Minggu, 20 April 2014

Indonesia “Bejo” dan Hebat Jika Punya Pemimpin: Jokowi-Rizal Ramli


[RR1online]:
RAKYAT Indonesia kini sedang siap-siap melahirkan pasangan pemimpin melalui Pemilu Presiden (Pilpres) pada  Rabu (9 Juli 2014) mendatang.

Pemimpin seperti apakah gerangan yang mampu membuat Indonesia bisa menjadi negara "bejo" (beruntung, mujur, selamat) dan Hebat?

Jika pertanyaan di atas dihubungkan dengan kondisi tiga parpol (PDIP, Golkar, dan Gerindra) yang berhasil menduduki papan atas perolehan suara Pileg 9 April 2014 lalu, maka ketiganya pun sudah hampir memastikan akan mendapat tiket guna memajukan Capres mereka masing-masing untuk menjadi pemimpin Indonesia selanjutnya.

Namun berdasar perolehan suara Pileg tersebut dan sesuai hasil pengamatan banyak pihak, maka Capres dari PDIP (Jokowi) dinilai lebih memiliki peluang dan potensi besar untuk memenangkan suara pada Pilpres 9 Juli 2014 mendatang.

Tetapi meski begitu, kubu Jokowi (PDIP) hendaknya tidak serta-merta atau sesuka hati dalam memilih sosok cawapres yang akan dijadikan sebagai pendamping untuk dimajukan bertarung pada Pilpres 2014 ini. Sebab, rakyat (pemilih) pada Pemilu kali ini diyakini akan sangat ketat menghitung-hitung nilai kemampuan dari setiap capres berikut dengan cawapresnya.

Artinya, rakyat (sebagai pemilih) pada Pilpres 2014 ini diyakini tidaklah semata “meneropong” kemampuan capresnya saja, tetapi juga dipastikan akan sangat menimbang-nimbang nilai kredibilitas dan kompetensi yang menjadi cawapresnya.

Olehnya itu, PDIP dalam mencari dan menetapkan cawapres buat Jokowi sebaiknya tak perlu cemas, apalagi sampai “tersandera” dengan  hitung-hitungan “rumus koalisi bersyarat” (cawapres harus dari parpol koalisi) dengan maksud agar dapat memperbesar raihan suara pada Pilpres 2014 nanti. Sekali lagi itu tidak perlu! Santai saja, dan tak usah terlalu tegang!

Sebab, rumus-rumus koalisi pada Pemilu kali ini justeru bisa-bisa hanya menjerumuskan pasangan calon (capres dan cawapres) untuk tidak diminati oleh pemilih.

Sehingga itu, ada beberapa hal yang sangat perlu ditengok oleh PDIP sebagai pemenang Pileg untuk dijadikan pertimbangan yang jauh dari rasa galau, kuatir, dan cemas dalam menentukan cawapres yang ideal, tentu saja ideal menurut pandangan rakyat.

Beberapa hal yang perlu ditengok tersebut adalah di antaranya: bagaimana anjloknya suara Pileg yang diraih oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang disinyalir sebagai akibat “ulah” ketua umumnya yang “nekat” naik di panggung kampanye Gerindra, yang membuat publik politik pun menilai bahwa PPP dan Gerindra ternyata sudah  menjalin koalisi.

Juga dengan Hanura, yang jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan pasangan utuh (capres dan cawapres) secara lengkap dengan ditunjang dengan gerakan pencitraan yang luar biasa, yakni beriklan di berbagai media yang meski sudah diikuti penerapan langsung “bersentuhan” dengan rakyat secara gencar. Namun hasilnya? Silakan ditengok!

Atau silakan juga ditengok sebab-sebab sang partai penguasa Partai Demokrat (PD) harus mendapat “hukuman” dari rakyat dengan hanya berada di papan tengah dalam perolehan suara Pileg 9 April 2014 kemarin. Meski sebelumnya PD sudah merekrut dari berbagai kalangan untuk dijadikan kandidat capres dalam sebuah konvensi. Tapi hasilnya? Silakan ditengok sendiri!

Namun tak kalah pentingnya yang perlu ditengok sekaligus dicermatidan direnungi sebagai pertimbangan matang oleh semua parpol (utamanya PDIP), adalah angka Golput pada Pileg 2014 kali ini sangat tinggi jumlahnya, yakni sekitar 34 persen.

Dan semua itu bukanlah sebuah misteri yang belum jelas, tetapi adalah sebuah keniscayaan. Bahwa sesungguhnya pemilih (rakyat) sejauh ini sudah kehilangan kepercayaan terhadap para parpol. Alam pikir rakyat saat ini sudah berada di tingkat : “tidak butuh lagi dengan parpol, tetapi sangat butuh pemimpin pejuang kesejahteraan ekonomi yang bisa dilahirkan oleh parpol”.

Dan untung saja ada parpol yang “bejo” (beruntung dan patut untuk dipilih) karena masih dianggap sebagai parpol yang tidak ngotot “mengemis” jabatan (dalam kabinet) lantaran lebih memilih memosisikan diri sebagai parpol oposisi selama 10 tahun, yakni PDIP. Sampai itu kiranya yang menjadi salah satu alasan buat rakyat mengapa “moncong putih” harus dimenangkan dalam Pileg 2014.

Namun meski begitu, Pileg dan Pilpres adalah dua ajang yang berbeda. Sehingga PDIP tak mesti buru-buru berbangga hati, melainkan hendaknya harus tetap mawas diri. Sebab, rakyat (pemilih) masih harus menunggu munculnya sejumlah pasangan calon (capres dan cawapres) yang akan disodorkan oleh para parpol pengusung. Idealkah atau tidak buat rakyat? Dan di sinilah pertarungan yang sebenarnya.

Sehingga itu, apabila salah memilih cawapres, maka sangat memungkinkan tingkat elektabilitas dan Akseptabilitas Jokowi sebagai capres yang mendominasi “situasi” bisa-bisa malah akan melemah atau menjadi sulit untuk dipilih oleh rakyat.

Sebab, rakyat diyakini hanya akan memilih Jokowi secara utuh bersama cawapresnya apabila benar-benar dinilai sebagai pasangan calon pemimpin yang ideal dan mampu memenuhi serta mengatasi masalah-masalah yang menjadi persoalan rakyat selama ini, yakni masalah perbaikan dan penegakan kedaulatan ekonomi rakyat.

Hal ini sangat menjadi penting untuk menjadi perhatian bagi kubu Jokowi. Karena dari hasil pendekatan saya kepada masyarakat secara langsung di lapangan, baik ketika dulu masih aktif di dunia jurnalitik di berbagai media selama genap 20 tahun, maupun pada saat ini sebagai penulis dan pengamat politik serta selaku aktivis sosial menunjukkan, bahwa terdapat kecenderungan rakyat yang sangat tinggi hanya lebih menjatuhkan pilihannya kepada calon pemimpin (kepala daerah atau pun kepala negara) apabila sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka (rakyat), yakni untuk kepentingan perbaikan kesejahteraan ekonomi rakyat.

Masih dari hasil pendekatan langsung di lapangan dengan menggali masukan yang menjadi kepentingan rakyat ditemui, bahwa apabila rakyat disuruh memilih satu dari tiga pilihan pemimpin yang ahli, yakni masing-masing ahli di bidang: 1. Ekonomi; 2. Hukum; dan 3. Militer. Maka, rakyat tidak ragu-ragu untuk lebih memilih dan menjatuhkan pilihannya kepada pemimpin yang ahli ekonomi.

Alasannya? Bahwa, persoalan utama yang sangat mendasar bagi bangsa kita saat ini, tidak lain adalah masalah ekonomi. Sebab, ketidakmampuan pemimpin dalam menata dan membangun ekonomi bangsa, dipastikan akan menjadi pemicu timbulnya persoalan hukum dan kriminalitas di tengah-tengah masyarakat.

Banyak contoh peristiwa hukum dan kriminal yang serta-merta terjadi sebagai akibat dari buruknya penataan pembangunan ekonomi negara. Yakni di antaranya; tidak jarang ada anak yang tega membunuh orangtua kandungnya hanya karena sang orangtua tak mampu memenuhi permintaan anaknya, misalnya: minta uang jajan, minta dibelikan kendaraan, minta dibelikan pakaian, dsb; juga tak sedikit ibu tega menghabisi nyawa bocah atau bayinya lantaran tak berdaya memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya; dan juga sangat banyak TKI/TKW yang harus menjadi “babu” lalu terlibat masalah hukum di negeri orang karena sudah sangat sulit menambal hidup di negeri sendiri; dan lain peristiwa semacamnya yang dialami kaum/rakyat miskin sebagai akibat himpitan dan beratnya beban ekonomi.

Begitu pun dengan para pejabat bisa “tertarik” menjadi koruptor. Sebab, mereka punya banyak kesempatan “menyedot” uang rakyat  (negara) lantaran pemimpin tak pandai mengatur dan membaca ke mana sebaiknya “aliran  ekonomi” harus di arahkan. Contohnya, pemimpin harus bisa mengetahui mana yang bisa diberikan kepercayaan mengerjakan sebuah proyek dan mana yang tidak bisa dipercaya dalam mendatangkan kemaslahatan bagi banyak orang, yakni rakyat.

Sehingga itu, tidak salah jika Pemilu kali ini rakyat harus lebih ketat memilih pemimpin, yakni pemimpin baru yang ahli di bidang ekonomi. Sebab, bukankah memang selama ini Indonesia belum pernah melahirkan pemimpin (presiden atau wakil presiden) yang bergelar doktor ekonomi??? Olehnya itu, sudah saatnya Indonesia harus serius membenahi ekonominya dengan melahirkan pasangan sejoli (ideal dan cocok) yang saya sebut: “Bejo RI Hebat= Bersama Jokowi-Rizal Ramli Indonesia Hebat”.

Rizal Ramli adalah sosok fenomenal. Misalnya, untuk menjadi orang Jawa, ia harus “berkorban” dahulu kehilangan kedua orangtuanya. Atau dalam kata lain, untuk menjadi orang Jawa, Rizal Ramli di usianya jelang 7 tahun harus “memasuki pintu” penderitaan dulu sebagai anak yatim-piatu. Yakni, setelah kedua orangtuanya tiada, Rizal Ramli diasuh dan disekolahkan  hingga SMA oleh neneknya di Bogor. Lalu dilanjutkan dengan membanting tulang sendiri membiayai kuliahnya di ITB-Bandung, kemudian berhasil memperoleh beasiswa hingga sukses meraih gelar doktor di bidang ekonomi di Boston-University, AS.

Sehingganya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Rizal Ramli adalah termasuk orang “bejo” nan pandai karena selalu dituntun dan dilindungi langkahnya oleh Tuhan ke arah yang benar sejak dulu.

Termasuk ketika Rizal Ramli harus dipenjara oleh rezim Orba karena berjuang pro-rakyat dalam menegakkan ajaran Trisakti secara keras ketika masih mahasiswa ITB di rutan Sukamiskin (juga tempat Soekarno dipenjara). Kalau saja tak dilindungi Tuhan, maka Soeharto yang “sakit hati” saat itu tentulah tak butuh waktu lama untuk menghabisi nyawa Rizal Ramli. Dan boleh jadi, ada kejadian “tercecer” yang sulit dicatat oleh sejarah. Misalnya, Soeharto kala itu mungkin sengaja dibuat sibuk oleh Tuhan agar selalu “lupa” menembak Rizal Ramli. Bejo dan selamatlah dia hingga kini. Hehehee..!?!?

Dan di balik dari semua “kejadian penyelamatan” terhadap diri Rizal Ramli  mulai dari kesedihannya sebagai anak yatim-piatu hingga pada penderitaan dan penyiksaannya di balik jeruji di masa lampau tersebut, boleh jadi ada “rencana” terbaik dan mulia dari Tuhan buat bangsa ini.

Artinya, siapa yang mengira bocah yatim piatu ini masih bisa hidup serta selamat, dan bahkan bisa menjadi: Penasehat Ekonomi di Fraksi ABRI; Kabulog, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Komisaris Utama Semen Gresik (diberhentikan karena tampil di baris terdepan perjuangkan hak rakyat dalam aksi demo melawan kebijakan SBY menaikkan harga BBM-2008), dan kini sebagai salah satu anggota dewan Penasehat Ekonomi di badan dunia PBB; serta dipercaya sebagai Ketum Kadin.

Dan masih banyak lagi alasan riil, mengapa Jokowi sangat ideal diduetkan dengan Rizal Ramli pada Pilpres 2014 sebagai pasangan pemimpin yang amat dibutuhkan oleh Rakyat Indonesia dalam membenahi persoalan kedaulatan ekonomi bangsa dan negara ini. Bahkan pasangan “Bejo RI Hebat” ini sekaligus diyakini akan mampu “menebus” dugaan kesalahan Ibu Mega di masa lalu ketika menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-5.
















Dan sejauh ini, memang kriteria-kriteria yang dimunculkan oleh sejumlah internal PDIP semuanya condong mengarah kepada sosok Rizal Ramli. “Harus bisa bekerja sama dengan Pak Jokowi, memiliki komitmen yang sama dalam membangun sistem pemerintahan presidensil, siap menjalankan program pro-rakyat dan mampu mengimplementasikan Trisakti di bidang ekonomi, politik, dan pendidikan,” ujar Sekjen PDIP, Tjahyo Kumolo,  setelah menghadiri pertemuan tertutup di kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Selasa (15/4/2014).

Aria Bima selaku Wasekjen PDIP dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini-Jakarta Pusat, Minggu (13/4/2014)  juga pernah menggambarkan, bahwa cawapres ideal untuk Jokowi adalah yang punya karakter seperti Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Yakni, selain tegas, sosok cawapres itu juga harus memiliki platform kedaulatan pangan, energi, kedaulatan wilayah dan tentunya tidak pro neoliberal.

Bahkan Koordinator Jokowi Ahok Social Media Volunteer (Jasmev), Kartika Djoemadi, telah memberi “bocoran” sejumlah nama bakal Cawapres Jokowi yang kini sedang digodok di internal PDIP, yakni salah satunya Dr. Rizal Ramli sebagai kandidat Cawapres terkuat.

“Pak Jokowi merasa nyaman dengan Rizal Ramli. Satu visi dan pemikirannya jauh ke depan,” ungkap Kartika. Seperti dilansir Tribun, Kamis (17/4/2014).


















Rizal Ramli, ujar Kartika, adalah salah satu figur yang bisa melengkapi Jokowi yang egaliter. “Rizal Ramli seperti Ahok, berani dan cepat mengambil keputusan. Rizal Ramli juga tegas berani memarahi bawahan, karakter Rizal dengan Ahok, sama,” ungkap Kartika.

Dari sisi politis, lanjut Kartika, Rizal Ramli juga dekat dengan kalangan Nahdliyin, dan terbuka dengan semua partai politik, termasuk Partai Gerindra.

Kartika bahkan mengakui, Rizal Ramli juga memiliki basis massa kuat, termasuk dari kalangan aktivis. Rizal mampu masuk ke semua kalangan, termasuk kalangan pengusaha dan militer. “Rizal Ramli termasuk yang berhasil saat berada di eksekutif di pemerintahan Gus Dur,” pungkas Kartika.

Menyimak berbagai pandangan dan kriteria maupun bocoran sejumlah nama kandidat Cawapres buat Jokowi, sekali lagi sebagai saran, hendaknya PDIP tak perlu terjebak dengan hitung-hitungan koalisi parpol “bersyarat” yang harus menekankan cawapres berasal dari parpol, pun jangan sampai terbius dengan pengaruh dari kelompok-kelompok tertentu yang dinilai memiliki “kekuatan” tertentu pula . Sebab, hitung-hitungan seperti ini lebih cenderung “mengandung” dan melahirkan gesekan kepentingan dari kelompok tersebut. Yang pada akhirnya, justru akan “menjerumuskan” PDIP berada pada risiko-risiko tinggi, baik pra maupun pasca Pilpres 2014.

Tanpa bermaksud menyepelekan kandidat cawapres lainnya, dengan memilih Rizal Ramli sebagai sosok yang tak pernah dibesarkan oleh parpol atau kelompok kekuatan mana pun untuk di jadikan Cawapres pendamping Jokowi, maka dengan begitu, PDIP sesungguhnya telah berkoalisi dengan rakyat. Semoga dengan “Bejo RI Hebat” menjadi kenyataan untuk Indonesia yang digdaya, terutama unggul dan tangguh di bidang ekonomi. Sebab, jika ekonomi Indonesia masih terus lemah dan miskin, maka negara-negara luar tidak hanya gemar memandang enteng Indonesia, tetapi juga negara-negara asing akan selalu bisa dengan mudah menguasai negeri kita.

SALAM PERUBAHAN 2014….!!!!
-----------------

Sumber: KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar