sanggup memberikan calon-calon yang berkualitas dan bermutu untuk kemajuan kita bersama.”

10. Ikha (21 tahun), Mahasiswi-Gorontalo:
“Saya dan teman-teman di kampus sudah muak dengar partai politik. Kalau perlu bubarkan saja parpol yang punya gejala yang sangat jelas berprilaku buruk karena korup. Parpol hanya dijamin oleh undang-undang, tetapi sekarang tidak ada jaminan dari rakyat untuk parpol-parpol itu kembali dipilih. Jadi kalau tidak mau mengikuti kehendak rakyat, maka biar saja bubar dengan sendirinya karena rakyat sudah meninggalkannya.”

11. Fanbry (26 tahun), Wiraswasta-Jakarta:
“Bagusnya sih memang calon yang bisa direkrut dari non-parpol, artinya langsung dari rakyat seperti dengan konvensi rakyat itu. Kalau dari parpol yang munculin, yaa.... saya ga milih lagi deh...??!! Soalnya terlalu banyak sih kelakuan parpol yang bikin rakyat sakit hati. Coba lihat aja, iya kan...?! Capek dech.. bicara parpol.  Katanya demokrasi, tapi undang-undang seakan hanya dibuat untuk kepentingan parpol saja, bukan kepentingan rakyat. Ja yaa.. tentu pasti saya dukung konvensi rakyat.”

12. Kasma (63 tahun), Wiraswasta, Gorontalo:
“Saudara-saudara saya banyak yang masuk parpol, tapi saya tidak berminat sama sekali. Karena saya lihat orang-orang parpol itu lebih banyak yang cuma bicaranya besar tapi hasilnya untuk rakyat sangat kecil. Jadi sama dengan bohong. Kalau seperti konvensi capres itu, saya pikir memang lebih bagus kalau calonnya nanti itu disaring dari bawah, bukan dari dalam parpol. Dan saya pikir, konvensi rakyat itu jauh lebih bagus kalau ada parpol mulai dari sekarang yang berani mengatakan hasil konvensi rakyat pasti akan dimasukkan dalam calon mereka.”

13. Isra (22 tahun), Wiraswasta-Jakarta:
“Kalau capresnya itu-itu lagi, sudahlah..! Dan kalau parpolnya adalah parpol kotor, yaa... stop aja..!!! Ga usah main konvensi, rugi-rugi duit aja. Mending duitnya dipake usaha untuk ciptakan lapangan kerja sambil berbenah diri untuk tinggalin kelakuan yang bobrok. Tapi kalau soal konvensi rakyat saya belum tahu siapa-siapa pesertanya, tapi siapa pun pesertanya, saya kira kegiatannya bagus, dan harusnya konvensi rakyat ini bisa dibantu dan didukung langsung oleh parpol-parpol, minimal disosialisasikan kepada kader-kader kali aja ada yang berminat. Pokoknya konvensi rakyat bagus deh karena itu pasti usulannya langsung dari rakyat.”

14. Tiwy (18 tahun) Siswi SMA, Gorontalo:
“Belum terlalu paham. Karena saya belum pernah memilih, nanti tahun depan ini baru saya bisa ikut memilih di Pemilu 2014. Tapi kalau cuman disuruh pilih saja, saya pilih calon dari konvensi rakyat, bukan dari parpol. Soalnya di berita-berita di tivi banyak orang-orang parpol yang sudah tersangka korupsi. Kasihan juga ya..? Itu pasti karena cepat-cepat mau jadi orang kaya. Heheheee.... saya juga mau jadi orang kaya, tapi bukan dengan cara korupsi. Biar susah, yang penting tidak menyusahkan orang.”

Demikian sejumlah komentar yang berhasil dirangkum, semoga bisa menjadi bahan renungan buat kita semua.>map/ams

Salam Perubahan.

Selasa, 12 November 2013

Prof. Nelson: Konvensi Capres Rakyat adalah Demokrasi Kualitatif


Gorontalo, [RR1online]:
Konvensi Capres Rakyat itu memberi ruang kepada rakyat untuk beraspirasi yang benar tanpa ada rekayasa atau tanpa kepentingan latar-belakang. “Saya kira itu pikiran positif dari saya yang pertama,” ujar Tokoh terkemuka pada dunia Pendidikan di Gorontalo, Prof. DR. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd kepada Majalah Perubahan (Media Bentor Group), Selasa (12/11/2013).

Selanjutnya yang kedua, kata Prof. Nelson, Konvensi Capres Rakyat itu juga memberi ruang bagi calon-calon yang lain bisa muncul di luar dari yang sedang dimunculkan oleh pihak parpol. “Kemudian yang ketiga, bagi saya ini pembelajaran dan pencerahan politik bagi masyarakat bagaimana memilih yang benar sesuai dengan kepentingan negara dan kepentingan bangsa ini,” ujar mantan Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG) itu.

Konvensi capres yang dilakukan oleh parpol selama ini, katanya, tidak transparan. Misalnya mengenai kriterianya dan sebagianya, itu tidak dilakukan secara langsung (terbuka) kepada masyarakat. “Padahal yang namanya konvensi itu membuka kesempatan seluas-luasnya kepada orang yang punya potensi, dan diproses sesuai dengan kriteria yang tentunya kita bangun demi kepentingan rakyat (bukan kepentingan parpol),” ujar Ketua Presidium Nasional Pembentukan Provinsi Gorontalo ini

Menurut Guru Besar UNG kelahiran 24 Desember 1962 ini, Konvensi Capres yang selama ini dilakukan oleh parpol itu tidak terbuka dan tidak memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat agar bisa menghidupkan demokrasi di negeri ini. Padahal, kemungkinan-kemungkinan potensi negara (SDM) kita saat ini begitu besar dan tersebar di mana-mana,” katanya.

Prof. Nelson yang kini aktif sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMG) ini juga mengungkapkan, bahwa pengalaman di mana-mana orang yang tidak punya partai itu masuk menjadi calon amat sulit. Karena harus ada mahar, harus bayar dan sebagainya. Padahal kalau dilihat ada orang yang bisa terterima menjadi pemimpin terbaik, tetapi karena terkendala oleh mahar maka orang itu pun tak diterima oleh parpol.

Dan jika itu yang selalu terjadi, menurut Prof. Nelson, maka apa yang selama ini dikatakan bahwa parpol itu tidak mencetak pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas, itu dengan sendirinya terbukti. Terlebih ketika yang dihasilkan oleh Komite Konvensi Capres Rakyat itu ditolak oleh parpol.

Prof. Nelson mengatakan, demokrasi hari ini lebih banyak mengarah kepada demokrasi kuantitatif  yang hanya mengandalkan perolehan suara, tapi tidak pada demokrasi yang kualitatif. Sehingga ini perlu dipadukan antara Demokrasi kuantitatif dan kualitatif agar mampu benar-benar melahirkan pemimpin yang diharapkan oleh bangsa ini.

Kualitatif, katanya, seperti saat ini yang sedang dilakukan oleh Komite Konvensi Capres Rakyat, yang tentunya akan menekankan pada dua cara, yakni kriteria dan proses yang sesuai dengan keinginan rakyat. Sehingga boleh diyakini, bahwa dari sini (Konvensi Rakyat) tentunya akan melahirkan calon presiden yang betul-betul terbaik menurut rakyat, bukan terbaik menurut parpol tertentu.

Padahal, menurut Prof. Nelson, Konvensi Capres yang dilakukan saat ini oleh rakyat (Konvensi Rakyat), itu adalah mengarah kepada Demokrasi Kualitatif. Sehingga hasil Konvensi Rakyat ini akan sangat dahsyat jika dimasukkan (dipadukan) ke dalam parpol untuk mendukung Demokrasi Kuantitatif-nya.

Artinya, apabila calon-calon yang dihasilkan dari proses demokrasi kualitatif (Konvensi Rakyat) ini berhasil dimasukkan ke dalam parpol untuk diusung, maka menurut Prof Nelson, itu akan menjadi dahsyat karena akan berpadu kekuatan demokrasi kualitatif dengan kekuatan demokrasi kuantitatif (yang berhubungan dengan perolehan suara).

“Tetapi kalau memang parpol itu tidak mau menerima (hasil Konvensi Rakyat), maka menurut saya, itu menunjukkan bahwa parpol tersebut lebih mementingkan dirinya, bukan bangsa. Dan yang kedua, dia (parpol) tidak menjadi media mencetak pemimpin sesuai selera rakyat, tetapi hanya menurut selera parpol saja,” katanya.

Prof Nelson yang kini sebagai Ketua PGRI Provinsi Gorontalo ini juga menyatakan dukungannya kepada para tokoh nasional yang kini bertindak sebagai komite Konvensi Rakyat. Sebab, menurutnya, Konvensi Rakyat ini adalah sebuah langkah perubahan dan sekaligus merupakan proses pencerahan dan pendewasaan buat rakyat dan juga kepada parpol. Jika parpol masih saja begini-begitu (mengecewakan rakyat), maka akan ditinggal oleh rakyat.>map/ams

Senin, 11 November 2013

Kadir (Pensiunan Guru): Konvensi Capres Rakyat Lebih Demokratis


Gorontalo, [RR1online]:
DIBANDING Konvensi Capres Parpol, maka Konvensi Capres Rakyat sangat jauh lebih baik. Artinya, Konvensi Rakyat lebih demokratis dan diyakini hasilnya adalah lebih murni daripada Konvensi Capres yang dilakukan oleh internal Partai Politik (parpol).

Hal tersebut dikemukakan seorang Tokoh Pendidik sekaligus pensiunan PNS (guru) di Kota Gorontalo, Abd. Kadir Moha, kepada Majalah Perubahan (Majalah Bentor Grup), Senin (11/11/2013).

Guru Kadir (sapaan akrab Abd. Kadir Moha) yang ditemui di kediamannya di bilangan Kompleks Perumnas Pulubala-Kota Gorontalo itu menyatakan dukungannya secara tegas atas diselenggarakannya Konvensi Rakyat tersebut. “Karena Konvensi Rakyat lebih demokratis dan aspiratif, maka jujur lebih mendukung Konvensi Rakyat daripada Konvensi yang dilakukan oleh parpol,” kata Guru Kadir.

Guru Kadir yang pernah mengabdi sebagai seorang guru yang mengajar di SD di daerah-daerah pedalaman selama 42 tahun itu juga menuturkan, bahwa rakyat sesungguhnya telah sangat lama mendambakan terjadinya perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Era Reformasi, katanya,  hingga kini hanya lebih memperlihatkan keangkuhan para parpol memamerkan pemasungan demokrasi rakyat. Seperti Konvensi Capres oleh para parpol, itu hanya lebih mencerminkan selera para elit parpol  tersebut. “Rakyat hanya seakan dipaksa memilih figur dalam setiap Pilpres, karena figur tersebut telah ditentukan oleh parpol itu sendiri, bukan dari rakyat. Jadi tentu saja hal itu bukan demokrasi,” lontarnya.

Guru Kadir memberi contoh yang banyak terjadi selama ini. Misalnya, dalam ajang pilkada (Pilgub maupun Pilbup), pasangan kandidat banyak yang tiba-tiba diputuskan atau ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tanpa diketahui oleh kader hingga paling bawah.

“Saya banyak menemui keluhan dari para kader parpol di tingkat desa dan dusun. Mereka banyak yang kecewa ketika calon kepala daerah tiba-tiba ditetapkan tanpa sepengetahuan atau tidak melibatkan para kader di desa dan dusun itu. Dan menurut saya itu adalah bukti bahwa banyak elit parpol yang egois, arogan dan seenaknya menentukan calon pemimpin menurut keinginan sendiri,” ungkapnya.


Guru Kadir mengaku saat masih aktif sebagai PNS saja kerap menentang kebijakan dari institusinya apabila dinilainya bersifat egois, arogan atau angkuh. Dan sifat-sifat itulah, katanya, yang sesungguhnya yang tercermin dalam setiap konvensi capres yang dilakukan oleh para parpol.

Menurut Guru Kadir, parpol memang ada kader-kader sebagai anggota. Tetapi, katanya, parpol belum tentu ada massa riil.  “Sejauh ini parpol hanya mengadandalkan kekuatan materiil berupa uang yang berlimpah. Dan dari kekuatan materiil itulah mereka (parpol) gunakan untuk ‘membeli” (mendapatkan) massa riil. Dan cara-cara seperti inilah yang merusak negeri kita,” jelasnya.

Jadi sekali lagi, kata Guru Kadir, Konvensi Capres Rakyat patut didukung oleh seluruh rakyat yang ingin menghendaki perubahan sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat. “Saya pikir Konvensi Rakyat itu wajib kita dukung bersama. Sebab itu adalah salah satu upaya yang sangat jelas arahnya untuk sebuah perubahan yang mendasar,” katanya.

Dan satu hal lagi, lanjut Guru Kadir, selain bersifat demokratis Konvensi Rakyat itu juga nampaknya sangat menghargai posisi rakyat yang di tangannya terletak seluruh kedaulatan di negeri ini. “Dan Konvensi Capres Rakyat inilah sesungguhnya Divisi Utama, karena dari kompetisi ini akan melahirkan calon presiden yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat,” pungkasnya.

Sebelumnya, sebagaimana diketahui bahwa sejumlah tokoh nasional, tokoh masyarakat, rohaniawan, akademisi, tokoh perempuan dan budayawan membuka “lowongan” untuk jadi Capres melalui KONVENSI RAKYAT. Dan ini bermaksud untuk memunculkan calon presiden yang ideal 2014 sesuai selera rakyat. Peserta Konvensi Rakyat ini terbuka untuk umum yang dimulai dari tanggal 10 Nopember hingga 10 Desember 2013.

Konvensi Rakyat tersebut diketuai KH. Salahuddin Wahid dan dibantu oleh anggota komite lainnya yakni, Adnan Buyung Nasution, Natan Setiabudi, Jaya Suprana, Frans Magnis-Suseno, Ichlasul Amal, Aristides Katoppo, serta jurnalis senior Rommy Fibri yang ditunjuk selaku Sekretaris Komite Konvensi Rakyat.>map-ams

Konvensi Capres Rakyat: “Divisi Utama untuk Parpol (Rakyat) Utama”


Kategori: Opini*
[RR1online]:
RAKYAT adalah merupakan unsur terpenting negara, karena rakyatlah yang pertama kali berkehendak melahirkan serta membentuk Negara. Dan ketika negara telah lahir, berdiri dan berjalan, maka rakyat pula yang menjaga dan menegakkannya.

Sehingga tak salah jika pada Bab III tentang KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, pasal 6A ayat 1 UUD 1945, berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”

Dari sini, mari kita sadari dan cermati ayat tersebut. Bahwa begitu sangat jelas menegaskan tentang kekuasaan negara itu sesungguhnya terletak di tangan rakyat. Bukan di tangan partai politik (parpol)!!! Sebab lazimnya, parpol hanyalah “kendaraan” yang digunakan untuk MENGHANTARKAN KEINGINAN RAKYAT HINGGA KE TUJUAN. Sehingganya, parpol tak elok menyelenggarakan Konvensi Calon Presiden (Capres).

Menurut saya, jika parpol tetap merasa diri sebagai pihak yang lebih berhak memunculkan capres dengan melakukan (SISTEM) konvensi ataupun penunjukkan langsung secara internal parpol, maka di situlah sesungguhnya kesalahan awal kita yang fatal dalam bernegara.

Dan kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan geliat sejumlah lembaga survei yang memunculkan berbagai hasil survei yang berbeda-beda, seakan menurut selera sendiri-sendiri, mungkin dari “pihak pemesannya”. Sebab, hasilnya menampilkan jagoan masing-masing, entah mana yang benar. Orang Makassar, Mamuju, Kendari, dan Palu bilang: “Baku tindis-ki hasilnya, tidak tau mana-mi yang benar belaa..?!?” Manado dan Gorontalo bilang: ”Depe hasil (hasilnya) baku tindis, so nin-tau tu mana ley yang benar..?!?”

Perlu digaris-bawahi, bahwa selama Pemilu, rakyat kita TIDAKLAH pernah salah memilih. Jika kemudian yang berhasil menjadi “pemenang” ternyata tidak becus menunaikan tugasnya, maka jangan katakan rakyat yang salah memilih. Sebab ingat, dari awal rakyat hanya DISUGUHKAN pilihan yang TELAH ditentukan oleh parpol, baik itu melalui konvensi ataupun dengan penunjukan langsung secara internal parpol.

Satu-satunya kesalahan rakyat kita dalam hal ini adalah kerap menonjolkan “kelompok”, ras serta kesukuan masing-masing (yang penonjolan ini juga seakan menjadi “sistem” yang dianut oleh rakyat kita selama ini). Padahal PERUBAHAN begitu sangat.. dan sangatlah dekat dapat segera diraih oleh rakyat, yakni ketika rakyat mampu mengimplementasi kesadaran dalam menjatuhkan pilihannya itu adalah semata untuk kepentingan bersama sebagai rakyat Indonesia, bukan kepentingan sebagai individu atau kelompok maupun parpol tertentu.

Sehingganya, kita harus segera merubah sistem itu (sistem yang diterapkan oleh parpol, dan sistem yang dianut oleh rakyat) !!! Sebab sudah sangat tidak sinkron secara keseluruhan dengan keinginan rakyat dan kehendak kemajuan negara kita saat ini. Saya bisa menyebutnya sistem itu adalah “sistem jahiliah (kebodohan)” yang jika dipertahankan dan tetap dilaksanakan, maka sampai kapan pun kesewenang-wenangan tetap berlangsung, yang kemudian hanya memuluskan terjadinya pembentukan DINASTI dari Pemilu ke Pemilu oleh parpol tertentu.

Jika rakyat betul-betul mau mewujudkan PERUBAHAN sebagaimana yang didambakan selama ini, maka “sistem jahiliah” yang saya maksud di atas tersebut harus benar-benar segera kita tinggalkan dan kita lenyapkan.

Sebab sekali lagi, kapasitas dan keberadaan parpol dalam ruang lingkup pemilihan presiden (pilpres) adalah hanya sebagai “KENDARAAN” yang berfungsi MENGHANTARKAN KEHENDAK (HAK KEDAULATAN) RAKYAT HINGGA KE TUJUAN YANG DIINGINKAN RAKYAT. Jika demikian, maka parpol tak pantas merebut HAK RAKYAT tersebut dengan melakukan Konvensi Capres secara internal parpol.

Sebab, menurut pemikiran saya, Konvensi Capres Parpol itu sesungguhnya adalah sebuah upaya “kreativitas“ dari “pemilik” parpol dalam memodifikasi ataupun “meng-update” selera politiknya agar dapat meraih kekuasaan dari tangan rakyat untuk kepentingan besar kelompoknya (parpolnya) saja. Sehingga yang dihasilkan dari Konvensi Capres Parpol ini adalah rekayasa. Dalam dunia pertandingan sepakbola, ini hanya patut disebut divisi II, bukan divisi utama yang menjadi pilihan dan keutamaan rakyat. Ini pengertian halusnya.

Sedangkan pengertian kasarnya: bahwa Konvensi Capres Parpol itu boleh dikata adalah hanya sebagai “akal-akalan” dari “para pemilik” parpol demi meraih atau mempertahan kekuasaan politik (atau dinasti pemerintahan) saja.

Jika tak mau disebut “akal-akalan”, maka segera lakukan perubahan atau amandemen kembali UUD 1945 terutama pasal 6A ayat 2, menjadi (misalnya): “Sebelum pelaksanaan pemilihan umum, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum adalah merupakan hasil Konvensi calon Presiden dan Wakil Presiden yang murni berasal dari rakyat, atau non-partai politik yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Rohaniawan, Akademisi, Budayawan, Tokoh Pengusaha, dan Tokoh Buruh”

Jika kurang-lebih seperti tersebut di atas yang menjadi bunyi pasal 6A ayat 2 itu, maka rakyat akan benar-benar ibarat disuguhkan sebuah “kompetisi DIVISI UTAMA” yang sangat ketat bersaing namun sportif, –yang pada akhirnya ini diyakini akan memunculkan “pemenang” yang benar-benar bermutu tinggi, yakni pemimpin yang memiliki denyut jantung, hati dan pikiran lebih besar kepada kepentingan rakyat. Sebab parpol dalam hal ini hanyalah berfungsi sebagai pengusung atau penghantar. Ibarat pertandingan sepakbola, parpol adalah nama klub kesebelasannya saja.

Namun pemikiran yang saya kemukakan di atas ternyata sebentar lagi akan diselenggarakan oleh sejumlah tokoh yang berasal dari kalangan rohaniawan, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, dan budayawan yang peduli dan prihatin terhadap nasib bangsa di masa depan. Yakni dengan menggelar KONVENSI RAKYAT untuk mencari calon presiden yang pantas dan mampu memimpin Indonesia sesuai selera rakyat, bukan selera parpol.

Pembukaan atau Peluncuran Penyelenggaraan Konvensi Rakyat Capres-RI 2014 tersebut pun telah digelar bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan, Minggu siang tadi (10 Nopember 2013), di Gedung Joang 45, Jakarta.

“Konvensi Rakyat diharapkan bisa melahirkan pemimpin sejati yang benar-benar mengerti apsirasi rakyat, serta bisa membawa negara ini menuju negara sejahtera,” ujar Ketua Komite Konvensi Rakyat KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) dalam sebuah press-release.

Selain Gus Solah, tokoh lain yang ikut berkiprah dalam Konvensi Rakyat adalah Adnan Buyung Nasution, Natan Setiabudi, Jaya Suprana, Frans Magnis-Suseno, Ichlasul Amal, Aristides Katoppo, serta jurnalis senior Rommy Fibri yang ditunjuk selaku Sekretaris Komite Konvensi Rakyat.

Kekayaan alam Indonesia yang begitu berlimpah, menurut Gus Solah, tak bisa dinikmati rakyat karena dihisap kekuatan asing. Pihak asing tak hanya menekan dan mengendalikan pemerintah melalui ketergantungan utang luar negeri, melainkan juga menyusupkan mental-mental korupsi pada anak bangsa. Sudah saatnya Indonesia menggeliat melawan ketertindasan, neokolonialisme, dan neoliberalisme.

“Menyadari pentingnya pergantian kepemimpinan nasional pada momentum Pemilu Presiden 2014, maka masyarakat merindukan munculnya tokoh-tokoh bangsa berkualitas yang patut dijadikan perspektif baru sebagai calon presiden 2014,” tutur Gus Solah dalam acara peluncuran Konvensi Rakyat Capres RI 2014, Minggu siang (10 Nopember 2013). Seperti dilansir kompas.com.

Dikatakannya, Konvensi Rakyat ini terbuka untuk seluruh WNI. Peserta bisa mengajukan diri sendiri atau diajukan partai politik atau komunitas atau organisasi kemasyarakatan. Peserta juga wajib mengikuti tahapan konvensi yang terdiri atas seleksi administratif dan debat publik.

Komite menentukan tahapan seleksi berlangsung pada 10 November-10 Desember 2013. Pada tahap ini tidak ada batasan mengenai jumlah pendaftar. Selanjutnya, Komite Konvensi akan memilih enam peserta yang lolos seleksi akhir untuk mengikuti debat publik yang digelar 15 Desember 2013 hingga 31 Januari 2014. Debat Publik akan diselenggarakan sebanyak enam kali di lokasi yang berbeda, yaitu di Medan, Balik Papan, Surabaya, Makassar, Bandung dan Jakarta.

Gus Solah mengungkapkan, peserta Konvensi Rakyat yang dinyatakan berada di peringkat teratas akan diumumkan dan dinegosiasikan dengan partai politik untuk mendapatkan dukungan suara sesuai persyaratan pencalonan presiden.

Tentu saja, menurut saya, jika dibandingkan dengan Konvensi Capres PARPOL, maka Konvensi Capres RAKYAT inilah yang diyakini akan lebih dapat menghasilkan calon-calon pemimpin terbaik bangsa. Sebab, mekanisme sangat sehat. Sehingga hasil Konvensi Rakyat yang akan disodorkan secara “moral” (bukan secara politik semata) kepada seluruh parpol itu pun tentunya akan sehat pula. Persoalan mau atau tidaknya parpol menerima hasil Konvensi Rakyat itu tentulah menjadi hak masing-masing parpol: “Mau mengusung Capres (hasil Konvensi Rakyat itu), atau mau TETAP MEMASUNG DEMOKRASI di negeri ini…??!!??”

Dan menurut saya, langkah sejumlah tokoh rakyat dalam melakukan Konvensi Capres Rakyat ini sangatlah patut dan pantas didukung. Sebab, konvensi ini benar-benar akan menghasilkan “pemain” Divisi Utama (terbaik dan bermutu). Dan hanya parpol utama (terbaik) yang akan menampung para pemain Divisi Utama dari hasil Konvensi Capres Rakyat tersebut. Pun, hanya cara seperti inilah parpol dapat disebut akan berhasil melahirkan pemimpin utama untuk keutamaan seluruh rakyat. Semoga!!!
--------------
*Sumber: Kompasiana

Rabu, 06 November 2013

Sejak Dulu, Hanya Capres Ini yang Giat Perjuangkan Nasib Buruh


Kategori: Opini*
[RR1online]:
SUNGGUH kasihan buruh. Ini adalah pandangan objektif saya. Saya bukan berasal dari keluarga buruh. Ayah saya adalah seorang pensiunan PNS, masa kerja terakhirnya hanya sebagai salah seorang staf di salah satu kelurahan.

Namun kondisi ekonomi keluarga PNS di masa dulu masih sangat serba sulit. Dan kondisi itulah yang membuat saya beberapa kali juga telah pernah merasakan menjadi seorang “buruh” demi “menambal biaya sekolah dan kuliah saya dulu.

Sekarang, kondisi PNS sangat jauh berbeda. Saat ini PNS sudah sangat banyak yang sejahtera, masih golongan rendah dan dengan eselon di bawah saja sudah ada yang mampu memiliki mobil. Paling tidak, PNS sekarang itu sudah banyak yang mengantongi handphone mewah, layaknya seorang direktur utama.

Bandingkan dengan nasib dan kondisi kesejahteraan para buruh saat ini. Para buruh banting tulang, siang dan malam memeras keringat, dan setiap tetesan keringatnya adalah untuk menyuburkan ekonomi di negeri ini. Sehingganya, menurut saya, buruh sebetulnya adalah “fondasi” ekonomi negara. Jika tidak ada buruh, maka negara pun pasti hancur. Sayangnya, Pemerintah tidak menyadari itu.

Pemerintah hanya tahunya menaikkan harga BBM, yang membuat harga-harga kebutuhan pokok berupa pangan dan sandang masyarakat juga ikut mendaki. Akibatnya, masyarakat kita yang didominasi oleh kaum buruh itu pun sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka.

Di sisi lain, Pemerintah juga hanya sibuk dengan kegemarannya menambah utang negara, yang boleh jadi adalah hanya untuk  “menyuapi” konglomerat dan para PNS serta para pejabat korup. Sebab logikanya, jika utang semakin banyak, maka kesejahteraan masyarakat (termasuk buruh) tentu sangat berpeluang untuk diwujudkan. Tetapi kenyataannya, buruh malah semakin menderita dan melarat.

Menangani masalah buruh saja, Pemerintah nampaknya sudah sangat kesulitan, belum masalah lainnya. Sehingga, wajar saja jika masalah-masalah lainnya pun sangat sulit diatasi Pemerintah.

Untung saja ada tokoh nasonal yang juga sekaligus sebagai sosok ekonom senior, Rizal Ramli, yang juga tak pernah henti-hentinya mendampingi dan ikut memperjuang nasib para buruh sejak dulu. Sehingga tak berlebihan kiranya jika dikatakan, bahwa sejauh ini belum ada Capres 2014 yang serius memperjuangkan nasib buruh selain Rizal Ramli.

Kalau pun ada sosok capres lain yang ingin berjuang untuk membela dan memperjuangkan nasib buruh, maka saya yakin para buruh lah yang justru menolaknya. Sebab sejauh ini, semua Capres yang menonjol saat ini adalah berasal dari kalangan parpol, dan hanya Rizal Ramli yang bukan dan tidak berasal dari parpol tertentu. Itu pula salah satu alasannya mengapa buruh lebih adem menjadikan Rizal Ramli sebagai tokoh pejuang buruh di tanah air.

Singkat kata, para buruh tak ingin ditunggangi secara politik. Sehingga, setiap tuntutan para buruh saat ini tak bisa sama sekali disebut sebagai gerakan yang berbau politik.

Saat ini, Rizal Ramli dalam memperjuangkan nasib buruh adalah murni atas nama idealisme dalam menegakkan demokrasi yang berkeadilan untuk kesejahteraan para buruh, –bukan atas nama parpor tertentu.

Selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan  (ARuP) dan juga atas nama Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) versi Munas Kadin Oktober 2013, Rizal Ramli pun mengecam para pengusaha yang kerap menyalahkan serta memaki para buruh.

Dan Rizal Ramli mengaku tak gentar sedikit pun akan melawan dan berhadapan dengan pengusaha kelas atas bersama penguasa jika tidak segera memperbaiki nasib para buruh sebagaimana yang diharapkan.

Sebagai Ketua Umum Kadin, Rizal Ramli juga menegaskan, bahwa pihaknya akan bahu membahu bersama para buruh untuk membangun perekonomian Indonesia lebih baik.

“Ada (pengusaha) yang sengaja menyalahkan buruh. Itu tidak fair karena buruh minta upah tinggi karena harga makanan tinggi dan transportasi juga tinggi,” ujar Rizal di Hotel Manhattan, Jakarta, Selasa (22/10/2013). Seperti dilansir Sindonews.

“Saya enggak respect dengan pengusaha macam itu tapi bersama-sama dengan buruh dan komponen bangsa lainnya membangun Indonesia,” sambungnya.

Rizal menambahkan, selain buruh, Kadin juga akan merangkul komponen bangsa lainnya mulai dari petani, nelayan, hingga para guru untuk mendengarkan keluhan mereka.

Rizal Ramli yang dinobatkan sebagai Capres paling ideal 2014 oleh LPI ini memang tidak asal bicara. Ia mengajak seluruh pihak yang berkompeten (termasuk pemerintah) agar dapat segera menuntaskan masalah ini. “Kemarin ada pertemuan di Istora Senayan, 30 ribu buruh, petani, dan guru hadir. Mari kita selesaikan permasalahan mereka baik-baik dan bukan dengan mengembangkan masalah dan konfrontatif,” tegasnya.

Mantan Menko Perekonomian ini pun menawarkan gagasan bahwa harga komoditas pangan dapat menurun drastis yang menjadi salah satu persoalan saat ini, asalkan pemerintah mampu mengganti sistem kartel dan kuota dalam praktek impor. Dan ini, katanya, harus serius untuk dibicarakan lalu dilaksanakan.

“Harus ramai-ramai ke pemerintah untuk fokus ini, sistem kuota dan kartel dihapuskan, maka harga gula akan turun 80 persen, daging turun 100 persen,” kata Rizal di Hotel Manhattan, Jakarta, Selasa (22/10/2013). Seperti dikutip okezone.

Dengan menghapuskan sistem tersebut dan menggantikannya dengan sistem tarif, dia menilai akan mampu mempermudah para buruh menjalani hidupnya yang cukup berat saat ini. Dengan demikian, para buruh tidak akan melakukan aksi demo untuk memperjuangkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP).

“Kadin akan bersikap merangkul seluruh komponen. Karena kalau suasana konfrontatif, akan meluas, kita akan duduk bersama. Harga makanan yang naik terlalu tinggi, transportasi publik tidak ada, makanya mereka meminta UMP naik,” pungkasnya.
----------
*Sumber: Kompasiana

Rizal Ramli Serukan Pemuda Bersatu Kuatkan Demokrasi

Kategori: Opini*
[RR1online]:
BICARA tentang apa yang harus segera dilakukan pemuda saat ini, maka Rizal Ramli tentu adalah orang yang sangat tepat untuk mengungkapkannya. Sebab, menengok ke belakang, Rizal Ramli tak dipungkiri memiliki historis dan kisah nyata sebagai sosok aktivis pemuda dan mahasiswa yang sudah pernah melakoni banyak perjuangan, terutama di era 77-78.

Berbagai pergerakan Rizal Ramli sebagai pemuda ketika itu pun seluruhnya mengarah kepada penegakan demokrasi di negara ini. Tak tanggung-tanggung, Rizal Ramli bahkan berani dengan secara tegas mendesak penguasa rezim Orde Baru agar turun dari jabatannya. Meski seiring karena pergerakan tersebut, Rizal Ramli pun kemudian dipaksa mendekam di balik jeruji besi.

Singkat kata, Rizal Ramli ketika itu berhasil memanfaatkan usia mudanya dengan menunjukkan “produktivitasnya” sebagai sosok pemuda  melalui perjuangan dan pergerakan demokrasi untuk kebaikan negeri ini.

Sehingga itu, menurut saya, dengan melihat era historis yang telah dicatat Rizal Ramli sebagai pemuda sejak dahulu kala itu, maka tak berlebihan jika Rizal Ramli disebut pula sebagai sosok Pejuang idealis Demokrasi Indonesia.

Apalagi, sampai pada 28 Oktober 2013 (Hari Sumpah Pemuda) kemarin dan hingga detik ini pun, pergerakan dan perjuangan dalam menghidupkan dan memperkuat demokrasi tetap saja giat diperlihatkan dan digerakkan Rizal Ramli.

Sebab menurut saya, Rizal Ramli sangat memahami betul, bahwa hanya dengan menghidupakan dan menegakkan demokrasi secara bebas bertanggung-jawab, Indonesia ini pun diyakini bisa tampil sebagai negara yang benar-benar berdaulat.

Sehingga itu, tak keliru jika Rizal Ramli dalam orasi politiknya sebagai pembicara pada Kongres Pro-Demokrasi (Prodem) ke-V menyerukan kepada para pemuda saat ini, bahwa jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, maka hal terbaik yang harus dilakukan pemuda adalah menyebarkan kebebasan (yang bertanggung-jawab) dan demokrasi.

“Tugas anak muda saat ini yang terpenting adalah bagaimana memastikan bahwa demokrasi harus menjadikan rakyat sejahtera, “ teriak Rizal Ramli saat berorasi dalam Kongres Pro Demokrasi (Prodem) ke-V di Gedung Indonesia Menggugat Bandung, Minggu (27/10/2013) lalu. Seperti dikutip seruu.com.

Dalam Kongres Prodem tersebut, secara khusus Rizal Ramli juga mengingatkan bahwa aktivis prodem jangan sampai terjebak dengan bloking politik di pemilu 2014. Dan secara umum Rizal Ramli mengajak pula seluruh Pemuda untuk memperkuat Demokrasi dengan membangun sistim yang lebih baik.

“Bersatulah pemuda. Jangan ada bloking politik. Ada kerjaan yang lebih penting yaitu membangun sistim yang lebih berkeadilan untuk kesejahteran rakyat, “ teriak tegas Rizal Ramli di hadapan ribuan aktivis Prodem dalam Kongres tersebut.

Bicara mengenai sistim demokrasi, Sebelumnya Rizal Ramli yang dinobatkan sebagai Capres paling ideal versi LPI ini pun pernah menawarkan dua konsep pembenahan sistem demokrasi yang saat ini di dominasi politik uang dalam setiap pelaksanaan pemilu dan pemilukada.

“Ada dua hal untuk membenahi sistem ini, yaitu reformasi pembiayaan partai politik dan menghapuskan hak recall parpol terhadap kadernya di parlemen,” kata Rizal di Jakarta, Jumat (11/10). Seperti dilansir republika.co.id.

Menurutnya, reformasi pembiayaan parpol diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 5 triliun. Tujuannya, untuk menghindari korupsi lebih besar yang dilakukan partai.

“Namun apabila sudah diberikan dana sebesar Rp 5 triliun namun tetap masih korupsi maka partai itu harus dibubarkan,” ujarnya.

Menurut Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini, langkah tersebut adalah dimaksudkan agar partai benar-benar bisa fokus mencetak kader-kader yang baik untuk menjadi anggota legislatif. Selain itu, ia juga menegaskan agar Partai hendaknya bisa benar-benar selektif menyeleksi kader yang akan direkrut, tidak asal main caplok.

Hal ini sangat diharapkan, sebab Rizal Ramli sangat prihatin dengan kondisi saat ini yang tiap tahunnya Rp 60 triliun uang negara dicuri dalam pembahasan anggaran.

Selanjutnya, Rizal mengimbau agar ketua partai politik seharusnya tidak memiliki hak recall terhadap kadernya yang berada di parlemen. Karena  hal itu akan dapat membuat seorang anggota DPR-nya menjadi tidak berani menyuarakan aspirasi masyarakat. Padahal aspirasi masyarakat itulah sebenarnya sebagai wujud dari demokrasi kita.

Mengenai hal tersebut, Rizal Ramli memberi pencerahan, bahwa sesungguhnya masyarakatlah yang memiliki hak recall, bukan ketua parpol. Karena, menurut Rizal Ramli, bukan hal mustahil banyak kader partai yang mungkin kritis namun jika ketua partainya berselingkuh dengan kekuasaan maka mereka (kader) pun enggan bersuara lantang untuk memperjuangkan nasib konstituennya.

Dia menekankan pemilu dan pemilukada yang korup hanya menghasilkan pemimpin yang tidak amanah dan tidak kompeten. Sebaliknya, menurut Rizal Ramli, pemilu yang jujur, adil, dan tanpa politik uang maka akan diyakini membuat demokrasi lebih bermanfaat untuk kebaikan rakyat.
-------
*Sumber: Kompasiana