Kamis, 01 Mei 2014

(Jasmerah) Soekarno Didampingi Seorang Ekonom: Bukan Politisi, Militer, Pakar Hukum, Apalagi Saudagar

[RR1online]:
DALAM prosesnya, banyak pertimbangan yang tentu sudah dipikirkan Megawati Soekarnoputri hingga harus memilih Jokowi sebagai Capres PDI-P. Mungkin salah satunya adalah karena Jokowi dinilai banyak kesamaan dengan Presiden Soekarno, pun perilakunya kepada rakyat mencerminkan ajaran Trisakti. Kira-kira begitulah..?!

Artinya, alam berpikir Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P pada proses penetapan Jokowi sebagai Capres adalah diwarnai dengan nuansa semangat “sejarah”. Yakni, bertekad membangkitkan dan menghidupkan kembali ajaran Trisakti Soekarno.

Tekad itu pun kemudian dinyatakan dalam penegasan (sebagai kriteria) dalam mencari dan memilih pasangan calon (Capres dan Cawapres) yang akan dimajukan pada Pilpres 2014 mendatang.

Penegasan kriteria tersebut adalah, PDI-Perjuangan menegaskan bahwa capres dan cawapres merupakan satu kesatuan kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional yang diusung merupakan kepemimpinan Trisakti yang memiliki komitmen besar terhadap Pancasila, UUD 1945, kebhinekaan Indonesia dan NKRI serta mendedikasikan hidupnya untuk rakyat.

Jika tekad dan penegasan tersebut yang menjadi prinsip atau dasar dalam memunculkan satu pasang calon Capres-Cawapres dari PDI-P, maka Megawati Soekarnoputri hendaknya “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jasmerah)”.

Artinya, Ibu Mega secara totalitas harus melihat “sejarah” lahirnya ajaran Trisakti adalah sebagai satu kesatuan utuh (yang tak dapat dipisahkan) dari pasangan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Yakni diawali sehari setelah hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), di Gedung Road van Indie di Jalan Pejambon, menggelar sidang dengan menunjuk Soekarno dan Moh. Hatta secara aklamasi sebagai Presiden dan Wakil Presiden tanpa diwarnai debat sengit. Bandingkan sekarang, protes dan saling tindis sebagai bentuk pro-kontra bermunculan di sana-sini, lalu satu sama lain beradu “kekuatan” demi mendapatkan kekuasaan.

PPKI ketika itu sepakat menunjuk dua tokoh sebagai sejoli agar dapat mengemban tugas selaku pemimpin di negeri ini untuk pertama kalinya. Penunjukan itu tentu saja didasari dengan sebuah keyakinan, bahwa Soekarno dan Moh. Hatta adalah pemimpin sejoli (pasangan yang cocok) karena amat dibutuhkan oleh rakyat dalam melakukan pembenahan dan konsolidasi bangsa di negara tercinta ini.

Dan yang harus diingat serta digarisbawahi, bahwa PPKI ketika itu tidak tertarik memilih sosok Wakil Presiden (pendamping Soekarno) dari kalangan politisi, militer, pakar hukum, apalagi saudagar. Mengapa?

Sebab PPKI melihat dengan sangat jelas, bahwa Soekarno telah dipandang secara luas sebagai figur yang merakyat, serta Moh. Hatta dinilai sebagai sosok ekonom yang tidak berasal dari parpol mana pun. Sehingga, PPKI meyakini bahwa sosok Moh. Hatta bisa membuat Soekarno merasa nyaman dalam menunaikan tugas sebagai Presiden, sekaligus Moh. Hatta sebagai ekonom dipercaya akan dapat membantu dan mengisi kekurangan Soekarno dalam menata ekonomi di negeri ini. Dari kepemimpinan kedua tokoh tersebut lahirlah paham Trisakti.

Dan inilah sesungguhnya sebuah “kronologis” yang dapat dijadikan dasar pandangan (kebijakan) yang tersirat atau boleh dikata sebagai “ideologi” awal (yang tidak tertulis) dari pendahulu kita dalam mencari, menunjuk dan menetapkan pasangan pemimpin yang dinilai pantas karena memang sangat dibutuhkan di negeri ini.

Mencermati sepenggal kisah sejarah tersebut, Ibu Mega sebagai pemegang “remote-control” dalam tubuh PDI-P seharus juga bisa berpandangan dan berpola pikir yang sama dengan PPKI tentang mengapa harus Soekarno dan Moh. Hatta yang harus ditetapkan sebagai pemimpin ketika itu.

Dalam “bahasa” saya, PPKI sesungguhnya telah meletakkan dasar awal sebagai “petunjuk” bagi penerusnya kelak agar dapat menentukan pimpinan sesuai yang dibutuhkan oleh rakyat dan tuntutan dari masalah bangsa, yakni: 1. Pemimpin yang merakyat (Seperti Soekarno); 2) Ahli di bidang Ekonomi (Seperti Mohammad Hatta dari non-parpol).

Dan lihatlah kondisi bangsa kita saat ini yang begitu sangat memprihatinkan dengan banyaknya masalah-masalah bermunculan.  Kedaulatan ekonomi kita didominasi dan dicengkeram negara-negara asing: utang luar negeri yang makin menggunung; kekayaan alam (tambang, mineral, kelautan, dsb) kini dikuasai dan dinikmati selahap-lahapnya oleh negara luar; kebutuhan pokok rakyat hampir semuanya adalah impor; pengangguran berserakan; negara kita lebih dikenal sebagai negara pengekspor TKI, “pencetak” teroris, penikmat narkoba, dsb.

Semua itu bisa terjadi sesungguhnya adalah karena akibat dari sikap para elit parpol yang terlalu mengedepankan ambisi dan kepentingan politiknya saja, dengan gemar melupakan sejarah. Padahal, sejarah sangat penting untuk dicermati sebagai “petunjuk” dari pendahulu kita untuk dapat kembali ke jalan yang lurus dan benar. Sekali lagi, bukan seenaknya mengikuti nafsu dan ambisi kepentingan kelompok parpol masing-masing dengan “menjual” dan mengatasnamakan nama rakyat.

Olehnya itu, sebelum negara ini makin terperosot ke dalam genggaman penjajah yang berasal dari luar dan di dalam negeri sendiri, maka ajaran Trisakti memang sangat dibutuhkan untuk kembali dibangkitkan saat ini. Ajaran Trisakti tersebut adalah: “Berdaulat dalam bidang politik, Berdikari dalam bidang Ekonomi, dan Berkepribadian dalam kebudayaan.” Dan ajaran inilah yang dijadikan Soekarno sebagai “rumusan” dalam menghadapi dan juga mencegah usaha-usaha imperialis yang setiap saat ingin menghancurkan Indonesia.

Maka saya sepakat jika Ibu Mega memegang prinsip “Jasmerah” dengan menjadikan ajaran Trisakti sebagai “kriteria” dalam menentukan pasangan calon pemimpin yang akan diusung oleh PDIP pada Pilpres mendatang.

Dan apabila Jokowi bisa ditunjuk sebagai Capres karena dinilai memiliki karakter merakyat seperti Soekarno (berdasar sejarah), maka Ibu Mega dengan tegas dan adil hendaknya juga bisa menunjuk Cawapres yang amat dibutuhkan rakyat (sesuai petunjuk dalam sejarah pula) yakni seperti sosok Moh. Hatta sebagai ekonom yang berasal dari non-parpol. Jika tidak, maka itu berarti sudah melenceng dari sejarah, dan Bung Karno mungkin hanya bisa menangis di alam sana karena “petunjuk” sejarah tidak bisa dilakukan secara totalitas oleh anaknya sendiri.

Namun mari kita tunggu, pasangan calon dari parpol mana pun yang bisa mengajukan “pasangan Trisakti” sekaligus dapat dinilai sebagai Pemerintahan Soekarno jilid II, maka itulah yang pantas kita dukung...!!!

SALAM PERUBAHAN 2014...!!!
------------------

Sumber: KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar