[RR1online]:
SISTEM pemilu kita saat ini sangat sulit memberi suasana tenteram dan damai, apalagi berharap hasil yang berkualitas dari pelaksanaan pemilu itu sendiri. Sungguhlah sangat jauh panggang dari api.
Hal ini bisa dirasakan ketika mendekati pelaksanaan Pemilu seperti sekarang ini, suasananya sudah mulai mencekam. Perhatikan saja, bangsa (rakyat) kita selalu dipaksa untuk menjadi bangsa penghujat, egois, arogan, brutal, bahkan anarkis dan lain sebagainya demi mendukung serta membela parpol atau figur masing-masing.
Pemandangan caci-maki dan baku hujat dengan saling melontarkan kata-kata (bahkan gambar) yang tidak senonoh sangat banyak bisa kita saksikan di jejaring sosial (facebook, twitter, dll), dan bahkan di media warga (citizen media) online (seperti di Kompasina, dsb) pun sangat mudah terjadi saling lempar cacian serba “kotor” melalui komentar yang kesemuanya justru dapat memunculkan permusuhan, yakni dengan tidak saling menghargai karena lebih membela figur atau jagoan masing-masing.
Dan sesungguhnya ini adalah salah satu bukti, bahwa negara ini telah gagal membangun sistem demokrasi yang berkualitas. Sebab, masing-masing pihak, yakni rakyat (terutama warga di dunia maya) tanpa sadar hanya “dilatih” untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Padahal semestinya rakyat bisa “siuman” untuk segera bergotong-royong mencari pemimpin ideal sesuai selera rakyat, bukan selera parpol. Untuk ini, Konvensi Rakyat adalah pilihan yang sangat tepat untuk ditempuh.
Rakyat hendaknya segera sadar, bahwa sistem Pemilu yang diterapkan di negara kita selama ini sesungguh hanyalah menjadi biang kekacauan dan kehancuran negeri ini.
Sebab, sistem ini telah banyak (sengaja) dipraktekkan secara curang oleh para parpol demi meraih kepuasan dan kekuasaan. Yakni dengan memanfaatkan dan menyiasati celah-celah yang terdapat di dalam sistem pemilu itu sendiri. Modusnya bisa macam-macam, tetapi jurusnya cuma satu, yakni uang. Dengan “jurus” (uang) inilah hati rakyat jelata bisa jadi buta, dan bahkan mampu merontokkan rasio kalangan intelek.
Betapa banyak figur yang berhasil terpilih menjadi pemimpin di negeri ini karena hanya unggul di satu sisi, yakni mampu membagi-bagikan uang kepada rakyat di saat sebelum hari puncak Pemilu (Pemilukada) tiba, misalnya sebesar Rp.100 ribu hingga Rp.300 ribu.
Di kala itu, rakyat sesungguhnya tak sadar, bahwa uang yang diterimanya itu sebenarnya adalah hanya sebagai alat untuk menutupi kekurangan (sifat jahat) dari calon yang bersangkutan. Sebab banyak yang sudah terbukti, bahwa setelah calon yang bersangkutan berhasil terpilih sebagai penguasa, maka rakyat tidak mendapatkan apa-apa lagi.
Kondisi seperti ini disebut Rizal Ramli sebagai demokrasi “pra-bayar”. “Demokrasi kita ini istilah saya demokrasi pra bayar. Ingin punya pulsa bayar dulu setelah itu tidak dapat apa-apa lagi. Pemimpin dipilih karena bayar 100 ribu, setelah terpilih mereka korupsi dan tidak berbuat apa-apa untuk rakyat. Setelah terpilih mereka bilang mau ngapain lagi, kan sudah bayar,” ucap tokoh oposisi nasional DR. Rizal Ramli saat tampil sebagai pembicara pada seminar: ‘Martabat dan Kemandirian Bangsa untuk Kesejahteraan Rakyat’, di Auditorium lantai 8 Universitas Jaya Baya, Jakarta, Rabu (20/11).
SISTEM pemilu kita saat ini sangat sulit memberi suasana tenteram dan damai, apalagi berharap hasil yang berkualitas dari pelaksanaan pemilu itu sendiri. Sungguhlah sangat jauh panggang dari api.
Hal ini bisa dirasakan ketika mendekati pelaksanaan Pemilu seperti sekarang ini, suasananya sudah mulai mencekam. Perhatikan saja, bangsa (rakyat) kita selalu dipaksa untuk menjadi bangsa penghujat, egois, arogan, brutal, bahkan anarkis dan lain sebagainya demi mendukung serta membela parpol atau figur masing-masing.
Pemandangan caci-maki dan baku hujat dengan saling melontarkan kata-kata (bahkan gambar) yang tidak senonoh sangat banyak bisa kita saksikan di jejaring sosial (facebook, twitter, dll), dan bahkan di media warga (citizen media) online (seperti di Kompasina, dsb) pun sangat mudah terjadi saling lempar cacian serba “kotor” melalui komentar yang kesemuanya justru dapat memunculkan permusuhan, yakni dengan tidak saling menghargai karena lebih membela figur atau jagoan masing-masing.
Dan sesungguhnya ini adalah salah satu bukti, bahwa negara ini telah gagal membangun sistem demokrasi yang berkualitas. Sebab, masing-masing pihak, yakni rakyat (terutama warga di dunia maya) tanpa sadar hanya “dilatih” untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Padahal semestinya rakyat bisa “siuman” untuk segera bergotong-royong mencari pemimpin ideal sesuai selera rakyat, bukan selera parpol. Untuk ini, Konvensi Rakyat adalah pilihan yang sangat tepat untuk ditempuh.
Rakyat hendaknya segera sadar, bahwa sistem Pemilu yang diterapkan di negara kita selama ini sesungguh hanyalah menjadi biang kekacauan dan kehancuran negeri ini.
Sebab, sistem ini telah banyak (sengaja) dipraktekkan secara curang oleh para parpol demi meraih kepuasan dan kekuasaan. Yakni dengan memanfaatkan dan menyiasati celah-celah yang terdapat di dalam sistem pemilu itu sendiri. Modusnya bisa macam-macam, tetapi jurusnya cuma satu, yakni uang. Dengan “jurus” (uang) inilah hati rakyat jelata bisa jadi buta, dan bahkan mampu merontokkan rasio kalangan intelek.
Betapa banyak figur yang berhasil terpilih menjadi pemimpin di negeri ini karena hanya unggul di satu sisi, yakni mampu membagi-bagikan uang kepada rakyat di saat sebelum hari puncak Pemilu (Pemilukada) tiba, misalnya sebesar Rp.100 ribu hingga Rp.300 ribu.
Di kala itu, rakyat sesungguhnya tak sadar, bahwa uang yang diterimanya itu sebenarnya adalah hanya sebagai alat untuk menutupi kekurangan (sifat jahat) dari calon yang bersangkutan. Sebab banyak yang sudah terbukti, bahwa setelah calon yang bersangkutan berhasil terpilih sebagai penguasa, maka rakyat tidak mendapatkan apa-apa lagi.
Kondisi seperti ini disebut Rizal Ramli sebagai demokrasi “pra-bayar”. “Demokrasi kita ini istilah saya demokrasi pra bayar. Ingin punya pulsa bayar dulu setelah itu tidak dapat apa-apa lagi. Pemimpin dipilih karena bayar 100 ribu, setelah terpilih mereka korupsi dan tidak berbuat apa-apa untuk rakyat. Setelah terpilih mereka bilang mau ngapain lagi, kan sudah bayar,” ucap tokoh oposisi nasional DR. Rizal Ramli saat tampil sebagai pembicara pada seminar: ‘Martabat dan Kemandirian Bangsa untuk Kesejahteraan Rakyat’, di Auditorium lantai 8 Universitas Jaya Baya, Jakarta, Rabu (20/11).
Olehnya itu, Rizal Ramli mengajak untuk pemilu mendatang agar dapat melaksanakan demokrasi pasca-bayar. Artinya, pilih pemimpin bukan karena sebelum hari H pemilu diberi uang Rp 100 ribu, tetapi karena pertimbangan-pertimbangan antara lain integritas dan kompetensi. Sebab, pemimpin yang dipilih karena alasan memiliki kualitas integritas yang tinggi, maka pemimpin tersebut otomatis akan berbuat untuk kepentingan rakyatnya, bukan untuk kebaikan dirinya sendiri dan kelompoknya.
Jadi, menurut Ketua Umum Kadin ini, rakyat harus bisa berdemokrasi pasca-bayar, bukan demokrasi pra-bayar. “Pilih pemimpin yang bagus, pemimpin yang amanah. Jangan berharap uang 100 ribu (ratusan ribu rupiah) dari calon pemimpin, karena setelah itu mereka korupsi dan tidak berbuat apa-apa,” seru Rizal Ramli, Menko perekonomian era Presiden Gus Dur.
Rakyat mungkin bisa saja menerima uangnya tetapi jangan pilih orangnya. Namun secara sederhana, menurut saya, ajakan Rizal Ramli ini tentunya adalah bermaksud agar rakyat bisa benar-benar memanfaatkan Pemilu 2014 sebagai momentum tepat untuk melakukan perubahan dengan tidak mudah tergiur dengan suapan uang. Karena, di saat Pemilu itulah perubahan bisa dilakukan oleh rakyat. Sehingganya, diharapkan agar rakyat tidak lagi salah memilih dan tergoda hanya karena melihat jumlah uang yang diberikannya.
Tetapi jika rakyat kemudian toh masih tetap terperdaya dengan jumlah sogokan dari pihak calon agar dapat dipilih, maka Pemilu 2014 hanya berlanjut kembali dengan janji dan harapan kegelapan serta malapetaka bangsa. Terlebih lagi jika pemenang Pemilunya adalah parpol korup, maka rakyat tak usah lagi berharap apa-apa sesudahnya. Mau ngapain lagi, kan sudah dibayar…??!!?>map/ams
Tidak ada komentar:
Posting Komentar