RR1news: TAK lama lagi Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 digelar. Tetapi Siapa pun capres yang terpilih, diyakin akan sulit melakukan dan mewujudkan arah pembangunan untuk kesejahteraan rakyat seutuhnya sesuai ideologi yang mereka usung. Prabowo Subianto dengan ekonomi kerakyatannya, sementara Jokowi dengan Trisaktinya. Semuanya masih sangat diragukan.
Hal tersebut disampaikan Syafril Sofyan selaku aktivis 77/78 kepada redaksi rmol, Selasa (27/5/2014).
Penyebabnya, kata dia, cawapres pendamping Prabowo dan Jokowi sama-sama “memuja” pasar bebas dan nepotisme terhadap kepentingan grup mereka.
Syafril pun menguraikan, bahwa Jusuf Kalla yang merupakan pendamping Jokowi tidak memiliki komitmen terhadap ekonomi kerakyatan, dan tindakan menggenjot perekonomian yang dilakukannya cenderung berbau KKN.
Saat menjadi wapres pada periode pertama pemerintahan SBY, JK adalah sosok terdepan membela neolib.
JK bahkan diduga kuat menghapus utang grup bisnisnya melalui Bank Mandiri, serta monopoli grup bisnisnya terhadap proyek-proyek besar, termasuk kasus pengadaan helikopter tanpa tender. Kuat disebut-sebut selain ada grup bisnisnya, JK disokong barisan pengusaha di bawah seorang pemimpin organisasi pengusaha besar yang sangat menganut “pasar bebas oriented”, serta mafia migas.
Hal seperti itu, lanjut Syafril, tak jauh berbeda dengan kubu Prabowo Subianto. Dengan memilih Hatta Rajasa sebagai cawapres adalah mencerminkan model dan arah pembangunan Prabowo bakal neolib. Pemberitaan Hatta tidak bersih, terlibat dugaan korupsi pengadaan kereta hibah dari Jepang, sempat mencuat ke permukaan.
Juga dikabarkan, bahwa di belakang Hatta ada rombongan cukong di bawah pengusaha besar yang menunggu jatah proyek yang salah satunya adalah jembatan Selat Sunda. Sama seperti JK, Hatta juga dikabarkan dikuasai mafia migas dan konglomerat hitam.
Namun Syafril yang juga aktivis Rumah Perubahan 2.0 ini mengakui, bahwa kedua capres tersebut tentu masih punya harapan untuk bisa menjalankan pembangunan sesuai arah ideologi yang diusung.
Harapan itu bisa terwujud jika dibuat sistim pembatasan pengaruh wapres dengan segala kepentingan politiknya. Yakni dengan membentuk tim kabinet yang kuat, profesional serta hak presiden menentukan pembantunya demi kepentingan rakyat. Kabinet yang dibentuk juga harus bebas dari pengaruh uang dan nepotisme serta pengaruh like and dislike.
Diharapkan, menurut Syafril, cara ini dapat mengatasi para “pencopet” lihai, karena pada pemerintahan sebelumnya penentuan anggota kabinet dilakukan dengan bagi-bagi kursi antar partai politik, sebagian kecil untuk para profesional, dan sebagian lagi dilelang untuk kepentingan dana kampanye.
“Jika cara-cara lama masih dilakukan, sangat sulit mengharapkan Indonesia akan berubah siapa pun presidennya. Macan Asia cuma akan jadi slogan, kesenjangan ekonomi rakyat tetap jauh tidak beringsut, 80 persen rakyat tetap tidak berkemampuan hidup sejahtera,” pungkas Syafril.(rmd/ams)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar